"Beraninya kau menentang diriku!" Iblis Phoenix mengalirkan energi sihir lebih banyak ke dalam tubuh Aarav.
Namun, karena efek dari kertas lrnyegel yang ditanam Eiireen, membuat Phoenix tidak dapat mengalirkan energi lebih banyak pada Aarav. Dia hanya bisa melihat perlahan kekuatan yang dialirkan pada Aarav semakin melemah.
Beberapa saat kemudian, Aarav sepenuhnya sadar dari godaan yang diberikan Phoenix. Meskipun begitu, kekuatan yang diberikan oleh iblis tersebut masih tersisa di dalam tubuh Aarav.
Tubuh Aarav terjatuh dengan kedua lutut menempel pada tanah. Keringat dingin yang keluar dari wajah, menetes pada tanah kering yang ada di bawah. Jantung Aarav mulai berdetak begitu kencang, sedangkan paru-parunya memompa oksigen ke segala tubuh dengan cepat.
Bagaikan mabuk dan kehilangan akal, kepalanya terasa begitu pusing berkunang-kunang. Bola matanya menatap wajah Eiireen begitu sayu, seolah akan kehilangan kesadaran.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Eiireen sembari menjulurkan tangan. "Ternyata hal ini masih terlalu cepat untuk kau lakukan," lanjutnya menarik tangan Aarav yang sudah tergenggam erat.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Aarav masih menekan kepala menggunakan satu jari. Rasa sakit yang dia alami, sudah seperti ditusuk ribuan jarum pada tempat yang sama.
Eiireen menghela napas panjang, tampak rona kesedihan pada wajahnya. "Apa kau tidak mengingat apapun? Bahkan ingatan kecil akan sangat berguna untuk latihanmu ke depannya."
Menanggapi apa yang ditanyakan Eiireen, Aarav berusaha keras untuk mengingat seluruh kejadian yang telah dia alami. Bola matanya yang sudah sayu terpejam, otaknya mulai menampilkan hologram buram pada seluruh ingatan.
Namun, apa yang dilihat Aarav hanyalah sebuah gambar pecah tanpa warna. "Meskipun aku mencoba mengingatnya dengan keras, apa yang kulihat hanyalah sebuah layar hitam tanpa gambar yang jelas," jelasnya seteleh menghela napas kecewa.
Eiireen hanya dapat menunjukkan kepala, tanda bahwa dia sangat kecewa atas apa yang sudah terjadi. Meskipun sudah melakukan segala hal yang dia ketahui, tetap saja latihan tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali.
Kepalanya mulai dipenuhi perasaan bimbang dan ketakutan. Mengingat kekuatan Aarav yang sangat besar akan tidak dapat dikendalikan, apalagi dia sudah berjanji akan melakukan segala hal untuk membimbing anak di dalam ramalan.
"Sepertinya aku harus menemukan cara lain lagi." Eiireen menghela napas panjang, kemudian memutar tubuhnya untuk pergi dari tempat tersebut. "Kukira kau mengetahui sesuatu. Misalnya sebuah suara yang mencoba menghasutmu atau mencoba mengendalikan tubuhmu."
Aarav yang sebelumnya menundukkan kepala, langsung mendongakkan kepala menatap punggung Eiireen yang semakin jauh darinya.
"Aku mendengar suara." Tiba-tiba saja Aarav berbicara. "Suara itu masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku saat ini." Aarav menekan kepalanya dengan kencang, bola matanya terbelalak sebesar biji salak.
Eiireen yang berada beberapa langkah di depan, segera berhenti melangkah. "Apa yang kau bilang?" tanyanya masih belum menatap Aarav. "Apa yang baru saja kau katakan." Eiireen memutar tubuhnya hingga bola mata mereka saling bertatapan.
"A–aku ... ." Aarav semakin kencang menekan kepala, otaknya berusaha mengingat seluruh suara yang sebelumnya dia dengar. "Aku mendengar suara yang mengerikan." Semakin mencoba mengingat suara tersebut, kepala Aarav terasa begitu sakit.
Eiireen yang begitu penasaran atas apa yang sedang dibicarakan Aarav, segera mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya menyentuh bahu Aarav, menekannya begitu kencang. Bola matanya menatap begitu tajam, sedangkan kedua lubang hidungnya berkedut beberapa kali.
"Apa yang kau ketahui tentang suara itu?" tanya Eiireen sedikit mendesak. "Jika kita tahu apa yang dia inginkan, aku bisa menyusun strategi untuk mengendalikan kekuatan iblis tersebut," batinnya merasa begitu bahagia.
Sebelum mendapatkan jawaban dari Aarav, Erina berlari menuju mereka berdua. Ketika melihat Aarav merasa kesakitan atas apa yang diminta Eiireen, Erina tidak tahan lagi melihat hal tersebut. Sudah cukup rasa sakit yang harus ditanggung Aarav untuk saat ini.
Erina menjulurkan tangan, menepuk bahu Eiireen begitu kencang. "Bisakah Ayah menghentikan semua ini!" bentaknya sudah tidak tahan lagi dengan perbuatan sang Ayah. "Kenapa selama ini Ayah selalu memaksa Aarav untuk melakukan sesuatu yang besar? Padahal dia masih seorang anak-anak, tetapi kenapa dia harus menguasai sesuatu yang belum seharusnya dia dapatkan."
Eiireen tidak menghiraukan apa yang diucapkan Erina. Jika saja dia mengatakan semua itu diperlukan untuk keselamatan dunia, sudah pasti Erina akan menyetujui hal tersebut. Akan tetapi, Eiireen tidak dapat melakukan hal itu begitu saja.
Mendapatkan persetujuan karena sebuah rasa kasihan, tidak akan mengubah sesuatu menjadi lebih besar. Meskipun apa yang didapatkan adalah rasa benci atau tidak terima, Eiireen tidak peduli itu semua. Apa yang terpenting Aarav tidak menjadi seseorang yang akan menyebabkan kehancuran dunia, apalagi karena dirinya.
Eiireen menyingkirkan tangan Erina yang ada pada bahu. Bola mata yang sebelumnya menatap Erina, segera dialihkan pada Aarav sekali lagi. "Kau tidak perlu peduli atas apa yang kulakukan. Anak sepertimu tidak perlu mengetahui semua itu."
Meskipun merasa sangat sulit mengatakan hal tersebut, tetap saja Eiireen harus sanggup melakukannya. Jika dia tidak memberikan sesuatu yang besar kepada kedua anaknya, selamanya mereka tidak akan pernah berani untuk melangkah lebih jauh.
"Kenapa! Kenapa kau selalu memperlakukanku seperti ini!" Erina kembali menjulurkan tangan. Kali ini menarik pergelangan tangan Eiireen yang sejak tadi mencengkram bahu Aarav. "Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal yang buruk pada Aarav untuk selamanya!"
Merasa jengkel atas apa yang dilakukan Erina, Eiireen menarik tangan begitu kuat. Tubuh kecil milik Erina terhempas mengikuti pergerakan tangannya, kemudian tersungkur di samping Eiireen.
Rambut hitam yang tidak diikat tersampir ke depan, menempel di atas tanah kering. Butiran bening mengumpul di dalam bola mata, seakan bersiap untuk mendorong bendungan yang menghalang jalan.
"Apa yang kau ingat? Jangan berhenti dulu sebelum mengatakan semua itu," bujuk Eiireen terlihat begitu berlebihan. Kedua tangannya semakin kencang menekan bahu Aarav semakin dalam, hingga membuat lutut yang berada di atas tanah tenggelam beberapa senti.
Aarav yang merasa kesakitan atas apa yang dia alami, hanya dapat berteriak dengan air liur bercucuran. Detik berikutnya Aarav mulai mengatakan sesuatu, walaupun dengan rona wajah kesakitan.
"Dia ... dia berkata akan mengambil alih tubuhku," kata Aarav dengan bola mata mengeluarkan butiran bening. "Pada saat aku menolak, dia berusaha untuk mengakhiri hidupku," lanjutnya semakin deras mengeluarkan air mata.
Erina yang tersungkur di samping Eiireen, berusaha untuk bangkit dengan kekuatan yang dia miliki. Mengalirkan kekuatan pada kedua tangan, Erina mendorong tubuhnya ke udara. Rambut panjang yang tergerai memenuhi wajah, kemudian disampirkan menggunakan tangan yang berlumuran debu.
Akibat debu yang menempel pada telapak tangan, membuat wajah Erina berdebu ketika dia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalang wajah. Debu tersebut semakin menambah kesan mengerikan, berpadukan dengan tatapan mata tajam yang saat ini dikeluarkan.