"Mama mau kemana?" tanya gadis kecil itu kepada ibunya.
"Sayang, dengar ucapan mama baik-baik. Tetaplah disini dan jangan kemana-mana!"
"Tapi maa mau kemana--"
Dorrr! Dorrr!
Bau obat-obatan serta cat tembok bernuansa putih langsung menyambutnya. Kepalanya sedikit terasa pusing, namun rasa nyeri di sekitar perutnya lebih membuatnya mengernyit kesakitan.
"Lily, kau sudah siuman?" Intrupsi seseorang mau tidak mau membuat ia menoleh.
"Matteo?" panggilnya dengan lemah.
Pria itu nampak tak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini, setelah berhari-hari Brenda mengalami kritis, akhirnya dia siuman juga. "Aku akan memanggil dokter.."
Dan kini hanya menyisakan dirinya seorang di ruangan itu yang baru disadarinya ternyata di rumah sakit. Tentu saja Brenda ingat apa yang sudah membuatnya berakhir disini, tapi yang mengganggu pikirannya saat ini adalah mimpinya tadi sebelum siuman. Mengapa ia merasa mimpi itu terasa nyata? Padahal dalam mimpinya adalah sesosok gadis kecil.
Tak berapa lama Matteo datang kembali dengan diikuti seorang dokter dan suster. "Selamat sore, Nona Lily. Saya turut senang anda sudah siuman. Untuk memastikan keadaan tubuh anda, saya akan memeriksa anda terlebih dahulu.." Dan dokter itu mulai melakukan pekerjaannya sesuai prosedur dengan dibantu suster tadi, setelah selesai, dia nampak tersenyum.
"Kondisi tubuh anda mulai membaik, dan luka diperut anda sudah mulai mengering. Sambil mengembalikan kondisi tubuh agar tetap stabil, anda tidak boleh banyak bergerak.."
Brenda nampak mengangguk paham, lalu dokter beserta suster itu pergi dari ruangan meninggalkan dirinya dengan Matteo berduaan. Pada awalnya suasana terasa sedikit canggung, entah apa yang mendorong timbulnya suasana semacam itu. Namun ketika Matteo mendekatinya dengan tatapan sendu, Brenda merasa jantungnya dipompa dua kali lebih cepat. Sepertinya setelah berhari-hari tidak bertemu dengannya membuat dirinya begitu merindukan pria ini.
"Maafkan aku.." lirih Brenda sambil menunduk.
Matteo menangkup dagu Brenda agar wanita itu mengangkat wajahnya. Kini manik mata mereka kembali menumbuk, Brenda kehabisan kata-kata, pria ini benar-benar luar biasa efeknya pada dirinya. Dan ini salah, ia semakin dirundung perasaan bersalah karena ketidakbenaran ini.
"Seharusnya aku yang minta maaf, karena aku tidak bisa menjagamu." ucap Matteo nampak merasa bersalah. Brenda bisa melihatnya dari dalam tatapan pria itu.
"Tapi ini salahku karena tidak bisa menjaga diriku sendiri dan membuatmu rephmmpp--"
Matteo membungkam bibir Brenda menggunakan bibirnya, pada awalnya ia hanya menempelkan bibirnya, namun lama-kelamaan kecupan-kecupan kecil penuh kelembutan ia layangkan pada bibir wanita itu. Tak ada penolakan atau balasan dari Brenda, mungkin dia masih terkejut karena hal ini, sehingga hal itu membuat Matteo harus menarik bibirnya menjauh. Tangan Matteo spontan merapikan anakan rambut Brenda yang berantakan dan kemudian mengelus pipinya dengan sayang.
"Tidak usah merasa bersalah, aku akan mengusut siapa pelakunya sampai tuntas dan yang terpenting saat ini adalah, kau kembali sehat seperti sedia kala dan--" Matteo memberi jeda, entah ini perasaan Brenda atau apa, kedua mata Matteo menyorot sedih. Kini ganti wanita itu yang mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah milik Matteo.
Sementara itu Matteo terlihat menikmati usapan demi usapan tangan lentik Brenda di wajahnya, dan hal itu sedikit mengurangi keresahannya dan kebimbangannya mengenai vonis dokter akan dampak tusukan itu pada rahim wanita itu.
"Apa ada masalah?" tanya Brenda lirih.
Tubuh Matteo sempat kembali menegang, namun kini pria itu mampu mengendalikannya. Ia menggenggam tangan Brenda dan kemudian mengecup-ngecupnya.
"Tidak ada. Aku hanya merindukanmu, sayang.."
Dada Brenda menghangat ketika panggilan itu kembali tercetus dari bibir Matteo. Ketika ia terus dirundung perasaan bersalah, disisi lain sikap manis pria itu adalah hal terampuh yang membuatnya sadar jika ia punya rumah. Jadi sekarang ia sudah menganggap Matteo adalah rumahnya? Entahlah, ia hanya merasa begitu.
"Apakah aku boleh meminta sesuatu?" tanya Brenda pelan.
"Tentu.."
Brenda tersenyum, tapi kini rona merah di kedua pipinya tiba-tiba muncul dan hal itu ditangkap oleh dwinetra Matteo begitu saja. "Mengapa pipimu seperti kepiting rebus begitu? Apa kira-kira keinginanmu sampai membuatmu begitu?"
Brenda sontak langsung mencubit perut Matteo, pria itu terbahak. Namun kemudian ia mengutarakan keinginannya. "Bo-bolehkah aku memelukmu?"
Matteo nampak menghentikan tawanya dan melongo, ia pikir Brenda meminta lebih dari sebuah pelukan, tapi ternyata dugaannya salah. Wanita ini sangat lucu, ia jadi makin cinta.
"Tentu saja.."
Brenda pun langsung menghambur ke dalam pelukan Matteo, hal itu membuat jahitan luka di perutnya sedikit terasa nyeri. Matteo pun berubah khawatir.
"Sayang, lukamu belum sepenuhnya kering. Berhati-hatilah atau perutmu akan dijahit lagi!" omelnya.
Meskipun rasa nyerinya masih terasa, tapi Brenda benar-benar merasa senang karena rasa perhatian pria itu yang diberikan padanya. Matteo ternyata sangat manis.
"Iya, bawel!"
Matteo langsung melepaskan pelukannya dari Brenda setelah disebut 'bawel, ia menatap wanita itu serius. "Kau tadi menyebutku apa?" tanyanya.
Brenda melipat tangannya di depan dada dan juga membalas tatapan mata Matteo dengan berani seolah sedang menantang pria itu. " Aku bilang bawel. Matteo bawel!"
"Dasar nakal. Aku akan memberikan perhitungan padamu saat kau sudah benar-benar sembuh nanti.." ancam Matteo.
"Aku akan sangat menantikannya, sir.." tantang Brenda tidak mau kalah.
Dan kemudian mereka tertawa bersama-sama. Sementara itu, tanpa mereka sadari dari luar ruangan ada dua sosok orang yang sejak tadi memperhatikan mereka.
"Mentang-mentang pengantin baru, mesra-mesraan saja tidak tahu tempat."
"Ck. Bilang saja iri.. Pria yang kau sukai itu, tidak akan bisa seromantis bosku.."
"Hei, jangan asal bicara ya, dan jangan membawa-bawa Simon dalam masalah ini!" gertaknya.
Demian terkekeh, namun kemudian wajahnya kembali serius. Lea menoleh dan melirik wajah Demian sekilas.
"Kau akan tetap mengatakan perasaanmu pada Brenda seperti yang dikatakan mendiang Ritta?"
Demian menghela nafas, "Entahlah.."
Lea terdiam. Wanita itu sedang merangkai kata-kata.
"Tapi aku merasa tidak yakin jika Brenda akan menerimanya, sementara selama ini kau selalu terlihat seperti musuhnya."
Demian tersenyum kecut, ucapan Lea benar, selama ini seolah-olah ia bertindak seperti musuhnya, tapi ia melakukan hal itu karena ingin melindunginya. Semua gertakan-gertakan yang sempat ia layangkan padanya hanyalah bualan. Demian tidak benar-benar membenci Brenda. Ya, yang dimaksud Ritta akan wanita yang ia sukai adalah Lily Anderson atau Brenda Scarlet. Demian tidak tahu ia menyukai Brenda atau Lily, tapi mereka orang yang samakan? Dan kalau boleh jujur, ia lelah terus menyembunyikan perasaan ini . Dari awal pertemuannya sewaktu di depan gerbang, Demian sudah menyukai wanita itu meskipun ia juga sudah tahu asal-usulnya.
Dan ia rela menyembunyikan identitas asli wanita itu dari Matteo dengan berpura-pura membencinya. Aktingnya baguskan?
"Jangan melamun, tidak ada hantu yang mau membuatmu kesurupan.." sungut Lea kesal karena mendapati Demian diam melamun.
"Ck, mana ada hantu dicdunia ini! Dan kau juga, jangan mengomel terus. Heran sekali aku ada agen FBI secerewet dirimu!"
"Hei, tidak bisakah kau membawa-bawa pekerjaanku juga dalam kegalauanmu itu?"
"Oh ya? Kalau begitu, bisakah kau menghadapi pria yang kau sukai itu, jika sudah tiba kemari untuk mengunjungi Brenda?"
Skakmat. Ia kalah telak, ucapan Demian membuatnya terdiam seribu bahasa. Apakah ia siap bertemu Simon nanti? Atau lebih tepatnya bersiap untuk merasakan hatinya kembali remuk.
Lea tidak siap. Dan sementara itu, diam-diam Demian merasa bersalah karena ucapannya kepada Lea barusan. Haruskah ia meminta maaf? Tidak. Biarkan gambaran buruknya melekat padanya. Ia tidak keberatan jika wanita itu terobsesi menembak kepalanya lagi. Karena pada akhirnya ia juga akan mati jika takdirnya sudah begitu.