Chereads / Rena Dreams / Chapter 9 - Keinginan Meminta Maaf

Chapter 9 - Keinginan Meminta Maaf

"Aku gak nyangka banget ternyata bisa sekelas sama anak pembantu," Ica terus mengejek Rena disana.

Rena mulai terlihat kesal. Bahunya naik turun mendengar segala ejekan yang dilontarkan pada dirinya

"Cukup Ica! Memangnya kenapa kalau saya anak pembantu?" bentak Rena menahan tangisannya.

"Ih, kok marah?" tanya Ica menggembungkan pipinya dan menaruh kedua tangannya di pipi seperti memancing emosi.

"Aku kan ngomong sesuai fakta. Jangan marah dong,"

Rena sadar diri. Ia lebih baik tak menggubris ejekan Ica. Ia lalu pergi dari sana.

"Eh, tunggu dulu!" cegat Ica menahan bahu Rena dari belakang.

Tapi Rena langsung menghempaskan tangannya dan menatapnya kembali dengan sinis.

"Kalau kamu masih mau melanjutkan ejekanmu, terserah! Saya gak peduli!"

"Wah ngambek ya?" cibir Ica kembali berlagak sok manis.

'Sombong sekali dia. Dasar dunia sempit. Bisa-bisanya ketemu sama orang yang itu-itu saja. Dasar orang sombong!' batin Rena berdecih disana.

Rena pun berjalan sampai ke ruang tamu. Ia menjulurkan kakinya di atas karpet bludru untuk menenangkan dirinya sesaat. Disana, ia melihat Bu Gea sedang menghitung jumlah piring yang baru saja dibelinya.

"Sini saya bantu, Bu," tawar Rena padanya.

Namun Bu Gea masih berusaha fokus menghitung piring.

"150! Oke pas.!" Bu Gea menepuk-nepuk tangannya lalu melihat ke Rena yang telah berdiri tepat di sampingnya.

"Sudah beres, Tadi aku cari kamu. Kamunya dari mana?" tanya Bu Gea.

"Dari taman belakang,"

"Sudah ketemu Lorenz? Ponakanku mana? Ada juga disana?" cicit Bu Gea.

"Oh Ica 'kan keponakannya bu Gea?"

"Kamu kenal?"

"Dia ketua kelasku, Bu." Jawab Rena sedikit bernada ketus.

Gea sepertinya paham respon reaksi lawan bicaranya itu.

"Ica itu anaknya tipe koleris loh Ren. Uh! Pokoknya segala permintaannya itu harus terpenuhi. Kamu tau gak kan orang tuanya itu lagi di luar negeri. Eh itu dia tetep kekeuh mau ngerayain sweet seventeennya,"

Mendengar penuturan Bu Gea, Rena langsung menerawan.

"Baguslah, Bu. Aku juga andaikan bisa, ingin merayakan sweet seventeen," ujar Rena dengan lirih.

"Tapi, Rea. Ica itu gak mau kalau acaranya biasa-biasa saja. Kamu tau gak, masa dia mau mengadakan acaranya di di hotel bintang lima terus ada DJ-nya. Hee mana mau kami orangtua mengijinkan seperti itu tanpa ada pengawasan,"

Rena terlonjak kaget mendengar penjelasan tantenya Ica.

"Terus bagaimana, Bu?"

"Ortunya minta kalau tetap mau adain acara ulang tahunnya dirayakan di rumahku saja,"

Rena megangguk-angguk. Pada dasarnya ia hanya bisa merespon sebisanya. Jujur, ia malas membahas Ica terlalu jauh.

"Jadi Bu Gea sibuk-sibuk begini untuk acaranya Ica, ya?"

"Betul, Rena."

Tiba-tiba suara musik DJ dari dalam dapur terdengar. Ternyata itu adalah suara ponsel Ica yang berjalan ke arah ruang tamu. Ica mendatangi Rena bersama Bu Gea.

"Tante. Lagunya asik gak di dengar? Bagusan yang mana sama yang ini?" tanya Ica tiba-tiba lalu mengganti suara music yang lain.

Rena dan Gea sambil berpandangan.

"Bagusan yang mana, Tante?" tanya Ica kembali.

"Bisa gak usah pake dj-djan? Nanti para tetangga terganggu, Sayang," bujuk Bu Gea merasa keberatan dengan permintaan keponakannya itu.

"Aish! Tante gak asyik! Tante sama kayak mama sama papa yang melarang terus! Ini tuh acara aku, jadi aku yang berhak mengatur semuanya,"

Gea langsung menghela nafas panjang.

"Iya, Sayang. Tapi ingat, tante juga berhak ngawasin kamu dan tamu-tamu nantinya. Tau etika oke?"

Gara-gara ketegasannya akhirnya Ica menjadi sedikit ketakutan.

"Iya, Tante. Gak bakalan ada yang rusuh-rusuh gitu," jawab Ica.

Sementara disana, Ica terlihat tak menganggap keberadaan Rena. Ia pun memilih pamit saja daripada harus mendengar segala celotehan Ica pada Bu Gea.

"Bu Gea, saya mau ke mama dulu," kata Rena pamit.

"Oh, iya, Rena,"

Dan tiba-tiba juga Ica pamit ke tantenya.

"Tante, aku mau keluar juga. Mau booking photoshoot di Mega Art,"

"Eh tunggu Rena!" panggil Bu Gea.

"Iya, Bu?" tanya Rena sementara Ica terlihat masih berada disana memandangi mereka berdua.

Gea lalu melihat ke arah keponakannya.

"Ica, kamu ajak Rena dong. Kalian satu kelas 'kan?" tanya Bu Gea menatap Rena dan Ica bergantian.

"Ih, Tante! Gak mau gue!" ucap Ica lalu berlalu pergi.

Gea melihat ke Rena dengan tatapan bersalah. Sedikit banyaknya, perilaku Ica tadi sudah pasti membuat orang tersinggung.

"Tidak apa-apa, Bu Gea. Saya ke dapur dulu lihat mama," kata Rena mencoba tegar.

Tantenya Ica sebisa mungkin mengulum senyum tipis id wajahnya. Mencoba memberikan semangat pada Rena.

"Iya, Rena. Jangan diambil hati sikapnya Ica,"

***

Rena melihat mamanya di dapur yang sedang sibuk menaruh bahan-bahan masakan di kulkas. Ia pun terkesiap membantu mamanya disana.

"Mau bikin makanan apa, Ma?"

"Spaghetti. Keponakannya nyonya minta dibuatkan tadi, Nak" jawabnya tanpa melihat anaknya karena sibuk.

Rena mangut-mangut lalu membereskan memasukkan barang belanjaan ke kulkas. Lalu setelah itu menghampiri mamanya. Tepatnya berada dihadapannya.

"Ma, ternyata ponakannya Bu Gea adalah teman kelasku,"

Mamanya hanya terdengar begruman. Sementara Rena semakin asyik berceloteh.

"Ma, sih Ica mengejek aku. Katanya kamu anak pembantu ya? Ish! Sombong sekali dia. Rasanya inginku cubit mulutnya," kesal Rena.

Ika langsung menggeleng dan malah dirinya yang langsung membekap mulut anaknya.

"Nak, jangan-jangan keras-keras kalau bicara nanti didengar Bu Gea," kata mamanya panik.

"Hm, iya, Ma," ucap rena mengecilkan suaranya.

"Betulkah dia menghinamu, Nak?" tanya Ika berbisik. Wanita paruh baya itu menghentikan aktivitas masaknya dan menatap anaknya dengan intens.

"Iya, Ma," lirih Rena sambil menudukkan pandangan ke lantai.

Mamanya Rena hanya bisa menghela nafas panjang.

"Sudah ya, Sayang. Jangan diambil hati. Anak mama gak boleh dendam. Lupakan yang tadi ya, Nak?" bujuk mamanya dengan lembut sambil mengecup ubun anaknya

***

Rena selalu menikmati moment pagi hari diluar kelas dengan suasana yang begitu tenang. Sepagi ini memang belum banyak anak-anak yang datang. Bahkan bisa dipastikan Rena adalah siswa pertama yang selalu datang ke sekolah. Maklum, jadwalnya berangkat dari rumah ke sekolah terlalu cepat.

'Segarnya udara pagi ini. Ex hale, in hale. Ex hale, in hale' ujar Rena berbicara sendiri sambil memperagakan tarikan nafas seperti sedang olahraga yoga.

Ditengah asyik-asyiknya, ia melihat satpam sekolah dihadapannya.

"Hei, Pak Didi! Mau olaharaga gak? " tawarnya pada satpam sekolah. Gara-gara selalu datang lebih cepat, mereka berdua menjadi akrab.

"Tarik nafas buang nafas sajakah, Rena?" tanya satpam sekolah dengan wajah polosnya

"Bukan, Pak! Kali ini olahraga lebih dari itu," kekeh Rena.

"Apa toh memangnya?" tanya pak Didi dengan logatnya yang khas.

"Nafasnya ditahan semenit. Kalau Pak Didi bisa berarti jantungnya sehat. Berani coba gak, Pak?"

"Gitu doang?"

"Pak Didi yakin? Oke tahan sampai semenit nafasnya. Saya hitung dari sekarang, satu, dua, tiga, tahan, Pak!"

Belum dua puluh detik, Pak Didi mulai menyerah.

"Waduh tidak bisa, Rena. Sudah tua toh," kekeh Pak Didi disana.

Selepas bersendau gurau engan pak Didi, Rena kembali masuk ke kelas. Ia telah melihat tas Adit sudah berada diatas meja. Ia langsung menggebu-gebu untuk meminta maaf atas kebohongannya pada Adit.

TO BE CONTINUED