Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 27 - Chapter 27

Chapter 27 - Chapter 27

Makin kesini Brenda merasa jika misinya berjalan rumit. Ia seperti mendapatkan titik gelap dalam misinya dan begitupun juga percintaannya. Matteo salah paham, pria itu marah padanya dan tidak pulang selama dua hari ini. Entah kemana perginya pria itu, ia sama sekali tidak tahu. Seharusnya ini menjadi kesempatannya untuk menyerang kawanan mafianya, tapi Brenda merasa keinginannya menyelesaikan misi ini begitu tersendat-sendat. Ia benar-benar tidak profesional.

Tak jauh berbeda dengan Matteo, Lea dan Simon juga selama dua hari ini tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Kepalanya rasanya mau pecah karena memikirkan hal itu sampai ia pun harus kehilangan nafsu makannya. Ada apa dengan orang-orang? Mengapa seakan-akan semua ini adalah salahnya?Brenda mengacak rambunya frustasi.

Dan inilah yang dilakukannya selama beberapa hari ini, duduk sendirian di bangku taman yang ada di halaman rumah. Tak banyak yang ia lakukan, hobi barunya adalah melamun.

"Lily?" panggil seseorang.

Brenda menoleh dan mendapati seseorang pria sudah berdiri menjulang di sampingnya. "Robert?"

Pria itu tersenyum dan ikut bergabung duduk di samping sisi bangkunya yang kosong. Entah sejak kapan kakak iparnya itu datang, Brenda sedikit merasa terkejut mengetahui kedatangannya.

"Mengapa kau duduk sendirian?" tanyanya.

"Hanya ingin saja."

Robert terkekeh, "Aku hanya datang berkunjung, selama dua hari ini Matteo tidak datang ke markas. Nomornya juga tidak bisa dihubungi, kuharap tidak ada masalah." ucapnya menjelaskan alasannya berkunjung ke rumah Matteo.

Lagi, mau tidak mau harus menoleh ke arah Robert. Matteo tidak pergi ke markas? Nomornya juga tidak bisa dihubungi? Ia tidak tahu, karena selama dua hari ini ia juga tidak berusaha menghubungi pria itu karena bermaksud memberinya waktu. Tapi, Brenda jadi merasa janggal dengan pemberitahuan Robert. Sejak kapan pria yang terkenal religius itu ikut masuk ke dalam kawanan mafia? Itu seperti bukan Robert.

"Semua baik-baik saja. Hmm, Matteo pergi berburu bersama Demian dua hari terakhir ini dan belum kembali sampai sekarang. Apa ada masalah disana?" Brenda dengan mudah membalikkan pertanyaan. Ia tahu tidak seharusnya ia berbohong, tapi entah mengapa instingnya begitu kuat mengatakan agar ia berbohong akan keberadaan Matteo sekarang. Walaupun sebenarnya ia juga tidak tahu kemana perginya suaminya itu.

"Tidak ada, syukurlah adikku dalam keadaan baik-baik saja."

Robert menyenderkan tubuhnya pada bangku taman sambil menatap langit sore yang cerah. Sementara Brenda tidak bergerak sedikitpun dan masih menerka-nerka dengan perubahan sikap kakak iparnya itu. Entah mengapa ia masih merasa ada perubahan aneh dalam sikap Robert. Dia seperti bukan Robert yang biasanya. Dan Brenda sangat yakin ini bukan hanya perasaannya saja.

"Kau datang berkunjung tanpa papa? Tumben sekali."

Ada pergerakan dalam diri Robert, Brenda bisa menangkap ada kegelisahan disana namun hanya bertahan beberapa detik. "Karena dia sedang sibuk..hahaha..biasalah, bapak-bapak."

Brenda menggenggam tangannya sampai jari kukunya memutih. Wanita itu memandang Robert sambil tersenyum.

"Mau kubuatkan minuman?"

Robert bangkit dari duduknya, "Tidak usah, tujuanku kemari hanya ingin menemui adikku saja. Aku pamit." Dan benar saja, Robert pergi dari hadapannya setelah pamit.

Sepeninggal pria itu, Brenda menatap punggung Robert yang menghilang setelah masuk ke dalam mobilnya, lalu melaju pergi dari pelataran rumah Matteo. Brenda menumpukan pipinya pada salah satu tangannya.

"Aku merasa dia bukanlah Robert." ucapnya menerka-nerka.

Entah dugaannya salah atau benar, Brenda mengeluarkan ponselnya dari saku celananya untuk menghubungi seseorang. Ya, walaupun situasi mereka belum membaik. Kali ini ia benar-benar butuh Simon. Semoga saja pria itu mau mengangkat teleponnya.

*****

"Dia bahkan tidak berusaha menghubungi atau mencariku." ucap Matteo sambil menatap ponselnya yang mati.

Sementara itu, di sisinya ada Demian yang baru saja menenggak habis minumannya sampai tandas. "Jika anda benar-benar mencintainya, mengapa tidak berusaha mengalah?" usulnya.

Mendengar pernyataan Demian, otomatis Matteo menoleh dengan tatapan mata tajam. Mengalah? Tidak ada kata itu di kamus Matteo. Bisa-bisanya Demian bisa berkata begitu.

"Tutup mulutmu! Lebih baik kau kembali ke Sisilia dan jaga Lily baik-baik."

Demian terkekeh, "Jangan salahkan aku jika Brenda-- ah!" Ia menghentikan kalimatnya dan menatap Matteo. "Kau tidak keberatan kan jika aku memanggil nama aslinya?"

Ya, Demian juga sudah tahu jika Matteo sudah mengetahui identitas Brenda yang sebenarnya. Awalnya pria itu masih tidak percaya seorang Matteo, si ketua mafia paling kejam dan tak berperasaan berpura-pura bodoh karena hal ini. Sudah jelas sekali betapa berharganya seorang Brenda di hidupnya.

"Aku masih belum terbiasa." jawabnya sambil menerawang, "Dan kau, beraninya kau berbicara tidak formal padaku."

"Tuan, masalah kita sudah banyak. Santai saja lah sekali-kali. Anggap saja aku teman curhatmu saja." ucap Demian lagi-lagi mengusulkan.

Seakan mengiyakan perkataan Demian, Matteo terlihat menyetujui usulannya. "Apa menariknya Lily-- maksudku Brenda di matamu?" tanya Matteo. Selama dua hari ini mereka bersama-sama dan mereka saling bertukar cerita tentang apa yang mereka rasakan dan apa yang sudah terjadi semenjak kedatangan Brenda di hidup mereka.

"Waktu itu saat dia berpenampilan berbeda tidak seperti wanita-wanita di rumah bordir, entah mengapa hatiku tegerak setelah melihatnya."

Matteo berdecih setelah mendengarkan penjelasan Demian, "Ternyata aku sudah salah menjadikanmu sebagai mafioso kepercayaanku. Di dalam dirimu masih ada jiwa hello kitty dibanding demon."

Demian memutar bola matanya jengah, "Lalu bagaimana denganmu, Tuan? Apa bedanya kau dan aku?! Apa perlu aku jelaskan?"

Matteo langsung menarik kerah baju Demian, "Kau!"

Demian nyengir sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengah miliknya. Pria itu mengisyaratkan pada Matteo, agar tidak membawa hati karena kalimatnya barusan. "Hehehe.. aku hanya bercanda Tuan."

"Jika tidak ingat kalau aku masih membutuhkanmu, sudah kujahit mulut lunakmu itu!" jawab Matteo menahan kesal.

"Tuan tenang saja, perasaanku pada Brenda hanya sesaat saja kok karena--"

"Kau tertarik pada temannya yang judes itu?" tebak Matteo memotong kalimat Demian.

Dan bagai diskakmat, Demian hanya mampu terdiam. "Namanya Lea. Rasanya sudah terlalu terlambat untuk menyadari semua ini. Entah bagaimana caranya kelakuan brengsek Simon menolak Lea bisa menimbulkan berkat untukku karena setelahnya aku sadar jika aku mulai menyukainya. Dan hatiku merasa sakit ketika melihatnya menangis karena pria itu. Lagi dan lagi." Demian untuk pertama kalinya menjelaskan keresahannya selama beberapa hari belakangan ini mengganggunya terus menerus.

"Ternyata kisah percintaanmu lebih rumit daripada yang aku duga." jawab Matteo menanggapi cerita Demian.

Demian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dan kau Tuan, apa yang membuatmu bisa cinta buta pada Brenda?"

"Cinta buta? Cih!" Matteo mengusap wajahnya yang mulai ditumbuhi jambang halus di sekitar dagunya. Beberapa hari ini ia jarang memperhatikan penampilannya. Selain karena terlalu memikirkan Brenda, ia harus sibuk menyelesaikan sesuatu.

"Aku tidak memiliki alasan bagaimana bisa jatuh cinta padanya karena semua terjadi begitu saja seperti air yang mengalir."

Lagi-lagi Demian terkekeh, "Jangan bohong, waktu itu kau begitu panik ketika Brenda mau dimakan buaya-buayamu. Padahal binatang peliharaan kesayanganmu itu sering menelan manusia habis-habis dan kau tidak menyesalinya."

Dan kali ini Matteo ikut terkekeh, "Benar, bukankah itu aneh? Makanya aku memutuskan jika aku mencintai Brenda tanpa alasan, berarti karena aku hanya ingin mencintainya."

Mual. Entah ini karena efek ia terlalu banyak minum atau karena kalimat Matteo yang mengandung zat yang berefek samping hingga membuat orang yang mendengarnya menjadi mual dan pusing.

"Jadi seperti ini toh kalau bos mafia sudah jatuh cinta."

Matteo menoleh ke arah Demian dan melayangkan tatapan tajam karena terusik dengan sindiran pria itu yang menurutnya makin kelewatan. Dan lagi, Demian menganggap apa yang dikatakannya hanyalah bahan candaan.

"Tuan?"

"Hmm?"

Demian memberi jeda pada ucapannya dan menatap Matteo serius. "Bagaimana dengan Libert? Apakah kita akan diam saja pada kekacauan yang sudah ia perbuat?"