Kedua mata itu nampak mengerjap setelah indra penciumnya mencium bau begitu menyengat. Bertepatan dengan itu raut ekspresi lega seseorang langsung menyambutnya.
"Yesi? Aku dimana?" Brenda bertanya kepada Yesi setelah ia siuman.
"Saat ini kau sedang berada di kamarmu, Lily." Yesi nampak menunjukkan ekspresi bersalah. "Semua ini salahku yang lupa memberi tahumu kalau ada kandang buaya di taman belakang."
Dahi Brenda sontak mengernyit. "Kandang buaya?" Seketika ingatannya pun ditarik kembali ke detik-detik sebelum ia pingsan, dimana setelah ia menyadari ada puluhan buaya muncul dan berbondong-bondong menuju ke arahnya. Lehernya tercekat mengingat momen menegangkan itu dan buru-buru mengecek kelengkapan anggota tubuhnya lalu memekik keras setelahnya.
"Aku masih hidup!" ucap Brenda tidak percaya. Sementara itu, Yesi makin merasa bersalah kepada Brenda.
"Maafkan aku, Lily."
Brenda menatap Yesi yang masih menunjukkan ekspresi yang sama di wajahnya. Ia pun tersenyum sembari menenangkan wanita itu.
"Jangan merasa bersalah, Yesi. Ini bukan kesalahanmu, aku saja yang tidak berhati-hati."
"Tapi, Lily--"
"Yesi, sudah kubilangkan kalau aku baik-baik saja?" Brenda memotong ucapan Yesi dan mengatakan kepadanya jika dia tidak perlu merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Karena ini murni dari kecerobohannya sendiri.
Yesi kemudian mengangguk dan memeluk Brenda. "Aku tadi sangat panik ketika Demian meneriakimu berkali-kali, waktu itu aku sedang berada di dapur dan seketika berlari keluar setelah menyadari kau salah masuk kolam, dan malah masuk ke dalam kandang itu. Aku sama sekali tidak memiliki harapan, kalau saja Tuan Matteo tidak ada disana untuk menyelamatkanmu." Yesi mengulangi kronologi kejadian yang menimpa Brenda.
Sementara itu, Brenda yang baru saja mendengarkan penjelasan dari Yesi, langsung melepaskan pelukan wanita itu setelah dia mengatakan jika ada Matteo disana.
"Tunggu, Tuan Matteo katamu? Maksudmu dia yang menyelamatkanku?"
Yesi mengangguk. "Iya, bahkan dia menembaki buaya-buaya itu agar mereka menjauh darimu dan tidak menerkammu."
Mata Brenda membulat sempurna. "Benarkah? Tapi, bagaimana bisa dia tahu aku sedang ada disana?"
"Sepertinya dia juga sedang berada di kandang itu saat kau datang untuk membersihkannya, karena saat aku berlari untuk menyusul Demian, Tuan Matteo sudah membopongmu keluar dari dalam kandang itu."
Brenda bangkit dari posisi duduknya sambil memandang Yesi tidak percaya. "Apa? Jadi saat aku masuk ke kolam itu, ternyata dia juga ada disana? Lalu mengapa dia tidak memberitahuku?!" ucapnya terlihat kesal.
Yesi menempelkan jari telunjuknya ke bibir Brenda agar wanita itu tidak berbicara keras-keras. "Lily, pelankan suaramu. Semua orang tahu insiden ini, jika mereka mendengarmu marah-marah pada Tuan Matteo yang notabenenya sudah menyelamatkanmu, mereka akan berpikir kau tidak tahu caranya berterima kasih."
"Aku tahu dia sudah menyelamatkan nyawaku, tapi tetap saja aku merasa kesal padanya. Benar-benar kesal," jawab Brenda dengan masih memasang ekspresi yang sama. Jika tahu Matteo ada disana, ia tidak perlu melalui detik-detik menegangkan karena kecerobohannya masuk ke dalam kandang buaya itu kan? Tentu saja ini masih belum bisa ia terima.
"Tenangkan dirimu, Lily. Aku tahu kau mungkin merasa kesal padanya, tapi jika kau mau tahu dia juga yang membawamu kemari bahkan meneriaki semua orang agar menghubungi dokter untuk segera menanganimu. Aku bahkan bisa melihat wajah tegangnya saat membopongmu seakan-akan dia sangat mengkhawatirkan keadaanmu."
Brenda tergelak merasa tidak percaya dengan penjelasan Yesi barusan. Seorang Matteo Rimora mengkhawatirkannya? Lelucon macam apa ini? Bagaimana mungkin penjahat sepertinya memiliki hati, sementara selama ini ratusan nyawa mati ditangannya dengan mudah. Brenda pikir Yesi tidak pandai membaca air muka seseorang.
"Tidak Yesi, tidak. Jangan berbicara omong kosong padaku. Haha!"
"Aku serius. Semua orang bahkan membanding-bandingkan sikap Tuan Matteo antara insiden yang menimpamu dengan Ritta waktu itu."
"Insiden yang menimpaku dengan Ritta? Jadi sebelumnya Ritta juga mengalami kejadian yang sama?" ucap Brenda menebak.
Yesi menggeleng. "Bahkan lebih buruk, Ritta ditusuk oleh orang tidak dikenal sehari setelah pernikahannya. Dan kau tahu? Ketika Ritta dilarikan ke rumah sakit karena keadaanya yang terluka parah, Tuan Matteo bersikap seakan tidak peduli dan berbeda tiga ratus enam puluh derajat akan sikapnya padamu tadi. Kau ingin mendengar bagian terbaiknya? Ritta bahkan mengetahui ini juga. Aku memang membenci wanita itu, tapi aku juga tidak bisa membayangkan perasaan Ritta ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau suaminya mengkhawatirkan wanita lain--ups!" Yesi menghentikan kalimatnya dan buru-buru meminta maaf pada Brenda.
"Lily, aku tidak bermaksud menyudutkanmu. Jangan salah paham ya?" lanjutnya.
Brenda memaksakan senyumnya kepada Yesi. "Tentu saja tidak, mungkin aku juga akan berpikir demikian jika aku berada di posisimu. Umm, Yesi, bisakah kau meninggalkanku sendirian? Aku mau beristirahat lagi."
"Kau marah padaku ya? Lily, maafkan aku."
"Tidak, untuk apa aku marah padamu? Aku merasa sedikit pusing. Jadi tolong jangan salah paham."
Yesi menghela nafas. "Baiklah, aku akan pergi. Beristirahatlah, jika kau butuh sesuatu panggil saja aku."
Brenda mengangguk. "Terima kasih, Yesi."
Setelah kepergian Yesi dari kamarnya, Brenda buru-buru menghilangkan pemikiran-pemikiran aneh di dalam kepalanya. Matteo tidak mungkin memperdulikannya. Brenda merasa ia baru bertemu dengannya kemarin, rasanya pertemuan pertama mereka juga terasa tidak menyenangkan. Matteo Rimora meneriakinya bahkan mengancam akan menabraknya waktu itu, Brenda masih mengingatnya dengan jelas.
Brenda menghela nafas, kemudian ia menyambungkan telepon ke airpodsnya dengan Simon yang ada di Washington. Karena sepanjang hari ini ia belum memberikan kabar pada pria itu.
"Brenda, kau kemana saja sih? Aku hampir saja akan pergi ke Sisilia karena nomormu tidak bisa dihubungi. Aku pikir kau tertangkap disana," ucap Simon marah-marah.
Brenda terkekeh karena sikap Simon yang begitu berlebihan mengkhawatirkan keadaannya, ia tidak merasa ada yang aneh pada jantungnya seperti di film-film disaat ada seseorang yang begitu perhatian padanya karena pada dasarnya ia menganggap Simon hanya sebagai teman dan partner kerja saja.
"Aku baik-baik saja, Simon. Jangan berlebihan, kau tahukan aku menyamar jadi apa sekarang? Aku tidak bisa sembarangan masuk ke dalam kamar hanya untuk mengabarimu sebelum jam kerjaku berakhir."
Simon terdengar menghela nafas. "Iya, aku mengerti. Tapi bukannya sekarang seharusnya jam kerjamu belum selesai? Bagaimana kau bisa menghubungiku?"
Brenda terdiam, ia tidak mungkin mengatakan insiden di kandang tadikan pada pria itu?
"Ini jam istirahatku," ucapnya berbohong.
Hening, Simon terlihat tidak bersuara disebrang sana setelah mendengar alasannya. Simon tidak menyadari kebohongannya kan?
"Simon?" panggilnya pelan.
"Baiklah, aku mengerti. Oh iya, tolong buka emailmu nanti, aku sudah mengirimkan informasi terbaru tentang Matteo."
"Oke, nanti aku akan membukanya," jawabnya.
Lagi-lagi hening. Brenda tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Simon saat ini, ia merasa pria itu jadi berbeda tidak seperti biasanya.
"Brenda?" Simon tiba-tiba memanggil namanya.
"Ya?"
"Jaga pola makanmu, aku tidak mau kau sakit karena telat makan," ucap Simon.
Brenda mengangguk. "Iya, aku tahu Simon. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku," ucapnya tulus pada Simon dan setelah itu percakapan mereka harus diakhiri ketika pintu kamar Brenda diketuk beberapa kali dari luar.
"Siapa? Yesi, apakah itu kau?" teriak Brenda.
Brenda melangkah menuju pintu untuk membukanya dari dalam dan kemudian ia tertegun setelah secara tiba-tiba orang itu memeluknya dengan sangat erat.
"Demian?" kaget Brenda.