Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 10 - Chapter 10

Chapter 10 - Chapter 10

Dorr! Dorr! Dorrr!

"AHHHH!"

Suasana di dalam bar itu berubah mencengkam ketika beberapa tembakan terdengar menggema bercampur teriakan panik para pengunjung. Sementara itu tawa menggelegar juga terdengar mengisi kekacauan itu setelah melihat beberapa tubuh manusia nampak tergeletak di atas dinginnya lantai bar yang kini dipenuhi dengan lautan darah dari korban.

"Aku akan kaya!" teriaknya senang sambil mengambil tumpukan uang di atas meja judi yang ditinggalkan orang-orang ke dalam kantong yang ia bawa.

"Dasar orang-orang lemah!"

"Tidak berguna!"

"Kalian layak untuk mati!"

Pria penimbul kekacauan itu mulai mengoceh mengejek kematian orang-orang karena ulahnya. Dan tanpa ia sadari sejak tadi ada yang sedang memerhatikannya di sudut ruangan bar yang besarnya tidak seberapa.

"Sudah puas mengocehnya?" Intrupsi orang itu membuat pria tadi menggeram karena aktivitasnya diganggu, namun disaat dia mengenali siapa yang sudah mengganggunya, pias ketakutan nampak di raut wajahnya.

"Matteo Rimora?" ucapnya terkejut.

Matteo berdecih mengetahui ketakutan menyandera pembuat kekacauan itu. Ya, pasalnya ia datang ke bar ini tadi niatnya hanya ingin berjudi untuk menghalau kegusarannya, tapi ternyata niat baiknya justru dihancurkan oleh anak ingusan itu yang sekarang terlihat akan mengompol setelah menyadari keberadaannya. Sejak kekacauan terjadi, memang ia dan para mafioso-nya tidak melakukan apa-apa selain menunggu dengan duduk di pojokkan sambil minum bir dan makan kacang. Dari informasi yang didapatkan Demian dengan cepat, pembuat onar itu bukanlah tandingannya karena dia hanyalah perampok biasa tidak sekelas dirinya yang seorang mafia. Namun sama seperti dirinya dan kawanannya, perampok itu juga memiliki kawanan dan pemimpin tentunya. Moodnya sudah hancur karena gangguan yang diakibatkan pria bernama Dean itu dan sekarang dia harus menanggung akibatnya karena perbuatannya. Lagipula ia juga sudah punya rencana dari awal jika berjudi tidak bisa menghalau masalahnya, maka ia akan memilih opsi ketiga.

"Bosmu punya ponselkan? Hubungi dia dan yang lain untuk datang kemari!"

Pias ketakutan nampak menjadi di wajahnya, pria bernama Dean itu langsung memberingsut bersimpuh di bawah kaki Matteo.

"Tuan Matteo, ampuni saya! Saya tidak mungkin menghubungi bos saya karena pasti saya akan mati--"

"Jadi kau lebih memilih mati di tanganku? Wah, ternyata kau anak buah yang berdedikasi tinggi juga ya pada bosmu."

Dean menggeleng kuat, ia tidak mau mati sekarang. Karena ia masih ingin hidup lebih lama dan menikmati hasil rampokannya.

"Tidak, Tuan. Saya ingin tetap hidup dalam keadaan apapun!"

Matteo tersenyum sinis, dasar serakah! Kau pikir akan tetap hidup setelah menghancurkan moodku?! Batinnya.

"Baiklah, kalau begitu tunggu apalagi? Hubungi bosmu dan teman-temanmu untuk segera datang kemari dalam waktu kurang dari 5 menit--"

"Apa? Mana mungkin mereka akan datang secepat itu?!"

Matteo menggeram marah karena Dean berani memotong kalimatnya, ia sudah cukup bersabar menghadapi pria itu untuk tidak segera menembak otaknya tapi sekarang kesabarannya sudah habis.

Lantas ia mengeluarkan pistol yang selalu ia bawa dan yang pernah ia gunakan untuk memberi peringatan buaya-buayanya untuk menyelamatkan Lily waktu itu. Tunggu, mengapa sekarang ia jadi memikirkan wanita itu?

"Lima menit atau tidak sama sekali!" bentak Matteo sambil mengacungkan pistolnya tepat di dahi Dean.

"Ba--baik, Tuan. Saya akan mengusahakannya."

Dean segera mengeluarkan ponselnya secara serampangan dan langsung menghubungi bosnya.

"Ha-halo, bos?"

"Bodoh, kemana saja kau? Mengapa baru sekarang menghubungiku? Dasar bedebah!"

Dean nampak memucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya. Inilah salah satu alasannya enggan menghubungi bosnya karena selama beberapa hari ini dirinya menjadi perampok individual tanpa kawanan.

Sementara itu Demian yang sejak tadi berdiri di belakang Matteo mendekati pimpinannya itu untuk memberikan informasi terbaru.

"Dia keluar dari kawanannya," bisik Demian.

Klak!

Matteo menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkan moncong pistolnya ke arah Dean yang terlihat terkejut karena tindakan tak terduga darinya.

"Tuan--"

Dorr! Dorr!!

Peluru itu langsung melesak menembus kulit kepala Dean sampai tubuhnya terhempas ke atas lantai bercampur dengan darah jasad orang-orang yang ia tembak tadi. Pria itu mati seketika.

"Tuhan memberkatimu," ucap Matteo menatap jasad Dean.

"Apakah anda merasa lebih baik, Tuan?" tanya Demian.

Matteo bangkit dari kursinya sambil meregangkan badannya. "Sangat-sangat baik. Ayo pulang!"

*****

Klik! Klik! Klik! Klik!

Success!

"Yeyy!"

Brenda benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika brangkas Matteo berhasil ia buka setelah mendapatkan sandi itu dari Simon tadi.

"Aku tidak menyangka kalau seorang penjahat bisa menggunakan angka cantik itu sebagai nomor keberuntungannya saat berjudi dan sandi untuk brangkasnya."

Pasalnya angka 1004 identik dengan angel atau malaikat dan rasanya terdengar aneh jika penjahat memanfaatkan angka penuh filosofi itu. Tapi Brenda tidak peduli, apapun yang menjadi alasan Matteo menggunakan angka itu, yang terpenting ia akan segera menyelesaikan misinya dan bisa menyeret Matteo masuk ke dalam jeruji besi. Namun setelah membuka lapisan terakhir brangkas, dahinya mengernyit ketika mendapati brangkas itu kosong.

"Apa-apaan ini?!"

"Terkejut?" sambung seseorang dari belakang dan membuat tubuh Brenda menegang seketika.

"Brenda Scarlet, ternyata kau bergerak cukup cepat juga."

Brenda menoleh, matanya membulat tak percaya. Bagaimana bisa? Ia merasa dipermainkan. Namun ia segera menguasai dirinya sendiri, ia tidak mau kalah meskipun dirinya sempat dibuat terkejut. Pantas saja pria ini identitasnya tidak bisa dilacak oleh Simon, ternyata dia adalah mafioso dari Matteo.

"Ah, benar-benar diluar dugaan. Ternyata orang yang terlihat baik itu nyatanya yang paling buruk."

Demian berdecih. "Aku hanya ingin mengujimu," jawabnya datar tanpa ekspresi dan Brenda baru melihat sisi Demian yang ini berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang dia tunjukkan padanya selama ini.

"Mengujiku? Demian William, aku tidak takut padamu," balas Brenda percaya diri.

Demian tersenyum sinis, ia sudah curiga pada Brenda sejak pertemuan pertama mereka. Pasalnya ia tahu betul jika Ritta tidak sembarangan merekrut pelayan apalagi pelayan itu berdarah asia. Tentu Demian langsung mengenalinya, meskipun Brenda menutupi mata sipitnya menggunakan kacamata. Sejak kecurigaannya waktu itu secara diam-diam Demian menyelidiki Brenda. Ya, dirinya juga sering mendengarkan percakapan wanita itu bersama rekan kerjanya lewat telepon.

Sebenarnya ia tadi baru saja pulang dari bar dan disuruh bosnya untuk mengambil wine di bar mini ruang kerja Matteo, tapi secara kebetulan ia menangkap basah Brenda yang ternyata bergerak lebih cepat diluar dugaannya. Tapi untung saja ia sudah mengamankan berkas-berkas penting milik Matteo itu.

Demian maju mendekati Brenda yang masih berdiri di tempatnya, wanita itu terlihat tidak bergeming di tempatnya dan membuat Demian semakin memiringkan senyumnya.

"Apa kau tidak takut sama sekali padaku?"

"Tidak sama sekali!" hardiknya. "Kau bukan tandinganku!"

Meskipun Brenda terlihat tidak takut padanya, tapi Demian tahu jika wanita itu berusaha untuk tetap memberanikan diri di depannya. Demian mencengkram dagu Brenda, dia mau menolak tapi tenaganya tidak seberapa.

"Kau bisa saja mati di tanganku sekarang!" ucap Demian terus mengancam, tujuannya hanya ingin membuat Brenda memohon padanya.

"Aku tidak akan membiarkannya!"

Brenda berniat akan menendang selangkangan Demian sama seperti yang ia lakukan pada Matteo tadi, tapi pria itu benar-benar cekatan sampai bisa mengunci tubuhnya.

"Lepaskan aku!"

Demian tersenyum penuh arti lalu meraup dagu Brenda lagi berniat akan mencium bibirnya, tapi selanjutnya brakkkk! Pintu ruang kerja itu dibuka dari luar dan menampakkan seseorang di ambang pintu.

"Apa-apaan ini?!"

Matteo Rimora muncul di waktu yang tepat.