Matahari benar-benar sudah meninggi ketika Cleo dan Lucio berhasil menapakkan kaki di pondok. Jarak yang mereka tempuh dari gunung di mana tumbuhan obat langka berkembang biak, berada cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Butuh waktu beberapa menit berjalan kaki untuk mencapai tempat persinggahan, sementara terlihat di sana, Mr. Rolleen, seperti biasa sedang bergelut dengan dua ekor burung yang menjadi pasiennya hari ini.
"Kalian lama sekali." Suara Mr. Rolleen terdengar menginterupsi. Pria tua itu tidak berbalik menatap keduanya ketika mulutnya berhasil mengeluarkan kalimat itu.
Cleo menarik napas lelah lalu duduk di bangku kayu tidak jauh dari Mr. Rolleen. Mereka sedang berada di belakang pondok, tempat di mana pria tua itu biasa bekerja.
"Mr. Rolleen, kami baru saja menemukan tanaman langka yang kamu maksud." Lucio masuk ke dalam percakapan. Dia mendekati Mr. Rolleen sembari membawa keranjang yang dia bawa dari gunung obat.
Mr. Rolleen mendongak, menatap bergantian ke arah Lucio dan keranjang di tangan pria itu. Sejurus kemudian dia tersenyum penuh bangga. Dia menatap Cleo yang sedang mengipasi tubuhnya saat berkata, "Lihatlah Cleo, Lucio sangat bisa diandalkan bekerja di tempat ini dan menjadi penerus pondok obat bersamamu."
Manik Cleo memicing jengkel. "Jangan mencoba menghasutku. Aku memang mengizinkan dia tinggal di sini tetapi aku tidak akan pernah menerima dia menikah denganku." Telunjuk Cleo terancung, menghunus langsung ke arah Lucio.
Tetapi Lucio justru tidak peduli dan dia berlalu menuju gudang penyimpanan obat.
Mendadak Mr. Rolleen terbahak. Menertawai keadaan Cleo yang tampak tidak dianggap. "Hei anak bodoh, aku masih hidup dan tempat ini masih menjadi milikku. Dengan kata lain, bahkan jika kamu tidak setuju Lucio tinggal di sini, aku tetap akan mengizinkannya."
Bibir Cleo mencebik. "Terserah," dan dia memasuki pondok dengan langkah kesal.
Lucio kembali tepat setelahnya. Sempat dia melirik ke arah bangku kayu yang Cleo duduki sebelumnya. Tidak ada gadis berambut merah itu di sana, selain sosok Mr. Rolleen yang kembali bergelut dengan burung-burungnya.
Arah pandang Lucio berpindah ke arah pondok. Mendadak dari sana dia seolah mendengar makian-makian kesal yang dilayangkan Cleo untuk Mr. Rolleen dan dirinya. Dasarnya, gadis itu tampak tidak akan pernah menerima keberadaannya.
Menarik napas, Lucio memutuskan beranjak memasuki pondok.
***
Begitu Cleo membuka pintu kamar; berniat keluar setelah bersiap-siap berangkat ke kota, mendadak pintu lain di sebelah kamarnya ikut melebar dan menampilkan sosok Lucio di sana. Pria itu menatapnya, sementara Cleo membuang wajah dengan angkuh. Perasaan kesal yang timbul di hatinya sejatinya bukan disebabkan oleh pria itu, melainkan karena kakeknya sendiri. Tetapi, tidak puas rasanya bila dia pun tidak ikut melayangkan tatapan judesnya ke arah pria itu.
"Kamu sudah siap?" Lucio menatap penampilan Cleo. "Aku akan menunggu di luar jika belum." Pria itu hendak melenggang pergi tetapi perkataan Cleo berhasil menghentikannya dengan telak. Ketika dia berbalik, gadis berambut merah itu sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan memicing.
"Aku sudah siap sejak tadi. Lagi pula tidak ada yang perlu aku benahi bila mengunjugi kota. Sebab, orang-orang sekarang lebih memperhatikan dirimu." Cleo melipat tangan di dada, sedang wajah terbuang ke arah samping.
Kening Lucio berkerut. "Kamu marah karena perhatian penduduk beralih kepadaku?"
Cleo berbalik cepat. Maniknya melotot tidak terima. "Tentu saja tidak!"
"Lalu apa?" Giliran Lucio yang menyorot penasaran. "Rupanya kamu haus perhatian." Ada seringaian di bibir pria itu.
Kepalan tangan mendadak terbentuk di pihak Cleo. Dia tiba-tiba merasa marah. " Terserah! Aku tidak ingin berdebat."
Lucio mengangkat bahu tidak peduli. "Aku tidak pernah mengajakmu berdebat."
Cleo mengeram jengkel. Tetapi meski jika dirinya sangat ingin menghancurkan rahang pria itu dengan pukulan keras, sayangnya, untuk sekarang dia enggan berhadapan dengan Mr. Rolleen. Mendadak pria tua itu berubah menjadi sosok pembela yang siap sedia berdiri di belakang Lucio. Sepertinya Mr. Rolleen perlu diingatkan kembali siapa cucunya yang sebenarnya.
Sebelum turun gunung menuju kota, Cleo jelas tidak akan absen untuk memberi laporan keluar kepada pemilik pondok. Tentu, semua orang tahu siapa yang sedang dia bicarakan. Cleo pun tidak perlu merasa repot untuk mengajari Lucio dengan kebiasaan itu saat hendak pergi. Dua minggu lalu, bahkan sebelum Cleo mencontohkannya, nyatanya Lucio telah bertindak serupa saat mereka hendak turun gunung mengantar obat untuk yang pertama kalinya. Seolah-olah pria itu telah diajari sebelumnya.
Mungkin hanya sebuah kebetulan kecil. Toh, kebanyakan pribadi pendiam akan berpamitan kepada yang lebih tua sebelum pergi ke suatu tempat, guna meminimalisir rasa khawatir di benak mereka.
Ini hal wajib yang harus Cleo lakukan, dan Mr. Rolleen adalah sosok guru yang berbakat untuk mengajarinya.
Langkah Cleo terhenti begitu dia menyadari bahwa desa terdekat sudah terlihat dari posisinya sekarang. Cleo berdiri di atas undakan batu sembari merasai semilir angin menerpanya. Senyumnya mengembang menatap hamparan tanaman gandum di bawah sana. Sejatinya, kerajaan Naserin adalah penghasil gandum terbesar dari tiga kerajaan di pulau Northland. Cukup bangga dia mengetahui fakta itu, mengigat dia adalah bagian dari Naserin kendati beberapa orang tidak menerima keberadaannya.
"Beristirahat lah di sini sebentar."
Suara Lucio terdengar dari arah samping. Mengigat pria itu bertubuh tinggi, Cleo tidak akan menoleh dan melihatnya. Jika dia tetap nekat untuk melakukannya, tentu posisinya dengan pria itu akan terlihat sangat dekat dan Cleo tidak menginginkannya. Alhasil, sebagai jawaban dia hanya mengangguk.
Lucio menghela napas. "Baiklah, kalau begitu kamu akan aku tinggal beberapa menit. Tampaknya aku menjatuhkan satu kantung obat. Aku harus mencarinya."
Perkataan itu jelas tidak bisa Cleo abaikan. Terburu, gadis itu berbalik tanpa memikirkan apa yang sempat dia takutkan sebelumnya. Sementara tepat seperti yang dia bayangkan, kini, wajah mereka benar-benar nyaris menempel. Sialnya lagi, Cleo tidak bisa mengelak saat kakinya mendadak terasa licin dan dia berakhir jatuh ke dalam pelukan Lucio.
"Bodoh!" Gadis berambut merah itu masih sempat memaki. Kendati demikian, dia tengah menunduk menahan malu. Cleo jelas tidak berani mengangkat wajah. Dengan suara kecil sedang tangan mendekap leher kokoh Lucio, Cleo berkata, "kamu harus berhasil menemukan obat itu sebelum lima menit berlalu," suaranya nyaris tidak terdengar.
Lucio paham maksud Cleo. Jelas, sebab Mr. Ramsley tidak boleh terlambat mengonsumsi obat. Tetapi di sisi lain, pria itu tentu tidak bisa bergerak mengingat Cleo masih berada di dalam pelukannya. Mendadak gadis itu berubah menjadi koala yang lengket di batang pohon. Kuat dan erat. Lucio sadar Cleo hanya takut terjerembab ke bawah sementara tempat ini cukup curam.
"Aku tidak bisa pergi jika kamu masih mengikatku dengan tubuhmu."
Cleo tiba-tiba melebarkan mata. Mendadak dia merenggangkan pegangannya dan membiarkan dirinya merosot, lalu jatuh berguling ke bawah. Teriakan gadis itu kontan menggelegar sementara pegunungan curam menelannya hingga tidak terlihat.
Lucio terdiam. Ini bukan salahnya, pikirnya tenang, sambil berlalu.
***
"Aku tidak akan memaafkannya." Manik Cleo memerah menahan tangis begitu reka adegan memalukan beberapa saat lalu kembali terulang di benaknya. Dia tidak pernah berpikir, Lucio justru tidak menahan tubuhnya dan membiarkannya tetap jatuh ke bawah. Jikapun pria itu tidak ingin disentuh, cukup bantu saja dengan menggeser tubuh ke samping, ke arah batu besar yang sempat Cleo pijaki sehingga dia dapat berpijak kembali di sana.
Namun, Lucio hanya mengangkat tangan sembari menatap tubuhnya yang jatuh tergelincir ke bawah. Benar-benar pria menyebalkan. Sekarang, Cleo perlu me-reset ulang anggapan mengenai Lucio adalah pria yang cukup baik. Nyatanya, pria itu sama sekali tidak menyenangkan.
Manik gadis itu berotasi, menatap sekeliling dengan helaan napas berat. Cleo tahu tempat ini, tetapi dia tidak bisa beranjak dengan kaki terluka.
Satu-satunya jalan adalah menunggu kedatangan Lucio.
Tetapi, gerakan Cleo mendadak berhenti dari berbenah diri guna menyingkirkan tanah di sekitaran jubah, sesaat setelah semak yang tumbuh tidak jauh di depannya bergerak acak. Sejurus kemudian, Cleo menajamkan indera dan mencoba fokus. Sampai akhirnya helaan napas lega menyambanginya begitu menyadari keributan itu disebabkan oleh seekor kelinci.
Setidaknya ... itulah anggapan Cleo sebelum kemudian sesuatu yang lebih besar dan berbahaya tahu-tahu menyeruak keluar dari dalam semak.
Cleo menjerit keras tatkala seekor serigala raksasa berbulu hitam pekat melompat ke arahnya.
Tetapi Cleo lagi-lagi tercengang, tepat dari arah belakang, satu serigala lain melompat tinggi melewati tubuhnya dan berdiri tepat di hadapannya. Namun alih-alih takut mendapati serigala yang baru saja muncul dan berlagak melindunginya, Cleo justru merasa terpukau saat kedua netranya menyaksikan sapuan bulu seputih salju yang membungkus tubuh si serigala.
Begitu serigala putih mengaum keras ke arah serigala hitam, seketika terpaan angin kuat melanda tempat itu dan tanpa sengaja menerbangkan jubah milik Cleo.
Alhasil, rambut gadis itu terlihat dan berkibar meliuk-liuk, terlihat kontras dengan bulu putih milik serigala di hadapannya.
Merah dan putih; sebuah perpaduan yang menarik.