"Apa kau tidak ingin berisitirahat lebih dulu? Kau baru saja tiba dari Washington, apa kau tidak merasa lelah?" tanya Lea menanyakan keadaan Simon. Ya, pria itu sudah tiba di Sisilia hari ini. Meski ia masih merasa kesal pada pria itu karena tidak menghargai usahanya sama sekali, namun Lea tidak bisa mengabaikan pria itu.
"Dimana Brenda sekarang?" ucap Simon balik bertanya tanpa memperdulikan kekhawatiran Lea kepadanya.
Lea semakin merasa dadanya teremas sakit, pria itu sama sekali tidak berubah. Masih saja bersikap acuh padanya, Lea benar-benar merasa terluka. "Simon!"
"Lea, please. Aku ingin menemui Brenda sekarang, untuk masalah kemarin aku minta maaf karena sudah membentakmu, tapi sekarang tolong antar aku kepadanya."
Lea menghela nafas. "Tidak bisa."
"Aku harap kau tidak menghalangiku." jawab Simon menuduh wanita itu. Ia tahu mungkin saja Lea berusaha menghalanginya untuk menemui Brenda, karena dia sedang marah padanya.
"Sebenarnya aku sangat ingin melakukannya, Simon. Tapi tolong jangan bertindak bodoh! Kau pikir kawanan Rimora akan membiarkan anggota FBI masuk?" Lea menatap Simon tajam. Ia tahu Simon sangat menyukai Brenda, tapi ia tidak boleh bertindak gegabah. Apalagi penyamaran dari misi mereka masih terus bergulir.
"Maksudmu?"
"Berada di Sisilia beberapa jam seharusnya tidak membuatmu menjadi bodohkan, Simon?"
"Tapi aku benar-benar tidak mengerti, Lea. Tolong jelaskan semuanya."
"Maksud dari wanita bar-bar ini adalah kau harus menyamar, Bung." Sambung seseorang turut bergabung. Dari tadi ia hanya memantau dari kejauhan dan lama-lama merasa gemas sendiri melihat pertikaian kecil kedua orang itu.
Simon yang menyadari siapa orang itu langsung memasang badan. "Aku Simon dari anggota FBI. Jangan macam-macam pada kami atau aku tidak akan segan menembakmu."
Demian tertawa melihat sikap siaga Simon, sementara Lea mendengus kasar kepada Demian. "Tembak saja kepalanya Simon. Dia pantas mendapatkannya."
Klek.
Simon memainkan pelatuknya dan bersiap menembak Demian, namun kemudian Lea menahan pistolnya. Ia memandang Simon tidak percaya, apakah dia pikir dirinya barusan serius? Lea sama sekali tidak habis pikir.
"Jangan! Aku hanya bercanda, dia te-temanku."
"Teman? Sejak kapan kau berteman dengan mafioso Rimora? Apakah kau mau bersekutu dengan mereka?"
Rasa takut sama sekali tidak tercermin di wajah Demian walaupun ia hampir saja mendapatkan tembakan di kepalanya. Dia masih terlihat begitu santai, meski situasinya kini mungkin dalam bahaya.
"Sepertinya kau sangat mengenalku, Simon." ucap Demian sok ramah.
"Dan sepertinya kau juga mengenalku." jawab Simon sengit.
Tentu saja Simon tahu seorang Demian William, karena waktu itu Brenda sempat menyuruhnya mencari tahu siapa pria itu dan dengan anehnya tidak ada jejak jelas mengenainya, selain fakta jika Demian adalah salah satu mafioso keluarga Rimora.
"Kau ingin tahu bagaimana aku bisa mengenalmu?" tanya Demian pada Simon.
Simon mengedikkan bahunya. "Aku tidak peduli."
Demian terkekeh, lalu mengedipkan matanya ke Lea. Simon mengetahui itu dan dia pun berdecih.
"Jangan dekat-dekat pada pria ini, Lea. Dia berbahaya." ucap Simon pada Lea.
"Aku--"
"Wah, kau benar-benar sesuatu. Aku tidak mengerti kenapa ada wanita bodoh yang begitu mencintaimu."
Lea ternganga. Beraninya pria ini, ia pun berubah panik.
"Simon, jangan dengarkan dia. Aku mau jadi temannya karena dia satu tim dengan kita. Dia juga menyukai Bren-- maksudku, emm, dia juga sedang mencari siapa pelaku penusukan Brenda." ucap Lea terbata-bata.
Simon mendekati Lea, pria itu menatapnya serius. "Kau anggota FBI tercerdas, Lea. Tidak seharusnya kau sembarangan memberikan kepercayaan kepada seorang mafia-kan?"
"Simon, aku--"
"Cukup, Lea. Sekarang kau ikut dengaku, dan jangan dekati dia lagi. Antar aku ke hotel dan kita temui Brenda besok pagi."
Simon mau menarik Lea pergi dari sana, namun tangan Lea satunya justru ditahan oleh Demian sehingga sekarang terlihat seperti adegan tarik-tarikkan.
"Lepaskan Lea, bodoh!" gertak Simon.
"Kau tahu, Simon? Aku bukan temannya, tapi kekasihnya." ucap Demian yang langsung membuat Lea ingin meninju wajah pria itu sekarang juga
.
Ya, karena dia tahu, jika Demian saat ini hanya ingin bermain-main.
Demian, aku akan benar-benar menembakmu setelah ini! Batinnya.
***********
Di antara Sean dan Matteo, siapa kira-kira yang akan membunuhmu lebih dulu?
Brenda tergugu menatap note yang tidak sengaja ia temukan di bawah piring makan siangnya. Kini ia sedang sendirian di dalam kamarnya, karena Matteo tadi sedang pergi mengurusi pekerjaannya. Sebenarnya pria itu bersikukuh akan mengirimkannya seorang bodyguard untuk menjaganya, tapi ia menolaknya. Dan benar saja, sekarang Brenda sendirian dan malah menemukan tulisan ini. Kira-kira siapa dan apa tujuannya menuliskan hal semacam ini? Sayang sekali ia tidak membawa ponsel, jadi ia tidak bisa menghubungi Lea ataupun Simon untuk mencari tahu.
Matteo atau Sean? Jadi maksudnya di antara kedua orang inilah yang hampir membunuhnya malam itu? Tanpa sadar Brenda menggelengkan kepalanua, rasanya sulit sekali untuk bisa menuduh salah satu di antara mereka, karena ia merasa tidak ada yang patut dicurigai dalam diri Sean ataupun Matteo saat ini.
Apa jangan-jangan pelaku penulis note ini hanya ingin mengadu dombanya? Brenda mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya Lea kemana sih? Tumben sekali tidak mengunjunginya hari ini.
Cklek.
Tiba-tiba pintu dibuka dari luar dan seorang office girl muncul. "Selamat siang, miss."
"Selamat siang."
Seperti biasa, office girl itu mulai membersihkan kamarnya dari menyapu, mengepel sampai menyikat toiletnya. Pada awalnya tidak ada yang aneh karena office girl itu langsung pergi setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tapi tak selang berapa lama, ada yang mengetuk kamarnya lagi dan seorang office girl kembali muncul berniat ingin membersihkan kamarnya. Brenda pun membeku di tempatnya.
"Tapi tadi kamar ini sudah didatangi office girl lain."
"Apa? Tidak mungkin miss, setiap anggota tidak akan salah mengatur kamar, dan hari ini jadwal saya adalah membersihkan kamar anda." ucap office girl itu.
Brenda pun bergegas bangkit dari ranjangnya dan kemudian masuk ke dalam toilet untuk memastikan sesuatu. Dan benar saja, kedua matanya membulat sempurna ketika mendapati tulisan besar bewarna merah dengan kalimat "LILY ANDERSON ADALAH BRENDA SCARLET. SEAN DAN MATTEO SUDAH MENGETAHUI IDENTITASMU. DASAR BODOH!"
Deg!
Brenda merasa tubuhnya terasa lemas sekarang, hingga akhirnya ia jatuh terduduk begitu saja. Lagi-lagi ia hanya bisa mengacak rambutnya dengan kasar. Ia sudah lengah.
"Seharusnya aku mengantisipasinya dari awal. Entah siapapun yang berusaha membunuhku, Rimora bukanlah orang sembarangan."
"Miss, anda baik-baik saja?" tanya office girl itu khawatir.
Brenda berusaha menenangkan dirinya lalu menatap balik office girl itu.
"Tolong bersihkan tulisan itu sampai bersih tak bersisa. Aku akan membayarmu dua kali lipat jika kau mau menutup mulut."
"Baik, miss." jawabnya itu menyanggupi.
Sepeninggal office girl itu, Brenda kembali duduk di ranjangnya. Ia sudah memutuskan, semua misinya tidak boleh ditunda lagi. Misi tetaplah misi, dan tidak ada yang bisa menghentikannya termasuk perasaannya.