"Bukankah sudah kubilang, jika kau ingin memberi tahu sesuatu, lewat chat saja. Mengapa kau terus menghubungiku, Simon?" Brenda berbicara sambil berbisik agar tidak ada yang mendengar suaranya. Jam kerjanya sudah selesai, ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat, tapi disaat ia mengecek ponselnya yang sengaja tidak ia aktifkan seharian untuk menghindari kecurigaan, ternyata ada panggilan tidak terjawab dari Simon sampai berpuluh-puluh kali.
"Brenda, aku hanya ingin menyampaikan informasi penting padamu. Dan aku harus menyampaikan langsung padamu," jelas pria itu.
Perkataan Simon sontak membuat dahi Brenda mengernyit heran. Ia bisa merasakan keseriusan dalam nada bicara Simon. Ada apa ini? Perasaannya jadi tidak enak.
"Baiklah, aku akan mendengarkan. Dan kuharap ini kabar yang bagus," ucapnya sambil bercanda.
Biasanya Simon akan tergelak jika Brenda membubuhkan candaan dalam kalimatnya saat memulai topik, tapi kali ini pria itu sama sekali tak bereaksi.
"Yesi Orien, kau tidak perlu mencurigainya. Well, dia wanita yang baik karena bekerja untuk menghidupi keluarganya. Jadi jangan khawatir. Dan tentang Demian William," jelas Simon. "Dia pria yang misterius."
Hanya dua kata itu yang mampu Simon jabarkan. Brenda pun mengernyit.
"Dia misterius? Maksudmu apa, Simon?"
Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, Brenda yang merasa Simon terdengar begitu putus asa semakin tidak mengerti dengan situasi ini. Karena ini kali pertamanya seorang dektektif andalan FBI itu kehilangan kata-kata untuk menjabarkan informasi yang dia dapat.
"Simon, ada apa?" tanya Brenda mengulangi pertanyaannya. Tentu saja ia dibuat penasaran akan maksud dari pria itu.
"Aku tidak menemukan informasi apapun tentang pria ini, Brenda. Kau tahu? Sebagai seorang dektektif aku merasa gagal karena hal ini. Biasanya aku akan mendapatkan informasi orang-orang dengan mudah, tapi tidak untuk si Tuan William," jelas Simon terdengar frustasi sampai menyebut Demian dengan nama belakangnya.
"Baiklah, tenangkan dirimu Simon. Menurutku selama ini kau sangat diandalkan oleh semua agen FBI dan tak ada yang meragukan kemampuanmu. Setidaknya sekarang aku tahu siapa saja yang patut kucurigai. Terima kasih atas bantuanmu, Simon. Mungkin kau butuh beristirahat sebentar."
"Tidak! Aku tidak akan beristirahat sebelum mendapatkan informasi dari pria ini!" tegas Simon dari sebrang sana. Pria itu terdengar begitu serius.
Brenda menghela nafas, Simon memang orang yang ambisius. Disisi lain ia juga merasa salut padanya. Simon adalah pria yang hebat dengan dibekali IQ di atas rata-rata. Jadi kemampuannya tidak bisa diragukan.
"Baiklah, itu urusanmu. Aku mempercayai--" Kalimat Breda terpotong ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar. Damn! Ia lupa tidak mengunci pintunya tadi dan mendapati si pelaku pembuka pintu sudah berdiri menjulang di ambang pintu. Brenda buru-buru memakai kacamatanya.
"Yesi, ada apa?"
Yesi nampak memasang ekspresi sendu, wanita itu juga terlihat ingin menangis. Brenda pun mengernyitkan dahinya menyadari hal itu.
"Apakah sudah terjadi sesuatu pada--" Brenda belum sempat menyelesaikan kalimatnya, namun tiba-tiba Yesi langsung menerjangnya dengan memeluknya erat sambil menangis.
"Brenda, maafkan aku," ucap wanita itu berkali-kali. Brenda yang sempat terkejut karena terjangan Yesi, mulai kembali bersikap biasa dan menenangkannya.
"Tenanglah, Yesi. Ada apa? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik."
"Maafkan kata-kataku kemarin yang akhirnya membuatmu marah padaku."
"Huh?"
Bingung. Brenda tidak mengerti akan maksud ucapan Yesi yang mengatakan jika dirinya marah pada wanita itu. Ia memang menjaga jarak darinya karena sempat mencurigainya. Tapi setelah mendapatkan konfirmasi dari Simon untuk tidak perlu mencurigainya, Brenda jadi sedikit merasa bersalah padanya. Apakah mungkin karena ia sempat menjauhinya jadinya Yesi berpikir kalau ia marah padanya? What a dumb girl? Tapi Brenda juga tidak mau menyalahkannya, karena ini juga kesalahannya.
"Aku tidak marah padamu. Mengapa kau bisa berpikiran begitu?"
Yesi terlihat akan mengelap ingusnya dengan seragam pelayannya, namun Brenda segera berteriak menghentikannya dengan segera memberikannya tisu.
"Kau bukan anak-anak lagi, Yesi," ucap Brenda sempat menggerutu karena tindakan wanita itu yang terlihat sedikit menjijikkan di matanya. Apalagi menurutnya Yesi itu cantik, tidak boleh ada wanita cantik yang jorok di dunia ini. Abaikan pemikiran Brenda yang satu ini.
"Maafkan aku, Brenda. Terima kasih tisunya." Dan Yesi segera mengeluarkan semua ingus di hidungnya dengan tisu pemberiannya, sementara Brenda mengedarkan pandangannya dan menulikan telinganya untuk beberapa saat. Semua orang pasti tahu bagaimana bunyi yang ditimbulkan ketika ingus dikeluarkan dari persembunyiannya.
"Karena kau tidak menyapaku sejak kemarin. Dan aku pikir kau marah tentang ucapanku mengenai Ritta dan Tuan Matteo."
Brenda tergelak, jadi Yesi berpikir jika ia marah karena hal itu? Wanita ini terlalu polos atau bodoh sih? Brenda khawatir pada Yesi sekarang takut jika ada orang jahat memanfaatkannya demi tujuan yang tidak baik karena kepolosannya.
"Yesi, aku sama sekali tidak marah padamu. Bukankah kemarin aku juga sudah bilang jika aku tidak marah? Aku tidak menyapamu karena aku terlalu sibuk menyelesaikan pekerjaanku karena aku takut dihukum oleh Ritta lagi," ucap Brenda beralasan karena ia tidak mungkin mengatakan jika dirinya sempat menjauhi wanita itu kemarin.
"Aku lega mendengarnya."
Kini ekspresi Brenda berubah serius, Yesi sudah bekerja cukup lama di rumah ini. Tentu dia tahu Demian orang seperti apa. Mungkin ia bisa bertanya sedikit mengenai pria itu padanya dan tentang gerak-gerik anehnya kemarin disaat ia bersama Demian. Pasti ada sesuatu yang melatar belakanginya.
"Yesi?"
"Ya?"
Brenda memberi jeda dan memilih kata yang tepat untuk mengajukan pertanyaan pada Yesi agar tidak terdengar mencurigakan.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"
Yesi tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja."
"Ini tentang Demian--" Brenda menghentikan pertanyaannya ketika raut ekspresi Yesi berubah tegang, dahinya mengernyit mengetahui itu. Apa yang membuat Yesi memasang ekspresi seperti itu ketika ia akan menanyakan tentang Demian padanya? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padanya dan ada sangkut pautnya dengan pria itu. Yesi merubah ekspresinya lagi seperti tidak terjadi apa-apa dan tentu saja Brenda menangkap momen itu.
Ia bersyukur sudah diberi kemampuan bisa membaca perubahan ekspresi orang lain dengan cepat.
"Kenapa dengan Demian?" tanyanya.
"Dia orang yang seperti apa?"
Brenda tahu Yesi berusaha untuk tidak menunjukkan raut ketegangan di wajahnya, tapi wanita itu tidak berhasil dan demi Tuhan, Brenda makin dibuat penasaran dengan alasan dibalik sikap Yesi yang seperti itu tentang Demian.
"Mengapa kau menanyakan hal itu padaku?"
"Yesi, aku tidak mengenal siapapun disini kecuali kau. Dan, Demian mendekatiku. Aku hanya ingin tahu dia orang yang seperti apa. Kupikir karena kau sudah bekerja cukup lama disini, jadi pasti kau tahu."
Yesi membuang nafas kasar. "Demian yang kukenal orang yang baik, ramah dan bersahabat. Tapi, sikapnya itu sebelum--"
Tok! Tok! Tok!
Seperti biasa, setiap ada situasi penting pasti datang pengganggu. Brenda menghela nafas kasar, apalagi ini?
"Siapa!?" teriak Brenda tidak sabaran.
"Lily, keluarlah! Ini aku!"
Brenda mengumpat dalam hati setelah mengenali suara itu.
"Bukankah itu Tuan Matteo?" Yesi mengintrupsi. Ya, si pengganggu itu adalah Matteo Rimora. Astaga, ia tidak siap bertemu dengan pria itu.