Sorot mata itu terlihat menyendu, pandangannya seakan tidak bisa putus bahkan mengerjap pun enggan. Titik pusatnya hanya tertuju pada pemilik wajah seputih susu dengan bibir memucat dan mata yang masih terpejam dilengkapi alat bantu pernapasan di sekitar hidungnya.
Perasaannya campur aduk melihat wanita cantik itu berbaring dengan mata tertutup selama berhari-hari belakangan ini. Bolehkah sesosok pria acuh sepertinya dilanda rindu? Kerinduannya semakin memberat ketika kesehariannya tanpa diasupi senyum khas milik wanita itu yang ampuhnya selalu berhasil membuat jantungnya berdebar-debar. Ia tidak sedang mengalami kelainan jantung, tapi ini seperti sebuah insting jika dirinya sedang tersambung dengan kenyamanan yang ditawarkan oleh senyum wanita itu. Hanya seuntas senyum saja? Iya, itu lebih dari cukup baginya, karena hatinya yang awalnya sekeras batu lalu mulai melunak perlahan-lahan bahkan tanpa disadarinya sendiri. Puncaknya ketika ia meninggalkan dia begitu saja di depan butik dan akhirnya membuatnya harus mengalahkan egonya sendiri karena merasa bersalah sampai memutuskan untuk kembali setelah sadar jika perasaannya pada wanita itu bukan sekedar main-main, tapi kenyataan lain menghantamnya begitu keras. Ternyata dia bukan wanita sembarangan, dia bukan hanya sekedar pelayannya, tapi itu hanya kedok untuk mengobrak-abrik kawanan mafianya melalui dirinya.
Pada awalnya ia marah, beraninya dia mengelabuinya. Ia berniat akan memberi pelajaran wanita itu, tapi pada akhirnya ia menyerah, perasaannya lebih paham dengan situasi. Ia lebih memilih berdamai pada diri sendiri dengan mencintainya setulus hati meskipun notabenenya, dia adalah musuh di dalam selimutnya. Untuk saat ini, biarkan seperti ini. Ya, ia hanya ingin merasakan kehadiran wanita itu tanpa merasa khawatir walaupun tanpa ada senyum yang terbit di bibirnya.
"Hei kau!" ucap seseorang keras di belakang Matteo. Tanpa menoleh ia tahu siapa pemilik suara itu.
"Jangan membuat kegaduhan disini, pa.." jawabnya tenang.
Sean dengan rahang mengetat berjalan tergesa mendekati Matteo yang masih setia berdiri di posisinya dengan memandangi wajah Brenda. Dan diluar dugaan, Sean melayangkan tinjuan yang keras kepada putranya sendiri. Sementara itu Matteo yang tidak mengantisipasi tindakan Sean hanya mengernyit dan mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya dengan santai seolah-olah itu bukanlah hal menyakitkan.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Tinjuan itu untuk pria seperti dirimu yang tidak bisa menjaga istrinya sendiri!" marah Sean.
Matteo terkekeh, namun sorot matanya menatap tajam. "Pa, kemana saja kau beberapa hari ini? Mengapa tiba-tiba datang dengan marah-marah?"
"Aku berusaha bersabar, Matteo. Aku berusaha untuk tidak ikut campur, tapi kali ini kau sudah keterlaluan!"
Lagi-lagi kekehan keluar dari mulut Matteo. Tatapannya masih beradu dengan mata Sean seakan dua belah pedang yang sedang beradu. Sean mengetatkan rahangnya nampak berusaha menahan emosinya karena Matteo yang memutar-mutar kalimatnya. Pria itu hanya ingin yang terbaik pada putranya itu, meskipun mereka berada di dalam lingkungan yang bisa dibilang hitam. Sean tahu, Matteo menganggap semua wanita itu sama karena luka dimasa lalunya, tapi Brenda ini berbeda. Dari gerak-gerik yang Sean tangkap, ketika Matteo pertama kali bertemu dengan Brenda, Sean tahu betul jika ada secercah harapan kalau dia bisa menjalin hubungan yang serius. Karena tidak bisa dipungkiri, selain menginginkan keturunan Rimora, Sean juga ingin putra angkatnya itu turut merasakan kehangatan dalam keluarga kecilnya. Dan Sean berharap banyak pada Brenda, setelah pernikahan pertama Matteo yang gagal bersama Ritta karena pria itu sama sekali tidak tergerak hatinya dan hanya menganggap Ritta sama seperti wanita lainnya.
Walaupun Brenda bukan yang pertama, tapi Sean yakin dia akan menjadi terakhir untuk Matteo dan menyembuhkan lukanya karena masa lalunya.
"Matteo, kumohon untuk kali ini saja. Terimalah LIly dengan apa adanya, jangan anggap dia seperti wanita itu atau wanita lainnya. Dia berbeda dan kau tahu itu."
Matteo nampak mengepalkan tangannya kuat. Helaan nafas panjang akhirnya keluar dari mulutnya. Pria itu berusaha mengendalikan dirinya.
"Pa, aku tahu. Tapi kumohon jangan ikut campur dengan urusanku!"
Sean berdecih. "Jika kau benar mencintainya, seharusnya kau tidak membiarkannya sendirian tadi! Gara-gara kau, kemungkinan Lily untuk hamil hanyalah sepuluh persen saja! Aku hanya menginginkan keturunan Rimora dari hubungan kalian saat ini, tapi kau sungguh mengecewakanku, Matteo. Kau sulit ditebak!"
"Aku mau keluar mencari angin.." Matteo memilih pergi meninggalkan Sean di ruangan dimana Brendai dirawat. Setelahnya ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo? Bereskan semuanya sekarang juga."
Dan sambungannya pun terputus. Kini Matteo menatap taman bunga di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Sudah kubilangkan? Aku mencintainya, jadi aku akan melakukan apapun untuknya. Bahkan menghancurkan apapun yang sudah berani menyentuhnya walaupun hanya menyentuh sehelai rambutnya saja!"
**********
"Aku semakin mencurigainya akhir-akhir ini, dia bertindak aneh. Entah mengapa, aku berpikir jika dia pelaku dibalik penusukan Lily.." Ungkap Yesi kepada sosok pria bermata biru safir di depannya itu.
"Dan mengapa kau mengatakan hal ini kepadaku?" jawabnya santai.
Yesi meneguk ludahnya susah payah, namun kemudian ia menatap manik mata pria itu yakin. "Karena aku mempercayaimu. Aku sudah tahu semuanya, Demian."
Demian awalnya terhenyak akan maksud perkataan Yesi, namun ia kembali bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ya, walaupun informasimu belum tentu benar."
"Aku yakin, Demian. Seratus persen yakin!"
Demian terkekeh dan manggut-manggut.
"Iya, kembalilah bekerja sana.."
Yesi mengangguk, lalu ia pergi meninggalkan Demian yang tetap berdiri diposisinya tepat di bawah pilar. itu Kedua tangannya menyedekap di depan dada dengan pandangan menerawang.
"Lily Anderson.." gumamnya lirih.
Dan tanpa disadarinya, seseorang muncul dengan keadaan yang sangat mengenaskan dengan darah disekujur tubuhnya. Demian yang baru saja menyadari kedatangan orang itu terkejut.
"Ritta? Ada apa denganmu?"
Tubuh Ritta langsung ambruk ke arah Demian, pria itu menangkapnya tanpa merasa jijik.
"De..demian, aku ingat. Malam itu... Dia... Dia...yang mencoba mem..membunuhku..."
Demian mengernyit.
"Apa maksudmu, Ritta? Bicara yang jelas!"
"Di..dia..yang melukaiku setelah per..nikahanku dengan Matteo..dia.. Aku mengingat wajahnya saat aku memergokinya menusuk Lily malam itu.. Dan hari ini...dia datang lagi kepadaku.." ucap Ritta terputus-putus.
Mata Demian membulat, "Bertahanlah Ritta! Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!"
Ritta menggeleng lemah.
"Se..semua sudah terlambat, Demian. A..aku akan mati sekarang.."
"Jangan berkata seperti itu, Ritta. Bertahanlah!"
"Sa..sampaikan salamku pada Lily jika dia sudah siuman.. Aku iri padanya karena berhasil mengambil hati Matteo, sementara aku tidak bisa. Salamkan salamku juga pada Tuan Sean.." Ritta memberi jeda, dengan lemah tangannya menggenggam tangan Demian. Ritta tersenyum.
"De..demian, jika kau benar-benar menyukainya, katakan padanya setelah siuman juga. Setidaknya itu akan membuatmu lebih baik daripada kau terus memendamnya seperti selama ini. Aktingku baguskan? Ah iya, aku sudah memberitahu Yesi tentang perasaanmu padanya dan sandiwara kita. Tapi tentang pelaku penusukan itu, Yesi sepertinya mencurigaiku. Tapi tidak apa-apa, dia hanya salah paham. Tolong jagakan Yesi untukku. Dia gadis yang baikhaaaaaaaaahh--"
"Ritta! Kumohon bertahanlah."
Dan nafas wanita itu mulai tersendat-sendat dan akhirnya kaku di dalam pelukan Demian. Dan pria itu tidak bisa membendung air matanya sendiri, karena teman baiknya baru saja mereggang nyawa di dalam pelukannya. Selama ini hanya wanita itu yang tahu seluk beluknya, Ritta bukanlah wanita jahat seperti yang diceritakan orang-orang, dia hanya menjadi dirinya sendiri setelah terluka karena kejahatan ibu dan ayah tirinya sendiri. Walaupun ia tidak membenarkan tindakan wanita itu yang membunuh mereka dengan memanfaatkan kekuasaan Matteo, tapi dia sudah menebus kesalahannya dimasa lalu dengan menjadi orang baik, meskipun hanya dirinya satu-satunya yang mengetahui itu. Semua orang berhak tahu tentang kebaikan wanita ini.
"Maafkan aku yang tidak bisa melindungimu, seharusnya aku membunuh mereka dari awal! Jika saja Tuan Matteo tak memberikan mereka kesempatan, aku tidak akan membiarkan mereka!"
Dan disaat Demian terus menangisi kematian Ritta, sesosok wanita datang dan menepuk-nepuk bahu Demian bermaksud memberinya kekuatan.
"Hapus air matamu, bodoh! Jangan menangis, kau jelek!"
Tanpa menoleh pun, Demian tahu siapa pemilik suara itu. Tapi Demian tidak peduli, dia hanya ingin mengenang Ritta tanpa diganggu oleh siapapun dengan jasad yang masih berada di dalam pelukannya.
Sekali ini saja ia terlihat lemah, sekali ini saja. Batinnya.
Dan pada akhirnya, Lea hanya termenung diam disisi Demian yang menangisi sahabatnya. Ritta Frasel. Dan entah mengapa setelah mendengar semuanya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri sejak tadi, obsesinya ingin menembak kepala Demian berubah menjadi ingin berada disisi pria itu kapanpun.
Dan untuk pertama kalinya selain Simon, Lea menangis untuk pria lain. Ya, pria itu adalah Demian William.