Rena buru-buru menyeka air mata dan memalingkan tubuhnya ke arah lain.
"Jangan bersedih kawan. Kamu tidak boleh memikirkan perkataan orang yang hanya membuatmu terluka. Jangan didengar yang tadi," ucap Adit yang kini ikut terduduk di samping Rena.
Tak lupa ia memberikan selembar tissu kepada Rena yang sedang terisak-isak. Namun Rena tetap tak menggubrisnya. Ia memilih mendelik.
"Maaf yaa, Rena. Gara-gara aku, kamu jadii diperlakukan seperti ini sama mereka," lirih Adit.
Rena tak mau mendengar. Ia menutup kuping telinganya. Sebagai bukti bahwa Rena kesal pada Adit.
"Apa harus aku lapor dengan kepala sekolah jika ada siswa disini yang berani membully? Kamu tau, perlakuan Ira tadi memang sangat kurang ajar, Rena," desak Adit agar dirinya tak diacuhkan.
Rena menghela nafas panjang. Ia tak ingin persoalan ini berlarut-larut akhirnya memilih membuka suara.
"Aku penasaran kenapa dirimu tidak begitu totalitas saat lomba tadi?" hardik Rena padanya.
"Aku sama dengan yang lain, kecewa padamu, Adit," ujarnya kembali dengan nada yang begitu lirih.
"Adikku kecelakaan pagi tadi,"
Suara Adit terdengar begitu berat. Seakan tidak sanggup untuk mengatakannya. Rena begitu kaget mendengar yang dikatakan Adit.
"Hah? Serius? Terus bagaimana kondisi adikmu sekarang? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi, Adit?" cecar Rena dengan begitu panik.
"Apa anak perempuan memang tabiatnya gak bisa tenang, ya?" tanya Adit sembari tertawa kecil mengejek Rena yang terlihat panik.
"Lah memangnya kamu gak panik apa adikmu kenapa-kenapa?" tanya Rena serius.
Tak ada raut kebercandaan. Baginya perkataan Adit tadi membuatnya sangat terkaget. Ia terus menatap Adit dengan serius agar bisa peka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontakan padanya.
"Aku ada utangkah, Ren?" tanya Adit terus meledek dan malah senyam-senyum disana.
Malah Rena jadinya ikut senyam-senyum melupakan desakan pertanyaannya sesaat pada Adit.
Dasar Adit, bisa saja membuat orang luluh dengan sikapnya yang sok manis.
Eh tidak!
Adit memang manis. Senyumnya Adit pun terlihat menawan. Mungkin setiap perempuan di sekolah akan mengidolakan dirinya. Adit laki-laki sempurna secara fisik. Wajahnya yang lonjong dengan hidung yang mancung, alis yang tebal.
Buktinya Adit saja menjadi siswa baru di sekolah, sudah banyak perempuan lain yang berusaha mendekatinya namun ia terlihat begitu dingin. Beruntung Rena satu tim dengannya sehingga bisa seakrab itu dengan Adit.
"Adit, jawablah pertanyaanku tadi!" ucap Rena kembali tersadar.
Adit menghela nafas panjang. Lalu ia berbicara dengan gayanya yang tenang.
"Oke-oke. Aku jawab Tadi waktu aku mau berangkat, tiba-tiba adikku dari belakang mengikutiku. Aku lupa bawa cadangan senar gitar. Diluar dugaanku, dia nekat sekali menyebrang, mengekoriku dari belakang.
Begitu aku tau adikku memanggiku di tengah jalan, saat itu juga ada motor kencang yang menyerempetnya," tutur Adit matanya menerawang jauh disana.
Mata Rena terbelalak mendengar Adit.
"Terus bagaimana keadaan adikmu sekarang? Kenapa kamu baru bilang sekarang, Adit?" cecar Rena.
"Kamu tenang saja, Ren. Adikku sudah jauh lebih baik sekarang. Untung saja hanya tangannya sedikit yang terluka." jelas Adit.
"Kasihan sekali. Semoga adikmu cepat sembuh. Seandainya aku tau masalahmu, mungkin aku juga tidak akan marah," kata Rena penuh rasa bersalah.
"Gak apa-apa, Ren. Santai saja. Justru aku yang mau minta maaf padamu. Karena kesalahanku tadi kamu jadi dimaki sama Ira. Ira itu kurang ajar sekali! Dari awal aku sudah jengkel sama sikapnya. Terlalu kekanak-kanakan,"
"Tidak apa kok. Aku sudah melupakannya mulai detik ini," jawab Rena tersenyum manis.
"Itu artinya kamu juga telah memaafkanku?" tanya Adit mata berbinar-binar.
Rena tersimpul tipis dan memainkan alisnya. Pertanda ia sudah melupakan segalanya. Adit akhirnya bisa bernafas lega.
"Jadi? itu alasan tidak fokusmu 'kan?" tanya Rena memperjelas yang ada dalam pikirannya.
"Sebenarnya apapun alasanku, tetap itu salah. Tapi susah, Ren. Aku tetap kepikiran. Untung saja ada tetanggaku yang membantu tadi,"
Luar biasa. Ternyata Adit justru berusaha menyembunyikan masalahnya dan mementingkan kepentingan bersama tadi.
"Maaf ya, Adit. Aku sama yang lainnya tidak tau kalau kamu ada musibah tadi pagi. Kamu juga sih kenapa gak bilang-bilang," lirih Rena.
"Masalah pribadi gak perlu diumbar. Takutnya bikin kalian hilang konsentrasi juga. Tapi yaa, walaupun aku sendiri tidak mampu melwan diriku. Aku takut sekali adikku terjadi apa-apa. Tapi di lain sisi aku juga mesti datang ke sekolah karena lomba ini," ucap Adit menaikkan alisnya.
Rena terenyuh mendengar cerita Adit. Terlalu cepat ternyata dirinya dan juga yang lainnya mengambil kesimpulan menanggap Adit tidak becus menjadi ketua tim. Padahal dibalik itu ternyata ada beban berat yang dipikirkannya.
Melihat Rena yang sudah tenang, Adit pun yang kini mulai gelisah disana.
"Rena, boleh aku bertanya? Tapi sebelumnya jangan tersinggung ya, Ren?" tanya Adit dengan suara berhati-hati.
Rena hanya mengangguk saja. Lalu ia melihat Adit dengan intens. Cukup lama ia menunggu pertanyaan Adit tapi laki-laki itu masih terdiam.
"Hei, apa?" desak Rena.
"Emm... gimana ya?" Adit terlihat kikuk. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tak gatal.
"Apa, Adit?" tanya Rena terus dibuat penasaran.
"Setelah kupikir-pikir, aku gak jadi bertanya, Rena," kikuk Adit berbohong. Padahal ia sebenarnya ragu-ragu disana.
Namun sayangnya Rena sudah menangkap maksud yang akan Adit utarakan padanya.
"Kayaknya kamu mau bertanya tentang ini 'kan?" tanya Rena sambil menunjuk lengan kanannya sendiri.
Adit tersenyum getir. Ia terlihat begitu gugup. Beberapa kali kulihat dia mencoba berpikir keras untuk mengatakan hal ini.
"Apa tanganmu sakit terkena hantaman gitar tadi? Maaf, aku tidak sengaja melempar gitar itu dan mengenai tanganmu disampingku," ucap Adit melemah.
Rena menepuk bahu Adit berkali-kali. Laki-laki ini seakan merasa gegabah karena melontarkan pertanyaan tadi. Padahal Rena merasa biasa saja. Bahkan pertanyaannya wajar-wajar saja karena ia juga belum tau kejadian awal yang menimpa Rena.
"Santai aja kali. Tadi katanya disuruh santai 'kan? Nah loh yang nyuruh malah ga bisa santai sekarang. Tanganku aman. Masih bisa digerakkan. Kecuali kalau tiba-tiba kena stroke karena kesalahanmu, ya lain lagi ceritanya, Adit," ujar Rena terkekeh-kekeh kecil.
"Tetap saja saya gak enak hati, Rena. Soalnya sih Ira keterlaluannya minta ampun. Tuh anak kayaknya gak perlu di dekati. Bahaya,"
"Jangan, Adit. Ira itu anaknya asyik kok. Aku juga gak tersinggung apapun," ucap Rena sopan.
Di hari pertama, ia tidak mau membenci dan dibenci oleh siapapun.
"Baiklah, malaikat peri," ujar Adit meledek.
"Ye... peri dari gua kali!"
Receh sekali. Hanya hal begini saja mereka berdua pun tertawa lepas.
"Em… kira-kira kamu sebentar sore ke sekolah gak? Mau ikut kegiatan ekskul?" tawar Adit mengalihkan pembicaraan.
TO BE CONTINUED