Chereads / Rena Dreams / Chapter 7 - Mengaku Tinggal di Perumahan Elit

Chapter 7 - Mengaku Tinggal di Perumahan Elit

Rena terkekeh kecil. Alih-alih mencoba berbohong, malah di skakmati sama Adit.

"Antar aku pulang saja deh, Adit." jawabku setelah sepersekian detik memutar otak.

"Rumahmu dimana?"

"Di perumahan Alaska. Tau 'kan?"

"Siap!"

Adit pun kembali melajukan motornya. Rena sebenarnya telah berbohong. Lokasi yang disebutkan barusan bukanlah rumahnya. Perumahan Alaska memang terkenal perumahan elit. Rumah yang dimaksud adalah rumah majikan mamanya

"Blok rumahmu apa, Ren?" tanya Adit saat sudah berada disekitaran komplek permuahan Alaska.

"Berhenti pas blok A depan sana. Nanti aku jalan kaki saja masuk," titah Rena.

"Gak apa-apa. Gue antar sampai depan. Belok kanan lagi atau belok kiri nih?"

Adit tetap berusaha melajukan motornya tanpa menggubris ucapan Rena yang tak ingin diantar sampai depan rumah.

"Aduh, Adit! Gak usah gak usah memaksa begini. Gue keberatan!" ucap Rena dengan tegas.

Adit langsung menghentikan laju motornya lalu terlihat mematung disana.

"Sorry, Dit. Aku 'kan bilang sampai di depan sana. Gak usah diantar sampai depan rumah," kata Rena sedikit melemah setelah sadar diri telah bersikap sinis tadinya.

Gara-gara sikap Rena, Adit dibuat terheran.

"Thanks atas tumpangannya. Hati-hati dijalan. Adit" pamit Rena terburu-buru meninggalkan Adit diatas motor yang bahkan Adit belum membalsanya dengan sepatah kata pun.

Kata orang sepandai-pandainya tupai melompat pasti bangkainya akan tercium juga. Kata orang juga, bohong itu bisa membuat seseorang candu.

Sekali berbohong, akan berbohong lagi untuk menutup kebohongan lain. Akh! berteori memang gampang, tapi saat dihadapkan pada sebuah kondisi, susah sekali menerapkannya. Itulah yang Rena alami.

***

"Mamaaa!" teriak Rena melihat mamanya yang sedang terlihat memotong rumput.

Wanita paruh baya itu mendekati Rena dan mengernyitkan dahinya menatap anaknya.

"Tumben kamu langsung kesini, Nak?"

Mamanya Rena terhern karena memang Rena tidak pernah datang ke rumah Bu Gea—majikan mamanya Rena, kecuali hanya dihari libur saja.

"Aih, mama! Jangan kaget begitu dong. Rena datang kesini mau bantuin mama. Gak boleh ya?" rengek Rena.

"Gak ada yang main di lapangan jati, Nak?" tanya mamanya penasaran.

"Aku gak kesana, Ma. Soalnya tadi gak sempat cari botol-botolan. Oh iya, Ma ada hal juga yang mau aku sampaikan."

"Apa itu, Nak?"

"Aku ikut ekstrakurikuler di sekolah Ma. Jadi mulai hari ini sudah gak cari botol-botolan lagi," lirih Rena sambil menunduk bersalah.

"Tidak usah dipikirkan, Nak. Sekarang kamu fokus belajar saja. Fokus sama sekolah. Biar mama yang mencari rejeki," ucap mamanya sambil mengusap ubun kepala Rena sehingga membuatnya terenyuh.

"Mama," desah Rena sambil memeluk erat mamanya.

"Rena bantuin mama," ucapnya kembali sambil ikut mengambil alat pemotong rumput.

***

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Itu artinya jam kerja Bu Ika telah selesai. Seperti biasa, sebelum mamanya Rena pulang, ia wajib menunggu Bu Gea—majikan mamanya Rena pulang kantor.

"Itu bu Gea udah pulang, Ma," ucap Rena dengan wajah sumringanya.

Ia dan mamanya pun bersegera menyambutnya majikannya yang masih berusia tiga puluh tahun tapi karirnya sudah begitu sukses.

"Makasih bi Ika. Eh, ada Rena juga," sapa bu Gea sembari turun dari mobil fortunernya yang berwarna putih.

"Pulang sekolah dia tadi langsung kesini, Nyonya,"

"Lagi rindu mama makanya langsung kesini bu Gea," seru Rena mempelihatkan deretan giginya.

"Bisa aja kamu, Ren," respon bu Gea ikut terkekeh.

"Oh iya Bi Ika, saya hampir daja lupa. Besok saudara sama ponakan saya mau bermalam di rumah. Jadi Bi Ika besok lembur, ya? Saya mau menjamu mereka soalnya sudah lama saya tidak bertemu dengannya," titah Bu Gea.

"Iya, Nyonya,"

Bu Gea pun tersenyum. Ia lalu mengambil sebuah goodie bag berisikan cemilan dan diberikan pada Rena.

"Ambillah, Sayang,"

"Wah, makasih Bu Gea," ucap Rena dengan gembira.

Namun belum sempat ia mengambil goodie bag, mamanya langsung menolak halus.

"Waduh, gak usah repot-repot, Nyonya,"

"Tidak apa-apa Bi Ika. Memang saya beli banyak kok. Tuh di dalam mobil masih banyak soalnyapersiapan menjamu keluarga 'kan. Sekalian mumpung ada Rena juga jadi rejeki untuknya ada juga,"

Mamanya Rena pun mengangguk pelan dan ia yang mengambil goodie bag itu dari tangan majikannya.

"Makasih, Nyonya,"

"Makasih Bu Gea," seru Rena dengan girang.

"Sama-sama. Ya sudah, kalian berdua hati-hati pulangnya,"

"Mari, Nyonya," pamitnya lalu mereka berdua berjalan pulang ke rumah.

***

Rena memandangi langit-langit kamarnya. Sudah hampir sejam Rena belum bisa memejamkan matanya. Isi otaknya terlalu berisik. Sampai akhirnya ia menjadi bosan sendiri.

'Apa perlu gue cerita sama mama? Tapi pasti mama gak setuju kayaknya. Nanti bicaraku belum selesai, pasti langsung dipotong,'

Rena berdialog dengan dirinya endiri di depan cermin layaknya sedang berakting. Biasanya kalau ada apa-apa pasti ia cerita sama mamanya.

Tapi akhir-akhir ini, selama menjadi siswa SMA, ia seakan bersikap tertutup dan mencoba menutupi berbagai kejadian yang dialaminya.

Setelah melawan gejolak batinnya, ia pun memilih menemui mamanya ke ruang tamu. Disana ia melihat mamanya sedang menjahit baju. Sementara Rena berjalan sementara pula suara ponsel mamanya berdering.

"Ma, ada yang nelfon. Kenapa gak diangkat, Ma?" tanya Rena saat sudah terduduk di samping mamanya.

Ika hanya menggeleng pelan. Dasarnya penasaran, Rena yang mengambil ponsel mamanya. Ia melihat layar ponsel dengan ekspresi kebingungan.

"Tante Ewi, Ma. Perasaan kemarin sudah dibayar utangnya. Kenapa dia menelfon lagi, Ma?"

"Belum semuanya, Nak. Mama baru bayar separuhnya," jawab mamanya melemah.

"Kejam sekali mereka, gak ada hati ngasih pinjaman. Gak ada habisnya ini. Hidup kita itu seakan hanya bayar utang utang utang," emosi Rena sambil memayunkan bibirnya.

Ika pun hanya bisa menarik nafas panjang. Matanya berkaca-kaca seakan ada setitik buliran air mata yang siap keluar dari pelupuk matanya yang sengaja ia tahan.

"Andai saja ayahmu masih hidup. Kita tidak akan hidup susah begini, Nak," lirih mamanya Rena.

"Ma," Rena langsung menangis sesegukan.

"Sudah, Nak. Jangan menangis," titah mamanya dengan lembut sambil memeluk Rena. Ia menenangkan anaknya sampai Rena terlihat berhenti menangis.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak?" tanya mamanya sesaat Rena mulai terlihat tenang.

"Baik, Ma. Tadi aku sudah daftar ekskul," jawab Rena walaupun suaranya masih terdengar berserak.

"Ekskul itu apa, Nak?"

"Semacam organisasi di sekolah, Ma. Aku ambil kesenian yang melukis-melukis. Baguskan, Ma?"

"Bagus sekali, Nak. Nanti kalau ada lomba-lomba manfaatkan. Asah skillmu biar semakin terlatih," saran mamanya dengan lembut sambil mengkat kedua jempolnya.

"Pasti dong, Mama," ucap Rena kegirangan yang mulai melupakan kesedihannya.

Rena lalu memutar bola matanya dan terlihat mengatupkan bibir sejenak. Lalu setelah itu berkata pelan.

"Emm ..., Ma, aku mau cerita sesuatu. Tapi denger dulu baru mama ngomong yah. Janji?"

TO BE CONTINUED