Gava menutup wajahnya dengan 10 jarinya di mobil milik Lastri. Dia tidak bisa berpikir lagi, rasanya sesak sekali dadanya malam ini. Dia bahkan tidak menemukan suaminya Rasyid berada di mana. Rasyid yang dia pikir tidak akan pernah tega membohonginya, ternyata telah menanamkan duri-duri di atas kepala juga hatinya. Duri-duri yang terus menancap perlahan-lahan membuat dia merasa disepelekan.
Kemudian dia teringat nasehat dari istri Uzair kepada dirinya bahwa sebenarnya suami-suami pendiam itu jauh lebih berbahaya karena mereka bisa menyimpan semua rahasianya sendiri. Berbeda dengan suami-suami yang apa adanya dan suka bicara. Mereka bahkan kadang-kadang tidak mampu menahan rahasianya hanya untuk dia miliki. Mereka membutuhkan teman untuk berkisah.
Ucapan dari istri Uzair itu sangat mempengaruhi Gava. Dia lantas menghubungi istri Uzair malam itu juga.
"Assalamualaikum," suara Gava dari seberang.
"Wa'alaikumsalam. Tumben malam-malam begini menelpon saya, ada apa?" tanya istri Uzair kepada Gava.
Gava lantas tertawa kecil. Dia sebenarnya menertawakan dirinya sendiri. Tetapi tawa itu dibuat seolah-olah dia sedang menyambut sahabatnya yang berbicara dengannya dari tempat yang berbeda
"Nggak ada Mbak, aku cuman mau minta tolong ke Mbak hari ini."
"Ini mau minta tolong apa ya?" kata istri Uzair kepada Gava.
"Tidak biasanya kau memanggilku dengan panggilan Mbak."
Biasanya Gava akan memanggil istri kolega suaminya itu dengan panggilan Ibu Uzair.
"Tolong dong, tanyain ke Pak Uzair. Sebenarnya saat ini rombongan Mas Rasyid sedang bermalam di mana? Aku ingin tahu Mbak."
"Oh itu yang ditanyain, memangnya kenapa?"
"Apa enggak boleh? Aku pengen tau aja. Sambil pengen membuktikan apa yang Mbak omongin kemarin waktu kita ngumpul-ngumpul di Kafe."
"Selama ini kan aku nggak pernah nih kepo pada kegiatan suamiku, sekarang boleh dong kalau misalnya aku kepengen tahu sekali ini aja, Mbak."
"Oke deh, kalau begitu tutup dulu teleponnya. Aku hubungi Mas Uzair ya karena sepertinya masih Mas Uzair saat ini tidak satu rombongan dengan Pak Rasyid. Dia mungkin berbeda kunjungan kerjanya. Jadi aku telepon dulu ya, nanti aku kabari. Pasti aku kabarin."
"Baik mbak. Aku tunggu ya," kata Gava dari seberang suaranya terbata-bata.
Istri Uzair kemudian berpikir, "Pasti sedang terjadi permasalahan antara Gava dengan Rasyid. Kalau tidak, tidak mungkin suara Gava berputar seperti itu. Biasanya Gava adalah perempuan yang keras, kuat dan berani. Dia tidak mungkin menangis seperti itu."
Tidak lama kemudian istri Uzair lantas menghubungi Gava kembali. Dia menyebutkan nama hotelnya dan juga tempatnya. Dia juga sempat membagi lokasi yang dilihat dari Google saat itu.
Melihat nama hotel tersebut, Gava lantas kemudian menutup matanya,
"Bukankah itu hotel yang diceritakan oleh istri Uzair tempo hari. Hotel itu juga hotel yang disebutkan oleh Mas Rasyid. Bukankah Hotel itu ownernya yang bernama Putri. Apakah benar Mas Rasyid memindahkan tempat bermalam saat ini ke tempat Putri, lalu untuk apa?" tanya Gava dalam hatinya.
"Halo...halo... Masih adakah orang disana?" tanya istri Uzair di seberang ponselnya.
Gava menarik nafas panjang kemudian berkata, "Mbak, hotel yang Mbak tulis adalah Hotel Permata Indah, Hotel ini sebenarnya adalah milik Putri yang Mbak ceritakan dulu kan?."
Gava diam. Istri Uzair juga diam. Dia baru ingat.
Ya, Hotel Permata Indah ownernya adalah Putri. Perempuan cantik yang sempat berfoto dengan bapak-bapak dengan sangat mesranya hingga membuat grup istri Wakil Rakyat menjadi heboh sesaat.
Lalu untuk apa saat ini Rasyid melakukan kunjungan kerja dan tidur di sana. Bukankah kunjungan kerjanya berbeda kota dengan tempat Hotel milik Putri tersebut. Ini pasti ada yang tidak beres.
"Iya betul, itu hotel yang ownernya bernama Putri.
"Apakah memang Pak Rasyid ditugaskan oleh pimpinan untuk pergi ke hotel tersebut? Atau? Aduh aku kok jadi berlibet ngomongnya ya,"
Istri Uzair merasa serba salah sendiri.
Dia ingin sekali mempengaruhi Gava untuk tetap mencari Rasyid. Tetapi dia juga tidak ingin dikatakan sebagai penyebab kehancuran rumah tangga Gava dan Rasyid akan sangat berbahaya nanti. Suaminya juga pasti akan memarahinya kalau dia ikut campur terlalu jauh, tapi rasanya tidak tega melihat Gava seperti sekarang ini.
"Ya sudah Mbak, kalau begitu aku akan datang saja ke Hotel Permata Indah untuk membuktikan apakah benar Mas Rasyid berada di sana?"
"Bu Gava... Bu Rasyid. Maaf saya salah sebut nama. Kalau misalnya Pak Rasyid memang berada di sana untuk urusan kunjungan kerja dan memang bermalamnya di sana. Saya pikir itu tidak jadi masalah kan? Yang jadi masalah itu kalau ternyata Pak Rasyid membuat acara sendiri. Jadi saya mohon agar Ibu Gava bersikap dengan tenang. Jangan gegabah. Sakit hatinya ditata yang baik dulu ya."
Istri Uzair ingin sekali menasehati Gava tentang perilaku dan perbuatan yang baik. Tetapi tidak tahu mengapa rasanya sulit dan kelu sekali bibirnya memilih kata-kata yang tepat untuk Gava saat ini. Dia sendiri juga sedang terpengaruh. Jika Rasyid yang pendiam itu bisa tergila-gila kepada Putri, bagaimana dengan Uzair suaminya?. Bukankah Uzair juga sebenarnya adalah laki-laki tampan yang bisa saja menggoda dan digoda oleh perempuan di luar sana.
Istri Uzair menarik nafas panjang. Dia rasanya terlalu letih bila harus berpikir tentang hal-hal semacam ini.
Jika disuruh memilih, dia akan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dan menjajakan sayur dari rumah ke rumah tetapi pulang ke rumah dalam keadaan tenang dan bahagia. Daripada menjadi istri seorang dengan jabatan yang sangat hebat mempunyai uang dan harta yang banyak tetapi kenyataannya harus menelan terasa sakit karena sang suami berhubungan dengan perempuan lain. Itu pasti sangat menyesakkan dada.
"Iya Ibu Uzair. Saya akan berusaha untuk bersabar. Saya minta doanya ya. Saya berangkat dulu ke Hotel Permata Indah untuk membuktikan kebenaran semuanya."
"Baiklah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa berkabar bila kebetulan membutuhkan sesuatu. Meskipun tengah malam telepon saja, saya pasti akan membantu. Jangan lupa itu."
Ibu Uzair merasa wajib untuk menyemangati Gava. Bagaimanapun juga mereka adalah sesama perempuan dan sesama perempuan harus saling mendukung bukan saling mengalahkan.
Istri Rasyid yaitu Gava memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Air mata mengalir dari matanya. Kepalanya terasa sangat pusing. Dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menemukan solusinya. Yang dia tahu, dia hanya ingin menemukan sebuah kenyataan bahwa ternyata Rasyid tidak berada di hotel itu. Bahwa semua buruk sangka dan rasa tidak percaya itu tidak benar. Hanya itu yang saat ini diharapkan.
Dan sesampainya di Hotel Permata Indah. Dia lantas memarkir mobilnya di tempat yang paling ujung. Mobil itu adalah mobil Lastri, mungkin Rasyid tidak mengenalinya secara langsung tetapi bila didekati Rasyid pasti tahu bahwa itu adalah mobil Lastri. Selama ini, Lastri dan suaminya memang sering sekali bermain ke rumah Gava dan Rasyid.