Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 19 - Chapter 19

Chapter 19 - Chapter 19

Brenda sedang memandang pantulan dirinya sendiri pada cermin di depannya itu untuk melihat penampilannya. Kini ia sedang mengenakan gaun bewarna putih yang sudah didesain khusus oleh desainer butik yang akhirnya bisa ia kunjungi juga hari ini. Wanita itu sempat terpana akan penampilannya sendiri, Entah ini disebut berlebihan atau apa, tapi Brenda seperti merasa terharu ketika menyadari jika sebentar lagi ia akan menikah, walaupun sebenarnya ini bukan pernikahan yang selama ini ia mimpi-mimpikan.

Tanpa sadar Brenda menghela nafas karena memikirkan hal itu. Ini semua demi tuntutan dari misi penyamarannya. Demi merealisasikan semuanya, ia harus rela mengorbankan dirinya sendiri agar misinya bisa berjalan dengan lancar, meskipun sebenarnya Brenda merasa tidak yakin sekarang. Ia sering bertanya-tanya dalam hati, apakah dirinya benar-benar sanggup berpura-pura menikah dengan Matteo untuk menghasilkan keturunan Rimora?

Hal yang begitu memengaruhinya yaitu, Matteo berkata jika dia mulai jatuh cinta padanya. Ia tahu itu bagus karena bisa langsung melancarkan misinya, tapi entah mengapa dadanya terus merasa sesak ketika mengingatnya. Bagaimana jika pada akhirnya Matteo nanti tahu kalau selama ini ia menipunya untuk bisa mencari bukti jika pria itu adalah otak dibalik pembunuhan Paulo? Tanpa sadar ia tertawa. Mengapa dirinya harus peduli? Lagipula nyawanya sudah dipertaruhkan disini, Demian sudah mengetahui asal-usulnya juga kan? Tapi ia memang masih selamat. Jadi semua akan baik-baik saja. Batinnya.

"Nona, apakah anda sudah selesai?" tanya seorang karyawan butik itu.

Brenda memandang karyawan itu melewati cermin di depannya dan mengangguk. "Apakah dia juga sudah selesai mencoba tuxedo nya?"

Karyawan itu nampak mengangguk menanggapi pertanyaan Brenda barusan sambil memberikan senyuman ramahnya. "Tuan Matteo sudah menunggu anda sejak tadi, nona." Karyawan itu berhenti berbicara lalu menatap Brenda takut-takut. "Hmm. Nona, bukannya saya bersikap tidak sopan, tapi apakah anda bersedia melepaskan kacamata yang sedang anda kenakan?"

Permintaan karyawan itu membuatnya reflek langsung menyentuh kacamata tebalnya yang masih setia ia pakai saat sedang menyamar. Mungkin karena setiap hari ia sering memakainya, jadi Brenda sudah mulai terbiasa dan tidak merasa risih lagi.

"Te--tentu." jawab Brenda ragu-ragu. Pasalnya ini kali pertamanya ia akan berpenampilan tanpa kacamata di depan seorang Matteo khususnya.

"Nona, saya tidak akan memaksa anda, jika anda merasa tidak nyaman--"

Brenda mengibaskan tangannya seolah menandakan jika itu bukanlah apa-apa. Sepertinya memberikan penampilan sempurna tanpa kacamatanya juga tidak masalahkan? Batinnya.

Pada akhirnya Brenda melepaskan kacamatanya, lalu menitipkannya pada karyawan tadi. Karyawan itu nampak terdiam seolah-olah begitu terkejut setelah melihat penampilannya sekarang. Apakah ia jadi terlihat aneh sekarang?

"Ada apa? Apakah aku sangat jelek tanpa kacamata?" tanyanya memastikan.

Karyawan itu segera menggelengkan kepalanya menampik dugaan Brenda. "Anda sangat cantik, nona. Jika Saya jadi anda, saya akan membuang kacamata ini dan memamerkan kecantikan yang saya miliki kepada dunia." jawab karyawan itu jujur.

Tentu saja hal itu membuat Brenda tertawa, entah mengapa ia jadi penasaran dengan reaksi Matteo nanti. Reaksi Matteo? Tunggu, tidak. Mengapa ia harus penasaran? Ini salah. Brenda pun berusaha membuang pikiran-pikiran tidak masuk akal itu dengan melangkah keluar dari dalam bilik ruang ganti untuk segera menemui Matteo, agar menilai penampilannya-- ralat, gaun yang sedang ia kenakan lebih tepatnya.

Oh Brenda, jangan gugup. Batinnya menyemangati.

Karyawan tadi berjalan mendahuluinya untuk membuka tirai besar yang menutup ruang gantinya saat ini. Bak adegan slow motion, ketika tirai mulai dibuka, dan tatapan mata Brenda langsung terkunci pada tatapan mata Matteo yang sudah menunggunya.

Brenda nampak terperangah sesaat. Dibandingkan penjahat-penjahat yang pernah ia temui selama ini, boleh ia akui jika Matteo adalah penjahat tertampan yang belum pernah ia temui. Dia benar-benar tampan, oke katakan saja Brenda berlebihan, tapi pria itu begitu mempesona. Apalagi setelan tuxedo itu nampak melekat pas di tubuhnya seakan menambah nilai plus ketampanan dan fisik sempurna yang dimilikinya.

Dan mengapa dirinya seolah-olah merasa jika ia begitu beruntung akan menikah dengan pria ini? Sudah mulai menikmati peran, huh? Ejeknya pada diri sendiri.

Dan keterpesonaan Brenda pada Matteo harus terhenti, ketika bisik-bisik karyawan yang membantunya tadi sibuk berbincang bersama teman satunya. Brenda pun yang berdiri tak jauh dari mereka hanya diam membisu.

"Bukankah mereka sangat serasi? Aku harap mereka bahagia sampai nanti."

"Iya, semoga saja."

"Hai, mengapa kau melamun?" tanya Matteo yang tanpa wanita itu sadari, sudah berdiri menjulang tepat di sampingnya. Radar tubuhnya yang tidak siap menerima keberadaan Matteo sontak mundur ke belakang. Dan hal itu justru membuat Brenda menahan pinggangnya. Ia mengumpat dalam hati, kenapa rasanya jadi panas sekali?

"Sepertinya kau sedang tidak enak badan, Lily. Mari pergi ke rumah sakit, dua hari lagi kita akan segera menikah. Aku tidak mau kau sakit." ucap Matteo nampak khawatir.

Sontak Brenda menggelengkan kepalanya sambil melepaskan tangannya dari pinggangnya. Akhirnya, ia berhasil menjaga jarak darinya. "A-aku baik-baik saja. Kau terlihat cocok dengan tuxedo itu." ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Matteo nampak mengernyit, namun kemudian ia tersenyum paham setelah mengerti arah pembicaraan Brenda. Dan selanjutnya, diluar dugaan tiba-tiba Matteo membelai pipi Brenda. Wanita itu seolah membeku ditempatnya, hari ini ia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan serangan bertubi-tubi seperti ini darinya, Brenda merasa kalah telak. Kakinya rasanya lemas dan mau copot.

"Kau juga cocok dengan gaun ini. Dan kau juga terlihat sangat cantik tanpa kacamata tebalmu itu, aku menyukainya.." ucap Matteo sambil berbisik.

Brenda sekuat tenaga menahan dirinya sendiri, ia tidak boleh lemah. Ini hanya bagian dari penyamarannya, hanya itu. Brenda pun tersenyum menanggapi pujian Matteo, lalu lagi-lagi menjaga jarak darinya.

"Sepertinya kita sudah sama-sama cocok dengan busana ini. Bagaimana jika kita mencoba busana untuk resepsi juga? Miss, tolong bantu aku."

Brenda menyuruh karyawan tadi untuk membantunya masuk kembali ke dalam ruang ganti dan meninggalkan Matteo sendirian. Ia sadar, menghadapi seorang Matteo sekarang bukanlah hal mudah, terlebih lagi disaat ada benih-benih yang sepertinya mulai tumbuh di dalam hatinya tanpa ia sadari.

Ya, Brenda akui, sepertinya ia sudah mulai jatuh cinta pada seorang Matteo Rimora. Tawanannya sendiri.

********

"Iya, aku akan menjaganya untukmu. Aku akan memastikan dia pulang dengan hidup-hidup."

Lea membalas telepon dari Simon yang hampir tiap jam menyuruhnya untuk mengawasi Brenda. Terkadang Lea benar-benar sebal dengan pria ini, apakah dia tidak memikirkan perasaannya sedikit saja? Padahal Simon tahu kalau ia memiliki perasaan pada pria itu, namun dia justru malah menunjukkan perhatiannya pada wanita lain padanya. Untung saja hatinya terbuat dari batu, jadi ia bisa kuat menjalani ujian ini.

"Aku harus kembali bekerja. Nanti kutelpon lagi."

Wanita itu memutus telpon dari Simon lalu memandang layar ponselnya lama. Lea membuang nafasnya secara kasar. "Aku hanya mencintaimu, Simon. Sampai kapanpun."

Lea menaruh ponselnya ke dalam saku seragamnya dan kemudian memutuskan untuk keluar dari kamarnya melanjutkan pekerjaannya. Sama seperti Brenda, Lea juga memiliki kamarnya sendiri. Namun ketika ia baru saja menginjakkan kakinya keluar dari kamarnya, ia terkejut ketika mendapati seorang pria sedang berdiri menjulang di depan pintu kamarnya. Dan bisa Lea ketahui, pria itu nampak terkejut karena sudah tertangkap basah olehnya.

"O-oh, jadi kau pelayan baru itu? Siapa namamu?" tanyanya mengusir kecanggungan.

"Lea. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Pria itu menggeleng, "Aku hanya ingin memastikan." Dan kemudian berlalu pergi dari sana. Lea menatap kepergian pria itu sambil melipat tangannya di depan dada.

"Mungkin Brenda sudah terlalu baik membiarkanmu mengusiknya, tapi jika kau berani mengusikku, aku tidak akan segan mengarahkan pistol kesayanganku ke kepalamu, Demian William."

Ya, pria tadi adalah Demian. Dan Lea tahu pria itu dari Brenda sendiri. Demian si pengacau, begitulah Brenda memperkenalkannya. Dan Lea pastikan, jika dia berani mengacaunya juga, Lea tidak akan segan bertindak nekad.

Klak! Dorrr!

"Selesai! Tepat mengenai sasaran!." ucapnya berangan-angan mengarahkan pistolnya tepat mengenai kepala Demian dari belakang.