"Jadi kamu sudah berbohong? Kenapa bohong denganku?"
DEG!
Ditanya seperti itu membuat lidah Rena mendadak kelu.
"Ma-maaf, Adit. Aku awalnya malu mengatakan kondisi keluargaku sebenarnya. Tapi sekarang sudah tidak kok," jawab Rena menunduk.
Untunglah Adit menganggapnya hal biasa.
"Lain kali kamu jangan seperti itu, Rena. Kamu tenang saja, aku berteman dan bersahabat kepada siapapun, tidak pilih-pilih asal cocok. Bukan karena orangnya anak kaya atau apapun itu,"
Rena terlihat mengangguk-anggukan kepala. Ia langsung memukul bahu Adit dengan keras.
"Siap, bosku!" seru Rena sudah tidak canggung.
"Sakit, Rena!" kata Adit lalu tertawa karena terlihat mereka berdua saling melemparkan pukulan candaan.
"Mulai hari ini kita akan saling menguatkan dan tidak boleh lagi saling memendam masalah. Aku juga tak mau melihat sahabatku ini memendam amarah dan imbasnya tidak mengerjakan tugas," seru Rena sambil tersenyum lebar.
"Iya, ini yang terakhir kalinya. Gak enak juga kalau gak masuk belajar. Otak kita tidak dapat nutrisi hari ini," kata Adit ikut terkekeh.
***
Selepas pulang sekolah, Rena menyempatkan dirinya ke ruangan orkes untuk melihat daftar lomba melukis yang akan diadakan di sekolah.
"Kalau dilihat-lihat kayaknya kamu bisa ikut yang ini, Ren," ujar Revan sambil menujuk pengumuman yang dimaksud.
"Tapi ini sepertinya berat. Mana tantangannya susah. Sulit kayaknya, Revan. Ambil jenis yang mudah saja kali, ya?"
Mereka berdua sedang membicarakan perlombaan melukis. Ada tiga jenis lomba melukis dan semuanya mempunyai hadiah yang berbeda-beda.
Revan mengibasan tangannya. Sahabatnya Adit itu dan juga adalah teman baik Rena, merasa jika kemampuan Rena itu luar biasa dalam melukis.
"Jangan merendah. Kamu siswa diangkatan baru ini yang paling berpotensial ikut. Sudahlah, ambil saja. Kamu harus bisa memenangkan lomba itu, Rena," bujuk Revan.
Apa yang dikatakan Revan memang benar. Rena berpikir sesaat. Memang satu minggu ke depan ada lomba melukis di sekolahnya.
Sebenarnya Rena sudah diajak oleh gurunya untuk bisa mewakili sekolah dalam lomba tersebut. Tapi Rena masih ragu-ragu karena merasa kemampuannya belum sebanding dengan beberapa kakak tingkatnya yang lebih mahir dalam hal melukis. Hanya saja untuk perlombaan ini, yang bisa mengikuti adalah angkatan baru di orkes, angkatannya Rena.
"Sudah gak usah banyak pikir. Nanti lu sama Adit bakalan memenangkan lomba melukis ini. Dua perwakilan dari sekolah kita pasti juara deh," kata Revan memberi semangat.
Rena tak mengetahui hal tersebut. Makanya ia langsung terlihat antusias.
"Ha? Kamu tau dari mana kalau Adit juga ikut, Revan?"
"Feeling. Soalnya Adit sekarang lagi dipanggil sama Pak Tio 'kan? Pasti deh dia itu sedang diajak untuk mewakili sekolah. Lu 'kan kemarin juga seperti itu. Harus putra-putri yang ikut,"
Rena terlihat mengangguk. Selepas pulang sekolah, memang Rena bersama Adit tadi. Tapi Revan tiba-tiba memanggilnya dan meminta Adit langsung ke ruangan guru. Makanya di ruang orkes, tinggal Revan dan Rena disana. Mereka berdua melihat pengumuman sambil menunggu kedatangan Adit.
"Ya, belum tentu juga sih, Revan. Tunggu saja Adit dia bilang apa nanti," kata Rena sedikit tidak yakin dengan jalan pemikiran Revan.
"Oke, kita lihat," kata Revan dengan seringah wajah penuh tantangan.
Tak berapa lama, Adit sudah keluar dari ruangan. Ia terlihat memperlihatkan deretan giginya menatap Rena dan Revan secara bergantian.
"Wah, wajah-wajah anak jago sudah memperlihatkan aura kebahagiaan nih," celutuk Revan.
Rena tidak sabar. Ia langsung menghampiri Adit terlebih dahulu.
"Adit, Pak Tio bicara apa padamu? Memangnya benar kamu akan dipanggil juga untuk mewakili sekolah kita?"
Adit langsung mengangguk cepat. Senyuman puas pun terlihat di wajah Revan.
"Nah, gue bilang apa 'kan Rena! Adit itu pasti dipanggil sama Pak Tio karena itu. Nah...." kata Revan sengaja mengantungkan perkataannya. Ia lalu menatap Adit.
"Kasih tau ke Rena, Dit. Bantu dia perlihatkan jenis kompetisi yang harus diikuti,"
Rena langsung terkekeh kecil.
"Iya deh, Revan. Gue akan ikut jenis kompetisi yang tadi. Semakin banyak tantangannya semakin seru, iya gak?"
Reva langsung menepuk tangannya dengan semangat.
"Betul!"
Ditengah keasyikan mereka, tiba-tiba satpam sekolah menghampiri mereka bertiga.
"Yang namanya Adit disini siapa?" tanyanya menatap ketiga anak itu saling bergantian.
Refleks Rena dan Revan menujuk Adit.
"Saya, Pak. Kenapa?" tanya Adit.
"Oh, kamu sudah ada penjemput di depan,"
Posisi mereka memang langsung terlihat dari arah gerbang sekolah. Adit sendiri baru sadar jika mobil mamanya terparkir di depan sana.
"Baik, Pak," kata Adit pada satpam.
Satpam sekolah lalu pergi. Adit terlihat ingin menawari Revan dan Rena untuk pulang bersama mereka berdua.
"Lu mau pulang bareng gak?" tanya Adit terlebih dahulu pada Revan.
"Jelaslah," kata Revan.
"Kamu, Rena? Ayo ikut denganku. Sekalian aku bisa lihat rumahmu juga," kata Adit menawari Rena.
Rena terlihat berpikir. Ia melihat mobil orangtua Adit begitu berkilau.
'Mobilnya mewah sekali,' batin Rena berdecak kagum
"Tapi, Adit—"
"Sudah, gak usah malu-malu. Nih sih Revan saja gak pernah malu," sela Adit meledek.
"Soalnya urat malu gue sudah hilang," kata Revan paling tertawa lebar.
Rena pun mengangguk pelan menerima tawaran Adit. Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke mobil mommy-nya Adit.
"Mom, antar teman-temanku pulang dulu," kata Adit membuka pintu mobil lalu terduduk begitu saja.
"Iya,"
Revan langsung membuka pintu mobil dan Rena memilih mengikuti Revan.
"Rumahku di perumahan Citra, tante," seru Revan dengan semangat.
"Oke. Kalau yang satu?" tanya mommy-nya Adit sambil melihat Rena di kaca spion.
"Di jalan sudirman, Tante,"
Wanita cantik itu mengangguk pelan. Rena memperhatikan antara Adit dan mamanya terlihat tidak begitu akrab. Tidak pernah mamanya Adit terlihat berbasa-basi. Berbasa-basi dengan Rena maupun Revan mungkin tidak terlalu penting, tapi sekedar berbicara dengan anaknya saja tidak Rena tidak melihat hal tersebut.
Hening...
Di dalam mobil sangat hening. Hanya suara kendaraan diluar sana yang terdengar.
'Kasihan Adit. Sama mamanya sendiri kayak gak akrab gitu,' batin Rena.
Revan yang pertama kali diantar terlebih dahulu. Hingga pada akhirnya giliran Rena yang diantar menuju ke rumahnya.
"Rumahmu yang mana, Rena?" tanya Adit saat mobil sudah memasuki sekitar kompleks rumah Rena.
"Yang itu!" ujar Rena menunjuk yang dimaksud.
Sebuah rumah yang sangat sederhana. Mungkin hanya sepetak saja. Mobil Keny kini terparkir persis di depan rumah Rena.
Rena bersegera pamit dan ia seakan ingin mencium telapak tangan mommy-nya Adit. Tetapi wanita itu langsung menarik tangannya.
"Banyak juga ya botol-botol bekas dirumah. Itu... kalau kamu sudah pungut-pungut berbagai botol, kamu tetap cuci tangan 'kan?" tanya Keny.
Rena langsung merasa ada hal yang aneh. Ia melihat ekspresi jijik terlihat di wajah mommy-nya Adit.
TO BE CONTINUED