"Wah, wah. Sepertinya kau sudah berhasil membuat mafia itu jatuh cinta padamu." sela wanita bermata hijau itu.
Brenda mengernyitkan dahinya setelah mendengarkan kata-kata dari Lea. "Jaga mulutmu jika kau tidak ingin kita ketahuan. Kau pikir yang punya telinga cuma aku?" jawabnya akhirnya.
"Gampang saja, jika ada yang menangkap basah kita, aku tidak akan segan menembak kepala mereka."
Brenda berdecih. "Jangan bercanda, kau pikir menembak orang sembarangan itu diperbolehkan?"
Lea mengedikkan bahunya tidak peduli. "Aku hanya memikirkan keselamatan diri sendiri. Lagipula itu juga tertera di peraturan, siapapun yang berusaha menghalangi misi, tindakan selanjutnya berada di tangan misioner."
Brenda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi sikap santai Lea. Pantas saja wanita itu memiliki julukan wanita berdarah dingin. Dia mendapatkan julukan itu juga bukan tanpa alasan. Karena Lea memang bisa sekejam itu. Brenda dulu sering mendengar bagaimana tegas dan kejamnya Lea ketika menindak penjahat yang membuatnya marah.
"Kalau kau ingin Simon juga menyukaimu, setidaknya kau harus bertingkah layaknya seorang wanita, bukannya preman seperti ini." ucap Brenda menyindir wanita itu.
Lea menarik sebelah alisnya sambil melipat tangannya d idepan dada. Wanita itu tersenyum sinis pada Brenda, setelah mendengarkan sindiran wanita itu barusan.
"Cih! Sesuka-sukanya aku pada Simon, aku akan tetap menjadi diriku yang apa adanya. Jika sekarang dia belum menyukaiku, berarti dia belum menerima kekuranganku." jelas Lea sambil menerawang.
Brenda terdiam. Baru kali ini ia melihat sisi berbeda dari seorang Lea. Ia pikir Lea adalah Lea, wanita judes dan cuek yang hanya mengejar cintanya pada Simon dengan cara apapun tanpa memikirkan harga dirinya sendiri, namun disisi lain ternyata ia menyimpan lukanya sendiri tanpa diketahui siapapun. Dan Brenda jadi merasa kasihan padanya. Lea itu cantik, apalagi ditambah dengan mata hijaunya yang indah, dia juga cerdas dan berpendidikan. Ia pernah mendengar jika banyak politikus muda di parlemen mengejar-ngejarnya untuk menjadikannya sebagai pasangan mereka, tapi Lea sama sekali tidak tertarik dan tetap menyukai Simon walaupun pria itu berkali-kali menolaknya dengan alasan tidak jelas. Kadang ia juga heran mengapa Simon menolak wanita sesempurna Lea. Padahal pria itu sering bergonta-ganti pacar, tapi untuk Lea seperti pengecualian.
"Kau benar, suatu saat nanti pasti Simon akan bisa menerimamu dengan apa adanya." ucap Brenda tulus.
Lea berdehem, "aku tahu."
Perbincangan mereka harus diakhiri ketika tiba-tiba Matteo turut bergabung diantara mereka. "Ternyata kau ada disini, aku mencarimu kemana-mana." ucap Matteo sambil menarik pinggang Brenda agar mendekat padanya. Lea yang melihat itu merasa ingin muntah dan bergidik jijik, sementara Brenda ia tidak bergeming di tempatnya seakan menyambut perlakuan Matteo secara sukarela.
"Maaf, saya pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaan. Silahkan nikmati waktu kalian berdua." tekan Lea pada pengucapannya.
Matteo nampak tidak menggubris Lea dan terus memandangi Brenda yang berada di sampingnya. "Ikut aku." ajaknya.
"Ke-kemana? Jam kerjaku belum selesai."
Matteo terkekeh karena sikap Brenda barusan, lalu menangkup dagunya dan mengecupnya. "Apakah kau sudah lupa? Calon suamimu ini adalah bosmu. Mulai sekarang kau boleh tidak bekerja dan ah, kau juga harus pindah ke kamar utama."
Brenda berusaha menjauh dari jangkauan Matteo dan melipat tangannya di depan dada sembari memandang pria itu dengan tatapan heran. "Kau bilang tidak suka jika aku memanfaatkan posisiku sekarang, tapi mengapa kau memperlakukan aku seperti ini?"
Matteo tersenyum, dan kemudian mengacak rambut Brenda lembut. "Aku baru tahu kalau kau ternyata seorang pendendam."
Dan bagaimana bisa aku melupakan setiap kata yang kau tuduhkan padaku beberapa waktu yang lalu? Aku tidak akan melupakannya, bodoh. Geram Brenda dalam hati.
"Ya, aku juga bukan seseorang yang bisa memaafkan orang lain dengan mudah. Siapapun yang sudah menyakiti hatiku, aku tidak akan melupakannya." sindirnya.
"Apakah kau sedang menyindirku?" ucap Matteo sambil mengernyitkan dahinya memastikan.
"Aku tidak mengatakan jika itu dirimu, kan?" jawab Brenda singkat.
Suasana berubah hening dalam beberapa detik, namun situasi berubah lebih baik ketika Matteo menarik tubuh Brenda ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, ya? Aku tidak berniat untuk menyakitimu waktu itu. Aku memang tidak pantas dimaafkan, tapi Lily, aku sangat-sangat menyesal sudah menyakitimu. Aku mencintaimu." katanya sambil mengutarakan perasaannya.
Brenda tidak tahu apakah Matteo serius mengatakan hal ini padanya, karena sekarang ia tidak bisa membaca ekspresi pria itu. Tapi semoga saja dia benar-benar tulus mengungkapkan perasaannya, karena bagaimana pun juga Brenda ingin semua ini cepat berakhir. Ia tidak mau merasakan perasaan tidak jelas karena sikap pria itu yang kadang tidak bisa ia pahami.Brenda tidak mau menjadi bodoh dan terluka seperti Lea.
****************
"Pa, wanita bernama Lily itu, apakah keturunan asia?" tanya Robert pada Sean.
"Keturunan asia? Entahlah. Dia terlihat seperti orang barat dengan rambutnya yang sedikit pirang." jawab Sean acuh tak acuh.
Robert berdecak. "Siapapun bisa terlihat seperti orang barat ketika mereka mengecat rambut mereka menjadi pirang, pa. Oh ayolah!"
Berbicara dengan ayahnya kadang-kadang suka membuat Robert jadi kesal sendiri. Ayahnya itu benar-benar suka tidak nyambung jika diajak ngobrol seperti sekarang misalnya.
"Begitukah? Wah, Robert, jika aku mengecat rambut pirangku menjadi hitam, apakah aku bisa terlihat seperti orang asia seperti Lily?"
Robert terdiam sambil menatap ayahnya datar. "Orang asia tidak memiliki frickles sebanyak punya papa di wajah mereka."
"Aku bisa mencari di internet untuk menghilangkannya. Ngomong-ngomong, aku ingin menjadi seperti orang asia dari dulu."
"Papa, yang benar saja!?" Robert memandang Sean tidak percaya akan kalimatnya barusan.
"Kenapa? Jangan berteriak di depan wajahku!"
"Tolong jangan keluar dari topik! Aku sedang membahas Lily, calon istri Matteo. Dan satu lagi, tetaplah jadi dirimu dan syukuri apa yang sudah diberikan Tuhan padamu." ucap Robert menasehati.
Sean berdecak. "Aku heran dulu mendiang mamamu mengidam apa saat sedang mengandungmu, aku seorang bos mafia tapi bagaimana bisa memiliki putra religius seperti dirimu. Ah, sepertinya Tuhan sudah menghukumku."
Robert melipat tangannya di depan dada. "Tuhan bukan sedang menghukummu, pa. Tapi dia ingin kau menebus dosamu melewati aku."
"Ouh! Bisakah kita akhiri percakapan ini? Telingaku rasanya gatal sekali karena terus-terusan mendengar ceramahanmu."
"Kau sudah tua, pa. Sadarlah sebelum kau dipanggil Tuhan. Akh!"
Robert mengaduh kesakitan ketika Sean memukul punggungnya. "Kau itu dengan Matteo sama saja. Selalu mengingatkanku tentang kematian, kematian, dan kematian sepanjang waktu. Aku tahu aku sudah tua dan memangnya kenapa? Aku bisa hidup seribu tahun lagi jika aku mau."
"Kau sudah pensiun dari dunia gelap itu, tapi kau masih saja serakah. Semoga Tuhan mengampuni keserakahanmu--aww!"
"Apa kau mau cari mati?!"
"Pa, sakit. Maafkan aku, aku tidak akan mengatakan hal itu lagi."
Dan Robert pun kabur dari jangkauan ayahnya dan meninggalkan pria itu di ruang tamu sendirian. Sementara itu sepeninggal Robert, Sean membuang nafas kasar.
"Ini demi kebaikan Matteo. Hanya wanita itu yang bisa menyelamatkannya."