"Siapa yang menyuruhmu membawa Adit pulang ke rumah?"
"Keny, kamu ini apa-apaan? Jangan membentak seperti ini di depan anakmu,"
Orang tua Adit bertengkar sengit. Mereka saling tarik ulur tangan. Hingga pada akhirnya Keny mengalah membereskan pertengkaran. Mereka masuk ke rumah agar Adit tidak melihat pertengkaran mereka.
"Bi Imo, Adit ada di dalam mobil. Temani dia dulu," pinta Reno - ayah Adit, pada asisten rumah tangganya.
"Baik, Tuan," jawab asisten sopan.
Sudah bukan rahasia umum jika pasangan majikannya itu akan kembali bertengkar dan mencari tempat teraman dari anaknya.
"Mas, lepaskan!" bentak Keny sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan suaminya di pergelangan tangan kanannya.
"Tidak!"
"Akh!" ringis Keny kesakitan hebat.
Reno tidak tega terlalu kuat mencengkram tangan istrinya. Ia lalu melepaskan cengkraman tangannya dari sang istri. Untung saja ia sudah mengunci pintu rumah sehingga Keny tidak melarikan diri. Ia ingin berbicara serius dengan istrinya berdua.
"Kamu ini bisa tidak bersikap dewasa di depan anakmu?" tanya Reno tenang.
"Kamu yang harus bersikap dewasa, Mas! Bisa-bisanya kamu membawa Adit pulang ke rumah! Ingat ya, masalah kita tadi malam sudah final! Aku tidak mau serumah denganmu dan juga Adit ikut denganku. Aku tidak mau Adit dekat-dekat denganmu. Lelaki tukang selingkuh, pembohong dan uangmu tidak pernah bisa membahagiakanku. Akh, semua yang ada pada dirimu aku membencimu, Mas!" sungut Keny mendorong bahu suaminya.
"Keny! Hargai aku sebagai suamimu! Hargai anakmu. Kamu kenapa bersika anak-anak begini?" Reno tak kalah emosi melihat tingkah kekanak-kanakan Keny.
Reno mungkin bisa dibilang lelaki tersabar menghadapi istrinya itu. Keny memang tidak pernah bersyukur selama menikah dengan Reno. Baik dari segi materi maupun batin.
Makanya Keny selalu menambah alsan-asalan denga dugaan jika Reno berselingkuh. Padahal hingga detik ini, ayahya Adit itu tidak melakukan hal tersebut.
Reno berusaha menurunkan egonya sebagai sang suami. Apalagi, ia sangat menyayangi anaknya. Adit tidak ingin mereka bercerai.
Jika saja ia tidak kasihan dan peduli pada anaknya, mungkin Reno akan jauh lebih kasar dan bersikap tegas menceraikan sang istri. Tapi untuk saat ini, Reno melihat rumah tangganya masih bisa ia pertahankan dengan cara mengalah akan segala sikap dari mamanya Adit itu.
"Hargai? Ya, aku masih menghargaimu, mas! Buktinya aku belum sampai melayangkan gugatan cerai denganmu! Paham?" ucap Keny merespon perintah tegas suami barusan.
Reno menggeleng pelan. Tangannya terkepal disana. Jika saja Keny bukanlah wanita yang dicintainya, mungkin Reno akan langsung melakukan kekerasan padanya.
"Aku hanya meminta padamu untuk tidak melarang anak kita berteman dengan teman-temannya. Terserah Adit mau berteman dengan sipa saja. Kamu perlu tau, Keny. Aku tidak membawa Adit ke rumah ini dengan keterpaksaan. Adit yang memintaku membawanya ke rumah karena tidak mau dekat denganmu," jelas Reno tenang.
"Bohong! Pasti kamu menjelekkan-jelekkanku pada Adit 'kan?"
"Tidak," jawab Reno datar.
Keny menarik nafas panjang. Ia berjalan mendekati sang suami. Ia berniat untuk mengambil kunci pintu yang digenggam Reno. Lelaki itu tidak memberikan kekuatan pada dirinya untuk menolak. Ia membiarkan Keny mengambil kunci tersebut.
Keny mendengkus kasar dan berkata, "Adit hanya boleh ikut denganku!"
"Asal kamu tdiak mengekangnya untuk berteman dengan siapapun," ucap Reno. Namun Keny mengacuhkannya dan terus berjalan cepat ke luar rumah.
"Adit, pulang sama mommy sekarang!" Keny membujuk Adit.
"Gak, Mom. Adit mau tinggal sama ayah dan bi Imo,"
"Kamu tidak mau ikut sama mommy?" tanya Keny tidak terima perkataan Adit.
"Mommy gak usah tinggal di apartement. Mommy disini saja sama ayah. Jangan marah-marah lagi mommy, please," bujuk Adit lembut.
"Kamu ini kenapa sih keras kepala sekali jadi anak,"
"Nurun dari kamu. Adit mewarisi keras kepalamu," timpal Reno tegas.
Keny mendengkus kasar mendengar lelaki itu berbicara. Ia tidak mau lama-lama berdebat dngan anaknya. Ia menarik tangan Adit untuk turun ke mobil. Tetapi tenaga Adit juga kuat untuk tetap berada di dalam mobil. Ia tidak mau ikut dengan mamanya.
"Kalau aku ikut sama mommy, aku pasti selalu dilarang berteman dengan Rena. Kalau aku disini sama ayah, aku bebas," ucap Adit jujur.
"Astaga, bebas maksudmu? Adit… mommy hanya ingin kamu berteman dengan benar," kata Keny penuh penekanan.
"Cukup, Mommy! Adit tetap tidak mau ikut sama mommy kalau mommy juga keras kepala seperti ini,"
Adit melihat tidak ada tanda-tanda mamanya berbesar hati menerima bujukan darinya. Padahal bujukan Adit hanyalah sebah permintaan manis dari seorang anak yang membutuhkan keharmonisan dengan kedua orangtuanya dan tidak dikekang dengan alasan yan tidak logis menurutnya.
Adit akhirnya berhenti berdebat dengan mamanya. Ia memilih turun dari arah pintu mobil yang lain. Dengan langkah cepat ia berjalan.
Saat langkahnya tepat berada di ambang pintu rumah, Reno terlihat mencegat anaknya untuk tetap disana. Tapi Adit tak menggubrisnya. Yang Adit lakukan hanyalah menutup pintu rumah dengan bantingan keras. Sang pembantu pun langsung terburu-buru mengejar Adit ke dalam rumah.
Reno pun berjalan menghampiri sang istri. Bahu Keny terlihat naik turun karena sedang menahan amarahnya.
"Kamu dengar 'kan? Lebih baik kamu yang disni Keny,"
"Malas!" jawab Keny datar.
Wanita itu lalu memlih melajukan mobilnya dengan kencang. Pertanda jika mamanya Adit itu masih emosi dengan sang suami. Ia akhirnya memilih mengalah jika Adit tinggal di rumah daripada ikut dengannya.
Reno memandangi mobil sang istri hingga berlalu pergi. Hati kecilnya menginginkan amarah istri dan permasalahan keluarganya cepat berakhir. Tidak ada gunanya terlalu memaksa Keny jika bukan dari hatinya sendiri.
'Semoga amarahmu cepat reda, Keny.' ucap ayahnya Adit sendirian.
***
Pag-pagi sekali Rena sudah datang ke sekolah. Lebih cepat beberapa menit dari biasanya. Bila ia datang tepat saat gerbang dibuka satpam, kali ini Rena harus menunggu gerbang dibuka oleh satpam sekolah. Mata wanita itu terlihat menerawang jauh menatap langit-langi cuaca pagi sabil sesekali menghirup udara segar yang masih jauh dari udara para manusia-manusia di lingkungan sana.
Namun aktivitas ketenangan Rena itu terhenti dan malah membuatnya terkejut disana. Dentungan keras besi yang sengaja dipukul. Refleks Rena langsung menoleh ke belakang. Mang Didin—satpam sekolah baru saja memukul-mukul trali kunci pagar. Hingga suara itu memunculkan suara besi yang menyaringkan telinga.
"Eh… mang Didin, bikin kaget saja. Kalau jantung Rena copot gimana?" tanya Rena mengerucutkan bibir.
"Gak mungkin Rena! Orang kamu suka atur pernafasan. Pasti jantungmu kuat,"
"Ye… Pak Didin. Oh iya, Pak. Rena mau menguasai lapangan sekolah sebelum banyak yang datang. Pak Didin tidak mau ikutan jogging?" ajak Rena ramah.
"Anak muda sajalah. Bapak nanti ngos-ngosan dan malah malas bekerja. Nanti makan gaji buta, Rena," tolak satpam sekolah halus.
"Baiklah, Pak," kata Rena sambil berjalan pergi dari depan satpam.
Moodnya Rena untuk jogging di lapangan mendadak hilang. Ia baru saja masuk ke kelas 11 IPA 1. Di dalam kelasnya, ia terlihat terdiam saat ingin menaruh tasnya.
TO BE CONTINUED