Chereads / Mission (un)Completed / Chapter 2 - Chapter 2

Chapter 2 - Chapter 2

"Lily, ini kamarmu," ucap Yesi, salah satu pelayan yang diperkenalkan Demian padanya tadi. Wanita itu juga yang bertugas untuk mengantarkannya menuju ke kamar yang akan ditempatinya nanti.

Untuk seukuran pelayan, kamar yang akan ditinggalinya itu keadaannya cukup bagus. Ia pikir semua pelayan disini akan memiliki satu kamar yang sama dengan kasur bertingkat, tapi ternyata dugaannya salah, karena setiap pelayan memiliki kamarnya masing-masing. Matteo cukup baik juga memperlakukan orang-orang yang bekerja dengannya.

"Lily, kau baik-baik saja?" Interupsi Yesi membuyarkan lamunan singkat Brenda.

"Oh Yesi, maafkan aku. Tentu, aku baik-baik saja," jawabnya.

Yesi tersenyum dan hal itu membuat Brenda sadar jika pelayan bergigi gingsul itu terlihat sangat manis, apalagi ditambah lagi dengan kulitnya yang seputih pualam. Bukannya Brenda memiliki kelainan yang menyimpang, tapi siapapun yang melihat wanita ini akan mengatakan hal yang sama.

"Karena kau baru saja datang, kau boleh beristirahat lebih dulu dan bisa mulai bekerja besok," ucap Yesi memberitahu Brenda. "Kalau kau merasa lapar, kau bisa datang ke dapur dan meminta makanan kepada pelayan lainnya yang ada di dapur. Oh iya, ada beberapa peraturan yang harus kau patuhi disini dan semuanya ada di buku ini."

Entah sejak kapan, Brenda baru sadar jika Yesi sudah membawa sebuah buku tebal bewarna coklat usang itu di tangannya. Brenda hampir saja menjatuhkan buku itu kalau saja Yesi tidak membantunya, ketika wanita itu menyerahkan bukunya kepadanya.

"Eittss, kau harus berhati-hati Lily. Jika Ritta tahu ada seorang pelayan menjatuhkan sesuatu ke lantai, dia akan marah besar."

"Astaga, tapi ini berat sekali," ucap Brenda setengah hati membawanya.

Yesi terkekeh, "Memang, tapi kau akan terbiasa membawanya nanti."

"Yang benar saja." Brenda mengeluhkan pemberitahuan Yesi, namun kemudian dahinya mengernyit setelah menyadari Yesi baru saja menyebut satu nama asing barusan.

"Ritta? Siapa dia?"

"Dia kepala pelayan di rumah ini dan bisa dibilang--" Yesi menghentikan kalimatnya, lalu bergerak untuk menutup pintu kamar itu. "Dia adalah istri dari Tuan Matteo," lanjutnya.

Dahi Brenda seketika mengernyit. "Istri? Matteo Rimo-- maksudku, Tuan Matteo sudah mempunyai istri?"

"Ssst! Pelankan suaramu, kamar ini tidak difasilitasi alat pengedap suara. Jadi jika kau mau bergosip, mengumpat ataupun kencan, kau harus melakukannya dengan pelan-pelan dan lirih."

Mata Brenda seketika melotot, ia tahu kencan bukanlah hal tabu di negara barat apalagi ia sudah tinggal bertahun-tahun di Amerika dan ia bukan anak ABG lagi. Dan arti kencan disini bukanlah sepasang kekasih yang sedang berpacaran, namun lebih yang ke intim.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi apakah para pelayan disini belum ada yang menikah semua? Maksudku apakah mereka sering kencan di kamar mereka sendiri?" tanya Brenda keluar dari topik yang dibicarakan Yesi.

Yesi tergelak karena pertanyaan yang Brenda ajukan. "Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi tunggu, mengapa kau terlihat terkejut? Apakah kau belum pernah.. maaf, berkencan?"

Boro-boro berkencan, ia saja belum pernah berpacaran. Lagipula Brenda juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Jika ada yang bertanya 'Apakah ia masih perawan?' Jawabannya adalah benar. Dirinya memang masih perawan. Wanita dewasa ini tidak tahu apa-apa tentang hal seperti itu, karena ia memiliki keyakinan yang kuat untuk menjaga kehormatannya sampai suatu hari nanti ada seorang pria yang akan mempersuntingnya. Walaupun itu terlihat sangat kuno sekali, tapi setidaknya ia masih punya harga diri. Bukannya ia merendahkan wanita-wanita barat atau belahan bumi manapun yang rela memberikan keperawanannya secara cuma-cuma pada seorang pria sebelum resmi menikah dengan atas nama cinta, karena itu pilihan yang mereka pilih dan buat, setiap orang punya pilihannya masing-masing seperti dirinya ataupun juga wanita lain pada umumnya. Brenda tidak mau mencerca atau menghakimi pilihan orang lain, karena setiap orang punya alasan atas pilihan mereka sendiri.

"Lily? Astaga, sepertinya kau suka sekali melamun. Hentikan kebiasaanmu itu atau kau akan dihukum oleh Ritta jika dia menangkapmu basah dalam keadaan seperti ini."

"Maafkan aku Yesi. Lupakan tentang hal tadi dan jelaskan maksudmu jika Ritta istri Tuan--"

"Yesi! Dimana kau? Pekerjaanmu belum selesai!" teriak pelayan lain memberitahu dan memotong pertanyaan wanita itu.

"Iya, aku akan segera kembali. Brenda, sepertinya aku harus pergi sekarang. Nanti aku akan kembali kemari dan menjelaskan semuanya, oke?"

Brenda mengangguk, meski ia masih ingin mengobrol banyak dengan wanita itu. "Baiklah, sampai berjumpa lagi."

Pertemuan singkat mereka harus diakhiri ketika Yesi buru-buru keluar dari kamarnya dan menutup pintunya dari luar. Brenda menatap pintu bewarna putih yang baru saja ditutup Yesi dengan tatapan kosong. Ia sadar ada misteri yang belum dirinya ketahui tentang tempat ini ataupun tentang Ritta dan Matteo. Apa maksud Yesi yang mengatakan kalau Ritta adalah kepala pelayan dan merangkap sebagai istri dari Matteo Rimora? Yang jelas ia harus segera mencari tahu walaupun Yesi sudah menjanjikan akan menceritakan hal ini padanya nanti, tapi ia tidak bisa menunggu lagi. Ia datang kesini dengan membawa misi yang lumayan berat. Dimana ia harus mencari bukti keterlibatan Matteo dalam pembunuhan jaksa Paulo?

"Halo, Simon. Apakah kau disana?" ucap Brenda memulai percakapan lewat telepon yang tersambung di airpodsnya.

Tak berapa lama terdengar uapan panjang dan suara serak khas bangun tidur dari sebrang sana. "Iya, aku disini Brenda."

"Hei, bagaimana mungkin kau bisa tidur ketika aku belum memulai misiku?" tukas Brenda tidak percaya.

Simon terkekeh, hal itu membuat Brenda mendengus kesal mendengarnya. Apa pria itu pikir ia sedang melucu? Ini sama sekali tidak lucu.

"Jangan marah-marah, Brenda. Kau tahu? Aku disini tidak melakukan apapun selain duduk di depan komputerku karena terlalu lama menunggu perintah anggota lain untuk melacak sesuatu. Dan dari tadi tidak ada siapapun yang membutuhkan jasaku. Aku bosan sekali hingga aku tertidur. Jadi bagaimana dengan misimu?"

"Baiklah, aku bisa menerima alasanmu sekarang. Dan kau beruntung, karena kau tidak akan menganggur lagi. Simon, sebelumnya kau sendiri kan yang mencari tahu biodata diri Matteo Rimora?"

"Iya, kau benar. Ada apa?"

"Oke, tapi sepertinya di biodata diri yang kau berikan padaku itu tidak ada data yang tertulis jika Matteo sudah menikah."

Hening, entah apa yang sedang dipikirkan Simon yang jelas pria itu sama sekali tidak bersuara.

"Simon, kau masih disana kan?"

"Memang tidak ada data yang tertulis jika Matteo Rimora sudah menikah, apakah di Sisilia dia punya istri?"

"Aku tidak tahu, tapi kata pelayan yang kukenal tadi dia mengatakan jika Matteo sudah punya istri bernama Ritta dan wanita itu kepala pelayan disini."

"Jadi maksudmu seorang bos mafia seperti Matteo Rimora menikahi kepala pelayannya sendiri, begitu?"

"Entahlah, Simon. Aku hanya mendapatkan informasi yang sangat sedikit karena pelayan itu buru-buru pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia tadi sudah berjanji akan kembali dan menjelaskannya padaku nanti, tapi kau mengerti maksudku kan, Simon? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kau harus bisa mendapatkan informasi mengenai siapa Ritta dan hubungannya dengan Matteo."

"Baiklah, jadi namanya Ritta ya? Oke, aku akan mencari tahu dan mengabarimu segera."

Brenda menghela napas lega. "Terima kasih, Simon. Aku bisa mengandalkanmu."

"Jangan berterima kasih dulu, aku bahkan belum memberikan informasi yang lengkap padamu."

"Aku mempercayaimu dan sebaiknya kau segera mengabariku. Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Simon."

"Iya, iya. Dasar cerewet!"

Sambungan telepon berakhir, Brenda melepas airpods di telinganya dan menarik kopernya menuju lemari untuk memasukkan pakaiannya ke dalam sana. Semoga saja misinya berjalan lancar tanpa dicurigai. Namun, tanpa ia sadari ada seseorang yang sejak tadi menempelkan daun telinganya dibalik pintu kamarnya dari luar.