"Kenapa ibu tidak makan?" Aku mengambil makanan yang telah di siapkan Bik Inah dan menyuapi Ibu. "Ibu harus makan yang banyak, aku akan menyuapi ibu." Ibu pun mau makan setelah aku menyuapinya.
"Bagaimana dengan Jonathan?" Tanya Ibu padaku. "Dia baik-baik saja, makannya juga banyak dan nilai di sekolahnya juga bagus," jawabku sembari menyuapkan suapan terakhir untuk ibu.
"Baguslah kalau begitu," ibu tersenyum. "Emm, bagaimana jika aku meminta Jonathan untuk datang ke sini, kebetulan dia sedang libur sekarang. Awalnya aku ingin membawanya bersamaku tapi karena mendadak aku memutuskan untuk pulang sendiri."
"Itu bagus, ibu ingin Jonathan juga hadir di sini," ucapnya terlihat lebih baik.
"Oke, kalau begitu aku akan menghubungi Jonathan." Aku menelepon Jonathan dan membiarkan Ibu dan Jonathan bicara.
Setelah itu dia bicara kepadaku. Suaranya terdengar kesal karena hanya aku sendiri yang bicara langsung pada ibu, dia terlihat sedikit cemburu. Aku memesan tiket pesawat untuk kepulangan adikku ke Jakarta. Esok harinya dia pun tiba di Rumah Sakit dan mendengar semuanya dari Steve.
Jonathan adalah pribadi yang rapuh dan cengeng, dia terus menangis dan marah padaku karena tidak memberitahu dia sebelumnya. Harapannya ingin bersenang-senang bersama ibu dan Kakeknya harus pupus saat dia melihat tubuh kurus Kakek di Ruang ICU.
"Jonathan?" Aku memegang pundaknya dan dia menepisnya. Jonathan berbalik badan dan marah. "Kenapa kakak tidak memberitahuku sebelumnya?" Air mata yang mengalir di pipi Jonathan membuatku langsung memeluknya.
Jonathan pun memelukku dengan erat. "Jika kamu terus bersedih, bagaimana ibu kita akan kuat menghadapi semua ini, sekarang Kakak harus pergi ke kantor dan memulihkan kebangkrutan. Jonathan kamu harus mendukung ibu agar ibu tidak tertekan, jika kamu sedih ibu juga akan sedih dan kesehatannya bisa memburuk."
Jonathan melepaskan pelukanku. Dia pun menghapus air matanya. "Aku akan ke kamar mandi dan membersihkan wajah, setelah itu aku akan pergi menghibur ibu." Dia pun pergi bersama para Bodyguard yang menemaninya.
Beberapa hari di rumah sakit, keadaan ibu membaik. Dia sudah tidak terlihat tertekan seperti sebelumnya. Mungkin berkat kehadiran Jonathan yang selalu membuatnya tersenyum.
Aku memutuskan untuk pergi ke Kantor Pusat dan memikirkan masalah untuk mengatasi kebangkrutan. Aku bersama beberapa Bodyguard dan Steve kembali ke Mansion Keluarga Bratt Family untuk mengganti pakaianku menjadi lebih formal.
Aku mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jas berwarna biru muda. Wajahku di rias dengan simpel, rambut panjangku juga ku tata dengan rapi. Aku memakai rok span biru muda dengan motif sedikit bunga di bagian bawah. Heels putih dan Tas Gucci tidak terlupakan.
Mobil SUV Super mewah telah menunggu di depan Mansion. Tapi sebelum aku memasuki mobil aku bertanya kepada kepala pelayan.
"Mr.Robert, bukankah Pelayan dan Bodyguard di sini sangat sedikit?"
"Benar Nona, Tuan Besar tidak bisa membayar Gaji Pelayan dan Bodyguard sehingga beberapa dari mereka di berhentikan." Kepala pelayan pun terlihat tidak berdaya.
"Apa tidak berbahaya jika Bodyguard terlalu sedikit? Kita tidak tau kapan penjahat akan datang. Jossef tolong tinggalkan beberapa Bodyguard lebih banyak di sini." Aku bicara pada Jossef, Kepala Bodyguard di Mansion.
Dia melaksanakan perintahku, membiarkan lebih banyak Bodyguard yang awalnya mendampingiku jadi menjaga Mansion. Aku, Steve, Jossef dan Bodyguard lainnya pergi ke Kantor Pusat.
PT Cahaya Gemilang. Perusahaan ini hampir 100% sahamnya berada di tangan Keluarga. Tapi baru-baru ini Mark Bratt menjual Saham 20% miliknya pada Dave Mckill, dan 10%nya pada orang lain yang membuat perusahaan Kakek tidak lagi menjadi 100% milik keluarga.
Steve kemudian memerintahkan untuk memanggil semua dewan direksi untuk rapat secepatnya. Aku menunggu di Ruang Ceo. Duduk di atas kursi yang biasa di duduki oleh Kakek. Di atas mejanya begitu rapi. Ada beberapa berkas, beberapa foto dan juga Alat tulis.
Aku membaca beberapa berkas-berkas di atas meja dan melihat kerugian yang sangat amat besar. Tidak heran kakek bisa jatuh sakit. Kerugian yang mencapai dua ribu triliun. Ini bukanlah jumlah yang sedikit. Bahkan jika kakek harus menjual semua sahamnya, untuk mengganti kerugian dia bisa langsung jatuh miskin dan menjual aset-asetnya.
Dalam 3-6 bulan kedepan jika perusahaan ini tidak mendapatkan donatur. Perusahaan ini akan bangkrut dan menanggung banyak hutang. Apalagi jika Dave Mckill dan 10% saham yang di miliki orang lain juga di tarik, maka tidak sampai bulan depan Perusahaan akan selesai.
"Ibu Pimpinan, semua Dewan Direksi sudah datang terutama perwakilan dari Mckill." Steve mengetuk pintu dan masuk keruangan memberitahuku bahwa semua dewan direksi telah tiba.
Aku bangkit dari tempat duduk. "Tunjukkan jalannya, Steve!" Steve kemudian berjalan di depanku, Kami naik Lift dan turun ke lantai 12 tempat rapat di adakan.
Sebelum memasuki ruang rapat aku menghembuskan nafas menghilangkan kegugupanku, pintu ruang rapat di buka oleh Steve. 12 orang pria menatapku. "Aku Sienna, cucu dari Mr.Lion Bratt yang akan menggantikan beliau untuk menjadi Ceo dalam beberapa bulan ke depan." Tidak ada yang menyambutku, hanya seorang pria yang berada paling ujung yang berdiri, dan Direktur utama perusahaan yang berdiri. Aku kemudian mempersilahkannya duduk.
"Setidaknya masih ada dua orang yang punya otak di sini, bagaimana bisa Paman menjual Sahamnya pada orang-orang yang tidak tahu etika dan sopan santun." Beberapa dewan direksi marah.
"Anak bau kencur sepertimu ingin memimpin perusahaan, jangankan saat bangkrut seperti ini, jika perusahaan ini sukses besar pun kau pasti akan mengacaukannya." Teriak seorang Pria gendut dengan gigi emas. Dia juga menunjuk jari telunjuknya padaku.
"Owh, siapa pria botak jelek gendut ini? aku tidak mengenalnya." Beberapa Dewan Direksi menahan tawa atas penghinaan yang terlontar dari mulutku. "Apa yang kalian tertawakan? Teman kalian sedang di hina oleh anak baru seperti dia." Teriak si gendut.
"Nona, Dia adalah Sujiwo, salah satu dari pemegang saham 10%," bisik Steve di telinga kiriku. "Aku mengerti."
"Baik Pak Sujiwo, jadi berapa persenkah saham yang anda miliki, apa 20% seperti milik Dave Mckill?" tanyaku dengan nada mengejek.
Perwakilan dari Dave Mckill tertawa kecil. "Pria itu bernama Felix Atkinson, dia adalah Sekretaris sekaligus bawahan paling di percaya oleh Dave." Seolah mengerti aku akan bertanya, Steve malah memberitahuku terlebih dahulu.
"Pak Sujiwo, perhatikanlah Mr.Felix, dia sangat sopan dan tau etika. Padahal dia mewakili seseorang yang memiliki saham lebih besar darimu. Tapi dia berdiri dan memberiku salam, meski aku lebih muda darinya."
"Mungkinkah Pak Sujiwo berpikir bahwa bapak lebih terhormat dari Mr.Felix yang memberikan salam untukku?"
Wajah Sujiwo memucat begitu juga dewan direksi lainnya. Dia dan dewan direksi segera berdiri dan membungkukkan badannya sedikit padaku yang tengah duduk di kursi utama.
"Hahahaha tidak perlu begitu serius, Mr.Felix bukanlah orang yang bepikiran sempit, bukan begitu Mr.Felix?"
Mr.Felix hanya tersenyum kecil menatapku, "tentu saja aku bukan orang yang berpikiran sempit." Wajah Dewan Direksi kembali tenang.