Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 12 - Chapter 12

Chapter 12 - Chapter 12

"Lepaskan saya!!" Brenda berusaha melepaskan tangannya dari tarikan kasar Matteo, tapi pria itu seakan tidak peduli dan terus melangkahkan kakinya lebar tanpa memikirkan keadaannya sedikitpun. Apakah dia sama sekali tidak punya hati? Penjahat ini benar-benar. Batinnya kesal.

"Tuan Matteo, tangan saya sakit. Bisakah anda membiarkan saya untuk berjalan sendiri--"

Brukk!

Brenda meringis setelah merasakan hidung mancungnya menabrak punggung tegap milik Matteo yang entah mengapa tiba-tiba berhenti tanpa aba-aba. Ia bersyukur tulang hidungnya tidak patah karena insiden ini.

"Sebenarnya yang sakit tanganmu atau hidungmu?" Intrupsi Matteo membuat Brenda memasang ekspresi kesal padanya. Pasalnya pria itu main asal saja menariknya pergi dari Sean. Walaupun pak tua itu juga sedikit menyebalkan, apakah Matteo sama sekali tidak memiliki sopan santun kepada ayahnya sendiri? Brenda sama sekali tidak habis pikir.

"Menurut anda berhenti secara tiba-tiba seperti barusan sampai akhirnya membuat saya menubruk anda dari belakang tidak membuat wajah saya terluka?" Protes Brenda selanjutnya.

Sontak Matteo mendekatkan wajahnya ke arah wajah Brenda meskipun hanya ditemarami sinar bulan malam itu, ia masih bisa melihatnya dengan jelas. Sementara itu Brenda hanya menahan nafasnya setelah mendapatkan perlakuan semacam itu dari Matteo.

"Kau mau menipuku ya? Hidungmu dalam keadaan baik-baik saja."

Brenda memutar bola matanya jengah, "Iya, saya tahu. Saya berkata jika anda hampir saja mematahkan tulang hidung saya!" jelasnya dengan intonasi suara sedikit membentak.

Mendapatkan perlakuan itu dari Brenda, Matteo menggeram menahan marah dan akhirnya menarik tangan Brenda kasar hingga membuat tubuh wanita itu menabrak tubuh bagian depannya.

"Beraninya membentakku?!"

Bukannya takut, justru Brenda hanya menghela nafas. Ia benar-benar lelah menghadapi sikap emosional Matteo yang naik turun seperti roller coaster. Padahal ini sudah malam dan seharusnya ia beristirahat setelah beraktivitas berat selama seharian. Entah mengapa hari ini masalah bertubi-tubi mendatanginya tanpa henti sih? Dan Brenda merasa tidak bisa menahan diri lagi, ia tidak mau diperlakukan semena-mena oleh siapapun bahkan dengan seorang Matteo Rimora sekalipun. Meskipun sekarang hidupnya berada diambang kehancuran karena sudah ketahuan, tapi ia akan berjuang sampai akhir. Ia sudah menahan diri dari tadi, sekarang ia tidak peduli lagi. Brenda merasa juga sudah tidak bisa menahan emosinya hingga air mata tidak sadar sudah turun dari kedua pipinya.

Hiks...hiks...hiks...hiks...

Matteo hanya bisa terdiam ketika melihat Brenda secara tiba-tiba menangis. Bahkan air matanya juga jatuh membasahi tangannya. Tubuh Brenda juga nampak bergetar seakan mengikuti irama dari tangisannya. Matteo dibuat makin membisu di posisinya saat ini, namun kemudian ia melepaskan cekalan tangannya dari tangan wanita itu pelan-pelan. Entah mendapatkan bisikan dari setan mana, Matteo menarik tubuh Brenda ke dalam pelukannya. Matteo pikir ia sudah benar-benar gila karena melakukan hal ini pada seseorang wanita, terlebih lagi wanita itu adalah Brenda yang notabenenya sudah berani menolaknya mentah-mentah, mengumpatinya, bahkan merendahkannya setelah berani menggoda mafioso-nya.

Matteo tidak terima dan ia marah karena seakan tidak dianggap oleh Brenda. Apalagi saat ia melihat wanita itu akan mencium Demian di ruang kerjanya tadi, ia merasa dadanya begitu panas dan timbul rasa yang tidak bisa dijelaskan sampai ia dengan nekad memperlakukan wanita itu dengan kasar. Ah, ini seperti bukan diriku. Batinnya.

Namun Matteo tidak bisa menahan dirinya sendiri, seakan-akan tubuhnya bergerak sendirian tanpa bisa ia cegah. Tentu saja hal ini membuat Matteo tidak memahami dirinya sendiri.

"Apakah aku melukaimu?" tanya Matteo lirih dan mendapat anggukan dari Brenda.

"Sakit." jawab Brenda dengan suara terdengar lemah.

Kedua tangan Matteo menangkup wajah Brenda, pria itu menatap manik mata Brenda yang tertutupi kacamata tebalnya. Sontak ia terdiam setelah menyadari sesuatu dan selanjutnya diluar dugaan tiba-tiba ia menarik wajah Brenda menuju ke wajahnya dan menempelkan bibirnya ke bibir wanita itu yang terasa masih sama rasanya. Namun kali ini ia melakukannya dengan lembut demi memberi kenyamanan untuk Brenda. Dan benar saja, sekarang wanita itu mengikuti gerakan bibirnya sambil mengalungkan kedua tangannya di lehernya. Matteo hanya bisa tersenyum senang.

Matteo yang tadinya bermain lembut dibuat menggeram ketika Brenda menghisap kuat bibirnya, hal itu tentu saja meninggalkan kenikmatan tersendiri untuknya. Ini kali pertamanya ia begitu bergairah hanya karena hal yang tidak bisa ia rasakan pada wanita lain. Brenda benar-benar sudah membuatnya gila. Lantas ia memaksa wanita itu membuka bibirnya agar ia bisa lebih bebas mengabsen isi mulutnya. Matteo tidak pernah merasa puas mengecup bibir Brenda, karena ia ingin mencecapnya lagi dan lagi.

Tapi kali ini mau tidak mau ia harus melepaskan tautan bibirnya dari bibir Brenda, karena ia tahu jika wanita itu membutuhkan pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Dan benar saja, Brenda terlihat terengah-engah akibat hal itu. Matteo tersenyum sambil mengusap bibir Brenda yang membengkak karena ulahnya. Ia kembali mendekatkan wajahnya namun kali ini Matteo hanya mengecup hidung Brenda cukup lama, lalu menuju pergelangan tangannya dengan memberikan kecupan-kecupan di beberapa titik. Brenda yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya memejamkan matanya menikmati gelenyar aneh akibat ulah Matteo. Kupu-kupu terasa menghinggapi perutnya dan Brenda tahu sekarang ia sedang bergairah untuk pertama kalinya.

Sementara itu, tanpa mereka sadari seseorang wanita berambut pirang tengah memerhatikan aktivitas mereka dari jauh, dan melihat dengan jelas apa yang sudah terjadi sambil menggenggam tangannya kuat sampai kuku jarinya memutih.

"Beraninya wanita itu menggoda suamiku."

"Lebih tepatnya mantan suamimu." Sambung seseorang yang tiba-tiba datang.

"Demian? Mengapa kau bisa ada disini?"

"Hanya ingin menikmati udara segar di malam hari, Ritta."

Ritta menatap Demian was-was, perasaannya selalu tidak enak jika bertemu orang kepercayaan suami kontraknya itu. Tapi disaat ia mendengar kalimat janggal dari Demian barusan, sontak Ritta menatap pria itu dengan marah.

"Mantan suami? Kontrak kami belum berakhir!"

Demian berdecih, ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celananya. Dalam beberapa detik Ritta hanya bisa menahan nafasnya menyadari aura yang terpancar dari pria itu. Demian benar-benar tampan. Tapi kemudian ia menggeleng, Demian tidak sebaik dari penampilannya. Dia pria yang licik dan rela melakukan apapun demi menyenangkan Matteo.

"Tapi Tuan Matteo sudah melayangkan gugatan perceraian untukmu." jawab Demian santai.

"Apa??"

Meski terkejut, Ritta mampu merubah ekspresinya dengan cepat . Sementara itu, Demian yang mengetahuinya menunjukkan senyum lebarnya.

"Tapi, kita bisa membuatnya membatalkan gugatan itu." ucapnya terlihat yakin.

"Kita? Maksudmu aku dan kau?"

"Iya."

Ritta menggeleng dan menatap Demian tidak mengerti, "Tapi kenapa kau juga?"

"Karena aku tidak rela bosku bersama wanita itu." ucap Demian dengan mengetatkan rahangnya.

"Wohoo! Sepertinya kau tidak menyukai wanita itu ya?"

Demian tidak menjawab, ia hanya memandang Brenda dan Matteo yang berada tidak jauh dari posisi mereka berada.

Ritta menarik sebelah alisnya dan mengangguk, "apapun alasanmu membenci wanita itu, tapi aku juga mau berterima kasih padamu karena mengajakku--"

"Jangan terlalu percaya diri, Ritta. Aku begini bukan karena aku peduli padamu."

"Aku tidak berpikir kau peduli padaku, aku hanya berterima kasih saja. Tapi bagaimana caranya kita membuat Jungkook membatalkan gugatan itu?"

"Aku sudah punya rencana." ucapnya tersenyum miring.

Krieek!

Ritta maupun Demian menoleh ke sumber suara ketika mendengar seperti ranting terinjak.

"Siapa disana?!"

Dengan kecepatan kilat Demian berlari menuju arah dari suara itu berasal dan mendapati seseorang dengan wajah ketakutan memandangnya.

"Yesi?"

"Siapa Demian?" Intrupsi Ritta membuatnya menoleh.

"Tidak ada, bisakah kau pergi dari sini? Nanti kita bahas lagi!"

"Baiklah."

Kini Demian mengarahkan dwinetranya kembali ke wajah Yesi yang makin memucat.

"Apakah kau mendengarkan semuanya?"

"Ampuni aku, Demian. Tolong-- Akhhh!"

Yesi meringis ketika Demian mencengkram dagunya kuat.

"Kau dekat dengan Sinbi-- maksudku Brenda kan?"

Yesi mengangguk lemah, Demian tersenyum lalu mengusap lembut pipi wanita itu.

"Jika kau tidak ingin mati, turuti perintahku mulai sekarang."