"Sorry deh, Rena. Gue gak sengaja. Telinga lu aman gak?"
"Gak tau!" emosi Rena.
Tiba-tiba kedua orang itu menangkap kehadiran Adit dan Revan yang berjalan ke arah mereka berdua.
"Hei, kalian. Lagi menunggu siapa?"
"Kak Tari. Rena yang menunggu. Gue cuma temani dia," jawab Sury.
"Oh, sama kayak Adit," kata Revan.
Rena langsung menatap Adit yang kebetulan Adit juga melihatnya. Belum sempat Rena bertanya, Adit sudah paham apa yang ingin ditanyakan Rena.
"Gue nunggu kak Tari juga," kata Adit.
"Kak Tari juga, Rena," jawab Adit.
"Fix lu seorganisasi sama Rena, bang." ucap Revan pada Adit.
"Oke, karena Adit sudah ada disini dan kalian menunggu orang yang sama, gue pulang duluan deh, pamit Sury menarik tas ranselnya yang tergeletak di lantai.
"Memangnya gue minta ditemanin?" tanya Rena meledeknya.
Sury langsung mencubit gemas lengan sahabatnya.
"Gue juga mau pulang," timpal Adit.
Kini tinggal Rena dan Adit disana. Posisi mereka sekitar lima lima langkah saja. Hanya suara keramaian di seberang sana yang terdengar. Sementara antara Rena dan Adit malah terjadi keheningan. Rena sebenarnya ingin mencairkan suasana. Tapi melihat Adit yang serius dengan ponselnya ditambah wajahnya yang serius membuat Rena mengurungkan niatnya.
"Halo, Kak?" salam Adit yang sedang menerima telfon disebrang sana.
(.....)
"Begitu, Kak? Ya sudah, terimakasih, Kak," ujarnya kembali disebrang sana.
Rena melihatnya dengan tatapan penasaran. Tatapan Adit pun mengarah ke dirinya.
"Kak Tari telfon barusan. Katanya hari ini gak jadi pembekalan angota baru, Rena,"
"Terus kapan dong?"
"Besok katanya," jawab Adit.
Rena pun mengangguk pelan. Lalu setelah percakapan tadi, kembali terjadi keheningan. Gara-gara terlalu hening, suara keroncongan dari Rena tba-tiba terdengar dan pastinya membuat si pemilik perut keroncongan menjadi malu seketika.
'Astaga! Dasar perut ga tau kondisi!' gerutu Rena dalam hatinya.
"Lu sudah makan?" tanya Adit yang ekspresinya sebelas duableas dengan Sury saat bertanya seperti itu pada Rena.
Jujur, Rena seketika malu tapi hanya bisa menahan rasa malunya disana.
"Belum, Adit. Nanti sekalian pulang baru makan,"
"Di depan pangkalan ojek sana ada warung Tegal. Kita kesana mau gak? Gue juga lapar soalnya," tutur Adit.
Rena menelan salivanya mendengar ajakan Adit. Bukannya bagaimana, disana banyak senior-senior anak organisasi. Rena tidak ingin menjadi bahan gosip bisa makan berduaan dengan Adit. Adit semakin terkenal saja sebagai junior yang banyak diidolakan. Tak peduli dari kalangan seangkatan ataupun para kakak-kakak kelas.
"Gak usah deh, Adit. Aku makan di rumah nanti," tolak Rena halus.
Melihat Rena yang menolak ajakannya, Adit pun menyodorkan tas ranselnya dan kemudian memberikan hapenya pada Rena.
"Okelah. Kalau begitu lu tunggu disini dulu. Jangan kemana-mana soalnya gue mau pergi makan,"
Rena mengerutkan dahinya mendengar permintaan tolong dari Adit.
'Kenapa Adit gak bawa saja hapenya?' tanya Rena membatin.
Tapi tak ingin terlihat enggan membantu, Rena langsung mengiyakan permintaan tolongnya Adit. Saat Adit pergi, maka disaat itulah Rena menggerutu dari belakang.
"Lapar banget, sumpah!"
Sekitar lima menitan kemudian, ponsel Adit berdering. Rena mendadak gusar dibuatnya. Ia pikir nomor baru yang menelfonn disana sepertinya begitu penting karena terus menelfon disana. Mau tidak mau terpaksa Rena memberanikan diri mengangkatnya.
"Ini gue Adit. Lu sekarang kesini, Rena. Penting!" ujar Adit lalu mematikan sambungan telfon.
Rena dibuat panik gara-gara hal penting yang dimaksud oleh Adit. Sesampainya di depan warung, Adt telah menunggu Rena di depan sana.
"Ada apa?" tanya Rena panik.
"Mau kasih tau saja, lu makan juga, ya? Sumpah gue gak enak makan sendiri," ucap Adit cengengesan.
Rena mendelik menatap Adit.
"Jadi lu nelfon hanya karena panggil gue makan? Ih Adiit!"
"Lu gak boleh menolak karena sudah di warung. Pamali nolak rejeki!"
Rasanya Rena jika beradu pendapat akan kalah. Ia pun akhirnya menerima ajakan Adit. Sebenarnya ia risih disana sebab orang-orang mulai memperhatikannya. Bahkan sejak tadi, Adit terus disapa oleh yang lain. Sementara Rena, jangankan disapa, dikenal wajahnya saja mungkin baru pertama kali.
Tapi karena rasa kelaparan sudah mendera keduanya, mereka pun lebih memilih mengisi perut. Rena pun cuek saja sampai menreka menghabisi makanannya.
Mereka pun berjalan menuju ke parkiran, berniat untuk pulang. Rena berada di belakang Adit. Disana tiba-tiba ada beberapa kakak kelas yang menyuruhnya berhenti.
"Hei, kamu pacarnya Adit?"
Rena menghuyungkan badannya mendengar pertanyaan kakak kelasnya itu. Yang beanr saja, dalam pikiran Rena kosakata berpacaran sama sekali tidak ada!
"Haa? Bukan, Kak. Saya teman kelas Adit,"
"Baguslah. Kirain kamu pacarnya junior tampan itu,"
"Lagian masa ia tipe Adit kayak gini? Kita yang cantik begini susah sekali ambil hatinya," timpal temannya.
Nafas Rena memburu. Memang Rena hanyalah butiran remahan jika dibandingkan mereka berdua yang terlihat siswa cantik dan gaul. Tap apa peril sampai menghina di depan Rena seperti ini?
Ingin rasanya Rena seketika menjambak rambut kedua perempuan.
"Tahan emosimu, Rena. Tahannn' batin Rena menahan diri lalu langsung meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri dengan seringai wajah meledeknya mereka berdua.
Ditempat parkiran Adit sudah menunggu Rena.
"Makasih ya, Adit teraktirannya. Kalau begitu gue mau pulang duluan," pamit Rena.
"Naik apa, Rena?" cegat Adit.
"Gak usah, Adit. Gue jalan kaki saja," ucap Rena dengan kilat.
Adit terdiam sesaat lalu terkekeh kecil.
"Gak usah apa?" tanya Adit penuh misteri.
Deg!
Rena baru tersadar. Bagaimana bisa Rena tiba-tiba seakan menolak ssebuah tawaran? Sementara Adit sendiri belum menawarii dirinya apapun.
"A-anu… i-itu, saya bisa pulang sendiri. Siapa tau mau mengantar," ucap Rena dengan pasrah.
Adit pun menerbitkan senyuman tipis. Ia lalu mengarahkan motor scoppy berwarna abu hitam miliknya.
"Yuk gue antar pulang ke rumah," tawar Adit diatas motornya.
"Eh gak usah beneren deh! Gue mau pergi ketempat lain,"
"Gak langsung pulang rumah?" tanya Adit sembari memasang helmnya.
"Nggak. Gue mau mampir kesana dulu".
"Kesana mana? Sini sekalian gue antar. Gak usah sungkan. Kita ini temen, seorganisasi lagi." jawab Adit dengan tenang. Tanpa basa basi, ia langsung memberi helm satunya pada Rena.
"Ngojek, ya? Sampai punya dua helem," seru Rena meledeknya.
Adit hanya tersenyum mendengar ucapanku barusan. Terpaksa Rena pun diantar oleh Adit. Sepanjang perjalanan, Rena belum memberitau akan diantar kemana.
"Gue antar lu kemana?" tanya Revan saat berhenti di lampu merah.
Krik...Krik...Krik...
"Ren?"
Rena masih terdiam disana.
"Rena?" sahut kembali Adit meminta atensinya.
"Eh apa?"
"Mau diantar kemana?"
"Kemana aja deh" jawabku dengan santai.
"Maksudnya, Ren?"
'Aduh gimana ini? Mau jawab jujur Adi tau apa yang kukerja selama ini. Mau diantar pulang ke rumah, gak mungkinlah. Mulut tetangga seribu bibir lebih dashyat. Ayo otak, ayo otak! Berpikir!'
"Gue lagi gak bonceng kunti 'kan?" tanya Adit yang sontak Rena langsung menyuruhnya berhenti.
"Stop dulu, Adit! Maksud lu?"
Adit memarkir motornya di trotoar. Ia pun membuka helmnya seraya memposisikan spion motor ke arah wajah Rena.
"Ternyata manusia. Kirain bonceng kunti. Soalnya ditanya malah gak nyahut-nyahut," ucap Adit dengan santai seraya memperhatikan Rena dari kaca spionnya.
"Jahat bener lu, Adit! Gue gak dengar soalnya pakai helm bikin budeg!" ujar Rena tak ingin disalahkan.
"Ya sudah. Pakai helem gue saja, kita tukaran. Soalnya Gue pake helm ini segala jenis suara terdengar,"
TO BE CONTINUED