Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 25 - Chapter 25

Chapter 25 - Chapter 25

Sejak insiden note misterius dan tulisan di kaca toilet beberapa hari yang lalu, Brenda terus memantapkan dirinya untuk menyelesaikan misinya untuk segera mencari bukti-bukti itu. Ia sudah pulang dari rumah sakit kemarin, hubungannya di antara Matteo maupun Sean berjalan biasa saja, tapi kalau dipikir-pikir sikap biasa ayah dan anak itu justru memicu kecurigaan dalam dirinya. Walaupun ia tahu sekejam apa kedua pria beda generasi itu, tapi ia merasa ada yang harus ia selidiki lagi dari mereka dan ia lengah karena sudah melupakan alasannya datang kemari.

Di antara Sean dan Matteo, siapa kira-kira yang akan membunuhmu lebih dulu?

Isi tulisan dalam note itu terus terngiang di dalam kepalanya. Brenda merasa tulisan itu seperti memberikan pesan padanya jika ada orang lain yang tahu tentang misinya dan seakan mengingatkannya untuk tidak lengah. Meski i tidak tahu siapa pelakunya, tapi ia berjanji akan mencari tahu siapa orang itu. Karena ia belum sepenuhnya sembuh, untung saja ada Lea dan Simon yang memutuskan menyusulnya kemari untuk membantunya menyelesaikan misi ini. Ya, ia sudah bertemu dengan Simon beberapa hari yang lalu dan dirinya juga sudah mengutarakan keinginannya untuk menyelesaikan misinya segera. Namun, Brenda tidak mengatakan tentang note dan tulisan di kaca toilet kepada Simon, karena perasaannya mengatakan jika kedua pesan itu hanya ditujukan untuknya diluar dari misi yang dijalankannya.

"Sayang--"

"Agh! Bisakah kau mengetuk pintu lebih dulu? Kau mengagetkanku.." ucap Brenda memberitahu Matteo yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar di saat ia sibuk memikirkan note itu.

Sementara itu Matteo terlihat melongo, ia tidak tahu apa yang membuat istrinya itu tiba-tiba marah padanya. Karena yang lebih ia bingungkan disini adalah apakah harus ia mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarnya sendiri? Karena sudah resmi menjadi sepasang suami istri, tentu saja kini mereka berdua berada di kamar yang sama. Brenda memang benar, tapi disisi lain jika ia harus mengetuk pintu lebih dulu, ia akan seperti Yesi ataupun Demian. Meminta persetujuan lebih dulu sebelum masuk ke kamarnya.

"Sayang, ini kamarku. Aku tidak mungkin mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarku sendiri kan?" tanya Matteo mengutarakan isi hatinya.

Brenda terdiam, ia jadi merasa bersalah pada Matteo. Tidak seharusnya ia marah pada pria itu karena dia benar. Ia pun mengusap wajahnya kasar.

"Matteo, maafkan aku. A-aku tadi--" Brenda tidak melanjutkan kalimatnya dan mendekati Matteo mengusap pipi pria itu.

"Aku tidak bermaksud membentakmu. Hanya saja aku reflek karena terlalu terkejut."

Matteo tersenyum sehingga rahang tegasnya terlihat mengkerut dan hal itu membuat bos mafia itu menjadi dua kali lebih tampan. Brenda terpana menyadari ketampanan suaminya itu, namun setelahnya hatinya merasa sakit ketika mengingat posisinya yang sebenarnya. Semua ini salah, ia tidak boleh menggunakan perasaannya lagi atau misi ini tidak akan pernah terselesaikan. Ia tidak mau membuat teman-teman se-FBI-nya kecewa padanya apalagi Simon dan Lea juga sudah banyak membantunya. Lagi-lai rasa plin plan terus memengaruhinya.

Disaat ia sibuk melamun, usapan lembut di kedua pipinya membuatnya tersadar kembali ke dunia nyata dan kedua matanya langsung disambut oleh manik mata Matteo yang bewarna kecoklatan khas asia. Mereka memang sama-sama keturunan asia.

"Dari kemarin kau sering sekali melamun, apa yang sedang kau pikirkan, hmm?" tanya Matteo pelan.

Brenda tersenyum dan mendekap tangan besar Matteo menggunakan kedua tangannya lalu mengecupnya berkali-kali.

"Aku tidak sedang memikirkan apapun, jangan khawatir." jawabnya berbohong.

Tentu saja tidak mudah bagi Matteo untuk mempercayai jawaban Brenda, ia tahu betul ekspresi apa yang sedang dipasang istrinya saat ini. Dan Brenda sendiri, ia juga tahu kalau Matteo sedang tidak mempercayainya. Tapi ia tidak mau banyak berkomentar dan begitupun dengan pria itu, saat ini mereka hanya ingin terlihat saling mempercayai satu sama lain. Karena bagi Brenda dan Matteo, kepercayaan adalah hal utama dalam hubungan mereka saat ini, meskipun keduanya sama-sama menyimpan rahasia masing-masing. Brenda, dengan misinya dan Matteo dengan rahasianya sendiri.

Tok..tok...

Aksi pelukan di antara Matteo dan Brenda harus diakhiri ketika pintu kamar mereka diketuk dari luar. Matteo nampak berdecak keras karena merasa terganggu, sementara Brenda berusaha menenangkannya.

"Buka saja, siapa tahu penting." ucap Brenda lembut. Dan Matteo mematuhinya.

"Siapa?!"

"Saya Demian, Tuan."

Dan benar saja, setelah pintu terbuka terpampanglah wajah Demian disana.

"Ada apa?"

"Tuan Sean mengadakan pertemuan di markas bersama mafioso lainnya, Tuan." lapor Demian.

Rahang Matteo nampak mengetat, "Baiklah, siapkan mobil. Kita pergi ke sana sekarang."

Demian mengangguk, lalu menatap Brenda yang berdiri tak jauh di belakang Matteo. Pria itu tersenyum dan hal itu membuat Brenda terdiam di tempatnya.

"Sayang, nanti malam jika aku belum pulang, makanlah lebih dulu ya?"

Brenda mengangguk mengerti, lalu Matteo diikuti Demian berlalu pergi dari sana. Senyuman Demian masih terngiang dalam ingatannya, Brenda memiringkan kepalanya bingung.

"Sejak kapan Demian seramah itu padaku?" tanyanya lebih pada dirinya sendiri.

"Sejak ia pikir tidak ada gunanya untuk berpura-pura lagi di depanmu." sambung seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Ya, dia Lea.

Sebenarnya Brenda ingin marah dengan wanita itu yang masuk begitu saja ke dalam kamarnya, namun kalimat Lea saat ini lebih menarik perhatiannya.

"Berpura-pura lagi di depanku?"

Lea hanya mengangguk, wanita itu lalu merebahkan dirinya ke atas ranjang king size kamar itu.

"Wah, kasurmu empuk sekali, suamimu pasti benar-benar kaya.."

Dan kekesalan yang ditahannya sejak tadi karena ketidaksopanan Lea mencapai puncaknya. Brenda berjalan menuju ke arah Lea yang masih menikmati aksi rebahannya di atas ranjangnya, dan kemudian langsung menarik lengan wanita itu agar bangun.

"Pergilah, bodoh!" ucap Brenda kesal.

Lea menampik tangan Brenda, lalu dengan sekali tarikan ia menjatuhkan tubuh wanita itu ke lantai sampai terdengar suara yang cukup keras. Dengan gaya Bruce Lee, Lea menyentil hidungnya sambil memasang kuda-kuda seperti akan bertarung.

"Yaha!"

"Ish- Lea, kau! Untung saja jahitan di perutku tidak robek lagi.." ucap Brenda susah payah dan hal itu langsung mengingatkan Lea jika Brenda baru saja pulang dari rumah sakit kemarin setelah mendapatkan tusukan beberapa kali di perutnya.

"Ah, aku lupa! Sini kulihat perbanmu, aku harus memastikan jahitan di perutmu tidak benar-benar robek." ujar Lea panik sekaligus terlihat khawatir. Ia merutuk kecerobohannya.

"Agh!"

Kini ganti Lea yang meringis kesakitan karena tiba-tiba Brenda memelintir tangan Lea menguncinya ke belakang tubuhnya dengan sangat keras.

"Dasar dungu!" ejek Brenda.

"Brenda Scarlet! Matilah saja kau ke neraka-aaghh!"

"Kau saja yang ke neraka lebih duluuu-ughhh!"

Brenda jatuh terjengkang ke belakang sambil mengaduh kesakitan menyentuh dahinya karena Lea sengaja memukulkan belakang kepalanya ke arah dahinya.

"Kau pikir bisa mengalahkan aku?!"

Lea akan membalas Brenda lagi namun suara aneh yang entah datang darimana membuat Lea terdiam.

Hiks..hiks...hiks...

Brenda yang menyadari Lea sedang dalam keadaan lengah juga akan membalas wanita itu namun ekspresi ketakutan di wajah Lea membuatnya juga terdiam ditambah lagi ia juga mendengar suara aneh yang didengar Lea tadi.

"Brenda, apa kau juga mendengarnya?" tanya Lea hati-hati.

Brenda menatap Lea sambil mendengarkan dengan seksama suara yang lebih terdengar seperti orang menangis itu.

Hiks..hiks..hiks...

"Brenda, hantu itu tidak ada kan?"

"Ssssstt...tutup mulutmu! Jangan bicara sembarangan! Bukankah kau orang Amerika? Orang Amerika tidak percaya hantukan? Aku saja yang orang Asia tidak mempercayainya!"

"Ta---tapi kita sedang berada di Sisilia, dimana ada banyak ha-hantu disini--"

"Ssstttt...Lea!"

"Ma-maaf.. Bolehkah aku mengatakan ini? Hari ini tepat seminggu kematian Rit--"

Hiks..hiks..hikss..hikss...hikss...

Dan suara tangis itu semakin terdengar keras dan intens. Brenda maupun Lea saling menatap, dan entah siapa yang memulainya, mereka berteriak secara bersamaan.

"Kamar ini ada hantunya..waaaaa!" Brenda segera berlari keluar dari kamarnya diikuti dengan Lea yang terlihat ketakutan.

"Hahahahahahahahaha!" tawa mengisi lorong dimana kamar Brenda dan Matteo berada. Dari sana dua orang yang sejak tadi bersembunyi muncul.

"Itu tadi lucu sekali. Terima kasih sudah membantu. Aku Simon, kau Yesi kan?"

Yesi terdiam. Ia baru saja bertemu dengan pria ini beberapa menit yang lalu karena dia mengaku sebagai teman Lea dan ingin mengunjunginya. Makanya ia mengantar Simon pergi ke kamar Brenda, karena Lea tadi pamit akan pergi kesana. Namun setelah mengantar Simon ke kamar Brenda, mereka justru mendapati adegan perkelahian yang seharusnya tidak dilakukan oleh para wanita. Dan entah mendapatkan ide darimana, Yesi usil mengerjai mereka berdua menggunakan backsound orang menangis dan tentu saja hal itu berhasil membuat keduanya berhenti bertengkar, ditambah lagi malah membuat mereka berlari terbiri-birit karena ketakutan. Kini, Lea jadi terdiam karena Simon sudah tahu namanya tanpa ia memperkenalkan diri lebih dulu.

"Darimana kau tahu?"

"Darimanapun itu, maaf sudah pernah berpikir jika kau bukan wanita yang baik, karena sekarang aku baru tahu jika Yesi yang aku lihat secara langsung saat ini membuatku sangat tertarik."

Deg.

Rasanya Yesi ingin pingsan saja.