Siapa yang mengira jika anggota FBI yang notabenenya sering kali membunuh penjahat-penjahat tanpa ampun takut pada hantu. Mungkin para mendiang penjahat itu akan tertawa di pusaran kuburannya jika mengetahui FBI yang membuat mereka tewas , nampak berlari terbirit-birit setelah mendengar isakan tangis yang nyatanya hanya dibuat-buat oleh manusia. Tapi ya, Brenda dan Lea tidak mengetahui hal itu jika suaranya berasal dari Yesi dan Simon yang iseng. Karena mereka pikir, suara itu memang berasal dari penunggu rumah Matteo. Jika mereka tahu kalau Yesi dan Simon yang melakukannya, mungkin sudah beda cerita lagi, bisa saja Lea dan Brenda bersatu membuat Yesi serta Simon menyusul para penjahat yang tewas di tangan mereka.
"Kau mendengarnya juga kan?" tanya Lea kepada Brenda dengan nafas terengah-engah setelah berlari menyusuri lorong hingga menuruni tangga menuju lantai satu.
Brenda mengangguk, wanita itu juga dalam keadaan yang sama. Dia juga nampak terengah-engah setelah ikut berlari keluar menghindari tangisan itu atau mungkin lebih tepatnya karena merasa takut.
"Mana ada hantu siang-siang begini?"
"Tapi tadi kan kau juga mendengar suaranya sendiri!"
Brenda menghela nafas, lalu duduk di salah satu sofa ruang tamu bermaksud untuk berisitirahat, tapi ketika mendengar pintu depan terbuka diikuti suara penjaga yang serentak memberi hormat, Ia pun mengalihkan niatannya dan langsung melangkahkan kakinya menuju sumber suara.
"Selamat datang, Tuan Sean."
"Ya..ya.. Apakah Matteo ada di dalam?" tanyanya.
"Papa?" Brenda nampak terkejut akan kedatangan Sean. Bukannya tadi Matteo akan bertemu dengannya?
"Oh? Menantuku, haloo. Apakah Matteo ada di rumah? Aku datang untuk berkunjung." ucap Sean memberitahu maksud kedatangannya kemari, namun Brenda masih terdiam di tempatnya.
"Menantu?" panggil Sean menyadarkan wanita itu.
"Hmm, ya? Itu..Matteo pergi, pa." jawab Brenda beralasan.
"Pergi? Pergi kemana?"
Bagaimana Brenda tahu? Pria itu saja pamit pergi untuk menemuinya. Tapi jika orang yang mereka temui saja datang kemari, lantas mereka sebenarnya pergi kemana? Batin Brenda heran.
"Tuan Matteo pergi berburu bersama Demian, Tuan." sambung Lea membantu Brenda yang dalam kesulitan menjelaskan kepergian Matteo. Brenda menoleh ke Lea, dan wanita itu hanya mengedipkan sebelah matanya memberi isyarat.
"Iya, benar. Matteo pergi berburu bersama Demian hahah!"
"Mereka berburu tanpa mengajakku?! Anak tidak tahu diuntung!" Sean nampak kesal, tanpa pamit, dia pun bergegas masuk kembali ke dalam mobilnya.
Sepeninggal Sean, Brenda menghela nafas lega. Kini ia menatap Lea serius, sementara wanita itu malah menunjukkan ekspresi yang sebaliknya. Dia terlihat santai.
"Apakah kau tahu sesuatu?" selidik Brenda.
Lea membalas tatapan Brenda, lalu mengedikkan bahunya acuh dan berbalik pergi. Brenda pun tidak menyerah untuk meminta penjelasan dari Lea, karena ia yakin sekali jika wanita itu tahu sesuatu. Namun disaat bertepatan mereka melewati ruang tamu, Lea dan Brenda dibuat terkejut ketika mendapati Simon dan Yesi yang asik mengobrol disana.
"Simon?"
"Oh? Hai Brendai, hai Lea! Apakah kalian sudah puas berlari menghindari hantu...pfft!" kikik Simon geli, begitupun dengan Yesi.
Brenda sontak membuka mulutnya tak percaya, kakinya melangkah mendekati Simon dan langsung memberikan tinjuan kecil di bahunya.
"Aku tahu, tadi itu pasti bukan hantu!" gerutunya kesal.
"Haha! Tadi itu lucu sekali, iyakan Yesi?"
Yesi mengangguk, "Iya, lucu sekali. Baru kali ini aku melihat Brenda dan Lea setakut tadi."
Brenda berusaha membaca situasi yang sedang terjadi. Bukankah ini kali pertama Simon dan Yesi bertemu? Sejak kapan mereka bisa seakrab itu? Pikirnya heran.
"Apakah kalian saling mengenal?" tanya Brenda.
Yesi menggeleng, "Tidak, ini kali pertama kami bertemu. Justru aku yang ingin bertanya pada kalian, apakah kalian juga saling mengenal? Dan kalau boleh tahu, mengapa kau memanggil Lily dengan Brenda?"
"Hmm..aku memang sering dipanggil Brenda dulu dan ya, kami tentu saja saling mengenal karena kami juga berteman."
"Ah, begitu rupanya.
Simon dan Brenda saling menatap dengan canggung. Mereka tidak mungkin membocorkan siapa mereka sebenarnya, karena bagaimana pun juga disini mereka tidak boleh sembarangan membuka identitas asli apalagi disaat menjalankan misi penting.
Untuk mencairkan suasana, Simon bangkit dari kursinya dan mendekati Brenda untuk menanyakan keadaan wanita itu.
"Sudah merasa baikkan?"
Brenda mengangguk, "Sudah, tapi kadang perutku masih terasa sakit, tapi tidak apa-apa."
"Aku senang mendengarnya." jawab Simon sambil mengacak rambut Brenda dengan lembut.
Lea yang melihat pemandangan itu berusaha untuk tidak cemburu. Mau seberapa kali ia merasa sakit, Simon tetaplah yang nomor satu di hatinya. Dan Lea tidak akan pernah lelah memperjuangkan pria itu. Ia tahu dirinya bodoh, tapi Lea juga tahu ia bukan sedang memperjuangkan pria yang salah. Simon adalah pria idaman bagi semua perempuan, termasuk dirinya yang sangat menginginkan pria itu lebih dari apapun.
"Ehem! Kalian tidak bisa bersikap seperti itu. Walaupun kalian berteman, orang akan salah paham jika kalian memiliki hubungan bukan sekedar teman, apalagi Lily juga sudah menikah." sindir Lea bersuara, setelah lama bungkam.
Brenda memutar bola matanya jengah, lalu memberingsut menjauh dari Simon. "Lihat? Cepat jadian saja dengannya, aku tidak mau menjadi sasaran kecemburuaanya padamu, Simon!" ucap Brenda sambil melipat tangannya d idepan dada menahan kesal.
"Siapa yang--"
"Sampai kapapun kita tidak akan pernah pacaran karena--"
"Karena kau mencintai Brenda kan?" potong Lea dengan ekspresi terluka. "Tapi apakah tidak ada secuil harapan untukku?" ucap Lea dengan kedua mata berkca-kaca.
"Lea--"
"KAU TIDAK PERNAH MEMBERIKU KESEMPATAN, SIMON!"
"Aku tidak bisa!"
"Kenapa tidak bisa?"
"Kau tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku akan tetap menganggapmu sebagai teman dan tidak akan berubah."
Lea tidak sanggup menerima kenyataan itu, perasaan sakitnya semakin menjadi. Ia merasa ribuan jarum menghunus tepat d iulu hatinya, hingga setitik air mata pun jatuh di pipinya.
"Kau keterlaluan, Simon." lirihnya lalu memutuskan pergi dari sana bersama dengan rasa sakitnya.
Yesi yang melihat Lea pergi bangkit dari kursinya dan menatap Simon tak percaya. "Aku memang tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi apa yang kau lakukan pada Lea barusan jauh dari kata baik. Kau benar-benar keterlaluan!" dan Yesi berlalu pergi untuk mengejar Lea. Kini hanya tersisa Simon dengan Brenda saja disana.
"Kau memang keterlaluan, Simon!" ucap Brenda bersuara. Entah apa yang dirasakan Simon saat ini, ketiga wanita sekaligus mengecapnya keterlaluan. Tapi pada kenyataannya memang begitu.
"Aku hanya mengatakan yang sejujurnya."
"Tapi tidak dengan cara seperti itu juga kan?" jawab Brenda mulai kesal karena sikap pria itu yang sama sekali tidak berubah.
"Lalu apa? Jika aku tidak menolaknya sejak awal, itu akan membuatnya semakin berharap!"
Bugh!
Tiba-tiba sebuah tinjuan melayang tepat mengenai wajah Simon sehingga membuat pria itu jatuh tersungkur. Entah sejak kapan pria itu datang, tapi kini dia menarik kerah baju milik Simon.
"Kau! Bagaimana ada pria seperti dirimu di dunia ini?! Mati saja kau!"
Tinjuan kedua mungkin saja akan mengenai wajah Simon lagi, jika saja Brenda tidak berusaha untuk menengahi. "Demian, hentikan!"
Ya, pria itu adalah Demian.
"Lepaskan aku Lily, biarkan aku memberi pelajaran pada si cunguk ini!"
"Jangan Demian! Kendalikan dirimu!"
Brenda tidak tahu, mengapa Demian bisa semarah ini. Entah apapun alasannya dan walaupun Simon juga salah, pokoknya ia tidak ingin ada keributan.
"Demian, kumohon."
Akhirnya Demian mengindahkan permintaan Brenda untuk tidak melayangkan tinjuan ke arah Simon lagi, walaupun ia masih ingin sekali membuat pria itu babak belur. "Aku membiarkanmu kali ini!" ucap Demian kesal dan menjauh. Di tengah-tengah pertikaian itu, Matteo yang melihat kejadian dimana tiba-tiba Demian melayangkan tinjuannya kepada pria yang sama sekali tidak dikenalnya membuatnya terdiam. Dan tak berapa lama, Brenda yang baru menyadari kedatangan Matteo pun juga terlihat begitu terkejut.
"Kau sudah pulang?"
Hening. Tidak ada yang bersuara setelah itu, namun intrupsi Matteo semakin membuat semua orang semakin terdiam.
"Apakah ini cinta segi empat atau mungkin bahkan cinta segi lima jika aku ditambahkan di antara mereka?"