Hoamm....
Brenda berkali-kali menguap lebar ketika rasa kantuk menyerangnya di pagi hari. Ia sedang menyapu di halaman, tapi karena dirinya hanya tidur beberapa jam saja tadi malam, seperti inilah keadaannya saat ini. Ia merasa benar-benar butuh tidur, tapi sayangnya dirinya tidak bisa sembarangan tidur di jam-jam tertentu apalagi disaat jam kerja masih berlangsung karena jika ketahuan, mungkin bukan kandang buaya lagi yang ia bersihkan nanti, bisa saja kandang penuh kuda nil atau ular anaconda.
Tanpa sadar Brenda bergidik ngeri, sebenarnya apa sih untungnya Matteo memelihara buaya di halaman rumahnya? Supaya unik dan terlihat sangar mentang-mentang bos mafia begitu? Kurang kerjaan sekali. Batin Brenda hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ehem!
Deheman seseorang mau tidak mau membuat Brenda kembali ke dunia nyata setelah beberapa saat menyelami dunianya sendiri, ketika ia menoleh untuk mengetahui siapa yang sudah menyadarkan lamunannya, Brenda reflek membungkuk memberi hormat.
"Selamat pagi, Tuan Sean." Sapanya pada pria paruh baya itu.
Pria berumur setengah abad itu menunjukkan deretan gigi rapinya kepada Brenda sambil melambaikan tangannya membalas sapaannya barusan.
"Selamat pagi, calon menantuku. Apa yang sedang kau pikirkan di dalam kepala cantikmu itu, sampai-sampai kau tidak menyadari kedatanganku?" tanyanya heran.
"Ah, maafkan saya Tuan Sean. Saya tidak akan mengulanginya lagi dan tolong jangan memanggil saya dengan sebutan seperti itu."
Sean menarik sebelah alisnya dan tersenyum miring, meskipun usianya sudah tidak muda lagi tapi ketampanan Sean masih terlihat jelas di wajahnya.
"Memangnya aku memanggilmu apa?" Tanya Sean balik dan Brenda menggeram dalam hati. Ia tahu maksud dari pertanyaan pria itu setelah melihat ekspresi yang dipasangnya saat ini. Anak dan Ayah sama saja, tidak ada bedanya karena sama-sama menyebalkan. Batinnya kesal.
"Dengan segala hormat saya pada anda, pokoknya saya tidak mau dipanggil seperti itu lagi. Saya tidak mau orang-orang di rumah ini salah paham ketika mendengar--"
"Kalau kau calon menantuku? Lily, bukankah itu bagus? Semua orang akan tahu kalau kau akan menjadi menantuku sebentar lagi."
"Tuan Sean, apa yang anda katakan tidak ada bagus-bagusnya. Justru mereka malah akan berpikir jika saya sudah merebut Matteo dari Ritta--" Brenda menghentikan kalimatnya, mengapa ia harus peduli? Tidak, sejak kapan ia peduli? Benar, bukankah ini bagus? Ia bisa merealisasikan misinya kembali dengan memanfaatkan kekuasaan dari sebutan baru yang akan disandangnya nanti. Batinnya menyahut.
"Lily?" Panggil Sean.
Brenda tersenyum memasang senyum terbaiknya kepada Sean, "Baiklah jika anda memaksa, saya tidak bisa berbuat apa-apa."
"Apa-apaan ini? Kau akhirnya mau menikah denganku?" Intrupsi seseorang membuat Sean maupun Brenda harus menoleh ke sumber suara dan mendapati Matteo bersama Demian disana.
"Ck!"
Bukan Brenda yang berdecak barusan, tapi Sean yang menyadari ada Demian di samping Matteo yang mengekorinya terus seperti anjing dan hal itu membuat Sean jengah apalagi mengingat kejadian kemarin. Sementara itu Demian membungkuk sambil memasang ekspresi datar di wajahnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan secara bersamaan Brenda maupun Sean berdecih.
"Pa, mengapa kau pagi-pagi sudah datang kemari? Dan kau Lily, mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku barusan? Kau benar-benar mau menikah denganku kan?" tanya Matteo kepada Sean dan Brenda bergantian.
"Apakah kau tidak punya mafioso lain?" ucap Sean mengalihkan pembicaraan Matteo.
"Pa, Demian bukan hanya sekedar mafioso-ku tapi dia juga tangan kananku. Dan tolong jawab pertanyaanku!"
Sean mengedikkan bahunya tidak peduli lalu merangkul Brenda tiba-tiba, "Aku ingin menjemput calon menantuku. Dan oh iya, bukankah kemarin kau tidak mau menikahinya? Jadi aku sudah memutuskan untuk menikahkannya dengan Robert. Sebentar lagi dia juga akan datang kemari."
Brenda terkejut, bukan seperti ini keinginannya. Ia menyetujui pernikahan itu karena untuk melindungi diri dari Demian dengan adanya Matteo di sisinya.
"Dia milikku!" tegas Matteo tajam dan hal itu membuat Brenda termangu di tempatnya. Matteo mengklaimnya? Entah mengapa Brenda merasa sangat senang mendengar itu, tapi ini tidak benar, ia tidak boleh begini.
"Milikmu? Kau mengklaimnya?" ucap Sean memastikan.
"Iya, karena dia pelayanku. Aku yang menggajinya."
Situasi Brenda saat ini seperti diajak terbang ke langit sebentar lalu di jatuhkan begitu saja ke tanah. Lagipula mengapa ia harus begitu percaya diri dan berharap pada mafia itu? Matteo memang bukanlah pria normal pada umumnya. Dia hanyalah seorang ladykiller.
"Tuan Matteo benar, Tuan Sean. Saya adalah pelayannya, dia yang menggaji saya, jadi saya tidak bisa sembarangan keluar dari rumah ini."
"Tapi kau sudah kuangkat menjadi putri angkatku dan bukankah tadi kau bilang kau mau menjadi menantuku?"
"Saya pikir anda masih ingin menikahkan saya dengan Tuan Matteo tadi, bukan putra anda yang lain."
Matteo tersenyum menang, "kau dengar itu, Pa?"
"Tentu saja aku dengar, jadi akhirnya kau memutuskan mau menikah lagi?" Sean membalikkan pertanyaan kepada Matteo dan hal itu membuat pria itu kemudian menggeram kesal. Kini ganti Sean yang tersenyum menang.
"Tapi dilihat dari ekspresimu, sepertinya kau--"
"Baiklah, aku akan menikahinya. Kau puas?!"
Sean tergelak, usahanya untuk datang pagi-pagi kemari tidak sia-sia. Matteo Junior, aku tidak sabar menunggumu. Batinnya senang.
Sementara itu, Brenda yang mendengar dengan telinganya sendiri kalau Matteo akhirnya akan menikahinya dengan terpaksa, entah mengapa membuatnya sedih. Ia tidak mengerti, mengapa ia harus peduli dan memikirkan hal semacam ini. Simon benar, ia tidak boleh memakai hati ketika melakukan sebuah misi, karena pada akhirnya itu akan merepotkannya.
Dan disisi lain, Demian yang sejak tadi berada disana dan seakan tidak dianggap hanya tersenyum sinis.
Brenda Scarlet, aku memang belum membuka kedokmu yang sebenarnya karena aku lebih tertarik membuatmu menderita semenderita-ritanya dulu sebelum membunuhmu dengan tanganku sendiri! Batin pria itu.
Kantor Pusat FBI, Washington, D.C., Amerika.
"Apakah belum ada bukti yang menunjukkan Matteo sebagai pembunuh jaksa Paulo?! Kalian bisa atau tidak sih mengurus ini?!" marah pria berambut pirang itu.
"Tuan Liam, kami sudah berusaha semampu kami untuk segera menyelesaikan kasus ini--"
Brakkk!
Liam menggebrak meja ruang rapat itu begitu keras dan memandang wajah agen-agennya satu-persatu dengan tajam dan hal itu membuat mereka menunduk takut tidak berani membalas tatapan seorang Liam Edison, pimpinan tertinggi institusi itu. Dia begitu disegani karena kemampuannya menyelesaikan kasus-kasus dengan akurat dan tepat sampai membuatnya memimpin FBI.
"Aku tidak bisa mentolerir kecacatan apapun dalam menjalankan misi, aku sudah cukup bersabar memberi kalian kesempatan. Dan sekarang, aku tidak akan--"
"Tuan Liam, beri kami satu kesempatan lagi. Sekarang Brenda sedang menjalankan misinya dengan menyamar sebagai pelayan di rumah Matteo Rimora."
Liam menoleh, "Kau bilang apa barusan, Simon?"
Simon meneguk ludahnya susah payah dan mulai menjelaskan misi yang sudah mereka rancang dari awal, sampai kendala yang mereka hadapi selama menjalankan misi kepada Liam. Dan setelah mendengarnya sampai selesai, Liam akhirnya membuat keputusan.
"Baiklah, aku memberi kalian kesempatan lagi. Karena aku tahu Brenda pasti berhasil menjalankan misi ini dan mengungkap kejahatan mereka."
Setelah rapat selesai, Simon bergegas menuju mejanya kembali dengan tergesa. Tiga hari sudah berlalu, tapi Brenda tidak kunjung mengabarinya bahkan tidak membalas emailnya. Dan Simon merasa seperti orang gila karena hal ini.
"Ada apa Simon? Apakah ada masalah?"
"Aku tidak tahu, Lea. Sudah tiga hari ini Brenda tidak mengabariku."
Wanita cantik bernama Lea itu melebarkan mata hijaunya, "Apa?! Lalu bagaimana? Tuan Liam sudah terlanjur mengetahui misi ini!" ucapnya panik.
Simon mengacak rambutnya frustasi, "Aku tahu, Lea! Tapi itu tidak penting, karena sekarang yang terpenting aku mengkhawatirkan keadaannya."
Lea terdiam menatap Simon yang baru ia sadari penampilannya tidak seperti biasanya, kantung matanya nampak menghitam, jambang halus juga mulai tumbuh disekitar dagunya.
"Tak bisakah kau menyukaiku sama seperti kau menyukai Brenda?" tanya Lea tidak sadar, namun dapat didengar oleh Simon.
"Lea?"
Lea memaksakan senyumnya, "Aku tahu, Simon. Aku tahu. Sampai kapanpun kau tidak akan bisa membalas perasaanku karena hatimu hanya milik seorang Brenda Scarlet." ucap Lea bersikap seolah baik-baik saja, namun pada kenyataannya hatinya terasa dihujami ribuan jarum.