Butuh tenaga ekstra bagi Cleo untuk menghentikan tindakan Lucio yang telah menyeretnya dengan tidak sopan. Saat Cleo mencoba menatapnya, siapa sangka Lucio telah memasang raut dingin. Sungguh, Cleo tidak mengerti mengapa Lucio menampilkan raut wajah seperti itu.
Sekarang Cleo akan berbaik hati untuk menunggu, sampai Lucio menjelaskan sendiri semua tindakannya beberapa saat lalu. Gadis itu akan mencoba bersabar meski hanya sedikit. Dia tidak akan bersuara kendati mulutnya benar-benar ingin memaki.
Namun, sudah beberapa menit berlalu Lucio tidak juga mengatakan apapun. Yang ada pria itu justru tidak melepaskan tatapannya pada Cleo barang sedetikpun. Kontan saja hal itu membuat Cleo merasa risih sekaligus kesal.
Sembari melipat tangan dengan wajah keruh, Cleo berkata judes, "Apa-apaan ini?" Meski suaranya cukup keras, tetapi keadaan pasar yang ramai berhasil meredam gema suaranya. Menarik napas kembali, Cleo akhirnya tidak punya pilihan selain menyeret lengan Lucio memasuki gang.
Mengindahkan tumpukan sampah dan bau busuk yang menyengat, Cleo lagi-lagi melipat tangan kemudian menatap Lucio dengan wajah serius. "Sekarang kamu tidak punya alasan untuk tidak mendengar suaraku. Jadi katakan, mengapa kamu menyeretku begitu saja?"
Hening.
Cleo sudah nyaris mengamuk saat mendapati reaksi pasif yang ditunjukkan Lucio. Tampak sekali pria itu tidak akan menjawab apapun dalam waktu dekat. Dan sudah kebiasaan Cleo menurunkan tudung jubahnya saat kesal, mengingat kini dia melakukannya di hadapan Lucio. Namun tidak diduga, tindakan itu justru mengundang atensi Lucio yang sebelumnya tidak bereaksi.
Pria itu terlihat marah.
Cepat-cepat Lucio menarik kembali tudung tersebut. Membungkus kembali rambut merah Cleo yang bersinar bahkan di dalam gang yang remang. Cleo terkejut tentu saja. Tetapi kekesalannya terhadap Lucio jauh lebih besar dan Cleo tampak tidak peduli.
Seolah menantang, Cleo justru menurunkan kembali tudung jubahnya sementara Lucio sudah melotot tidak percaya.
"Cleo, jangan gegabah." Tangan besar Lucio dengan sigap meraih kembali tudung jubah gadis itu. Sayangnya, Cleo terlalu keras kepala sehingga dia tidak akan membiarkan Lucio melakukan hal serupa; memasangkan tudungnya. Seketika Lucio mengeram. Betapa kesal dia pada gadis itu. Memilih cara paksa, Lucio menarik jubah Cleo dan menaikkan tudungnya kembali, berikutnya pria itu mengikat tali pengikatnya hingga benar-benar erat. "Jangan main-main denganku, bocah," geram Lucio.
Tetapi alih-alih diam setelah mendapati raut wajah marah tersebut, Cleo justru dengan tenang menantang pria itu. Tangannya sengaja dilipat di depan dada, dagu diangkat tinggi, dan jangan lupakan lirikan matanya yang terkesan meremehkan. Cleo ini sungguh tidak ada takut-takutnya. Entah Lucio harus memujinya atau tidak.
"Aku tidak sedang bermain-main. Memang apa salahnya menurunkan tudungku, lagipula tidak ada yang melihat rambutku." Kedua manik gadis itu terlihat sinis saat berkata, "dan lagi, kamu belum menjawab pernyataanku sebelumnya. Mengapa kamu menarikku seenaknya?" Begitu Cleo mencoba membuka ikatan tudung jubahnya, rahang Lucio lantas mengeras.
"Cleo ...," sekali lagi, Lucio mengeram marah. Lucio sudah hendak memberi Cleo pelajaran tetapi satu lesatan anak panah telah terjun bebas dari atas bangunan tinggi yang mengapit gang hingga membuat Lucio mengurungkan niat. Sebaliknya dia berteriak keras, "Merunduk!"
Cleo terbengong. "Ap—"
Krak!
Brak!
Tubuh keduanya terhempas ke arah samping lalu menghantam tumpukan sampah yang sudah berbau busuk. Bersamaan dengan itu, hujan panah berjatuhan tepat di posisi mereka sebelumnya. Beruntung, refleks cepat Lucio mendorong tubuh ke arah samping membuat mereka berhasil selamat, kendati Lucio sangat tahu bila Cleo ingin memaki sekarang. Bagaimana tidak, sebab tubuh mereka baru saja tercebur ke dalam kubangan sampah menjijikkan.
Mengabaikan hal itu, Lucio bergerak cepat menarik Cleo berdiri lantas menyeretnya untuk melarikan diri. Dengan begitu Cleo mulai terdiam dengan wajah kaku. Benar ... sekarang dia menyadari bahwa seseorang sedang mencoba mencelakai mereka berdua.
"Lucio, sebaiknya kita lari ke arah pasar utama. Di sana ramai, kita bisa bersembunyi di antara orang-orang," usul Cleo, dan tampaknya Lucio sudah menargetkan tempat itu pada awalnya. Begitu mereka berhasil berbaur dengan orang-orang, bayangan hitam yang sempat mengikuti mereka akhirnya tidak lagi terlihat.
Lucio mengamati sekeliling. Rasanya situasi mulai aman, dengan begitu dia bisa menarik Cleo menjauh dari keramaian dan memasuki sebuah gang lain. Tentu saja Cleo amat tidak tahu tempat ini. Cukup heran mendapati lokasi barunya, Cleo justru terdiam termangu sembari mengamati sekitarnya.
"Lucio, mau ke mana kita? Tempat apa ini?"
Tetapi pria itu tidak menjawab. Dia hanya melangkah ke depan sembari menggenggam kuat jemari Cleo. Bahkan sesekali meremasnya saat merasakan pergerakan lain di sekitarnya.
Sampai kemudian, bibir pria itu berhasil mengucap beberapa kata meski terdengar menjengkelkan. "Bukankah sudah kubilang untuk tidak membuka tudung? Lihat, sekarang kita sudah diketahui. Ini semua salahmu."
Cleo mengernyit. Dia jelas tidak mengerti apapun dari perkataan Lucio. Cleo merasa hal ini bukan disebabkan oleh rambutnya. Seingatnya, sebelum Lucio hadir dan menjadi rekan di pondok obat, sama sekali tidak ada yang mencoba mengganggunya bahkan jika terkadang rambut merahnya terlihat.
Lalu mengapa baru sekarang mereka ingin memburunya?
"Dulu rambutku sudah terlihat oleh orang lain. Namun tidak ada yang mengejarku seperti ini." Manik gadis itu segera menyipit curiga. "Apa jangan-jangan kamu lah yang sedang diburu dan sekarang kamu melibatkan aku juga?" Nyatanya, Cleo mulai panik sendiri mendengar perkataannya sendiri.
Lucio menghela napas lalu berhenti melangkah. Cukup keras dia menghempas tangan Cleo sementara gadis itu melotot tidak terima setelahnya. Cleo ingin memaki namun Lucio jauh lebih cepat mendahuluinya dan bergegas mengatakan sesuatu.
"Mereka hanya diam untuk menunggu waktu yang tepat," kata Lucio sembari membuang napas. Tangannya memijat kening sementara kedua matanya terpejam. Tahu-tahu kepalanya seolah dirajam ribuan batu raksasa, hingga rasa sakitnya berdenyut tiada henti. "Cleo, sekarang kamu sudah berusia 17 tahun, dan itu adalah usia matang untuk seorang gadis. Mereka jelas mengincarmu saat berada di usia tersebut. Namun aku tidak tahu apa yang coba mereka rencanakan."
Cleo terbelalak. "Apa maksudnya? Apa aku hendak diculik lalu dijual ke pria hidung belang di kerajaan ini?" Cleo menggeleng. "Tidak, aku pikir tidak ada orang seperti itu di kerajaan Naserin," sanggahnya, merasa tidak percaya.
"Ada," sambar Lucio cepat. "Mereka selalu ada dan mengawasi. Jadi, sekarang diam dan biarkan aku membawamu ke tempat yang aman."
Lagi-lagi Cleo menyipitkan mata. "Bagaimana aku bisa percaya kalau kamu bukan bagian dari mereka."
Tetapi siapa menduga jika Lucio akan mengeraskan suara dan berakhir meneriaki Cleo, "CLEO!" Gadis ini benar-benar membuatnya jengkel. Sudut bibir Lucio berkedut, hendak meneriakkan satu kalimat makian lagi andai saja dia tidak mendapati raut wajah gadis itu sudah berubah pucat.
Oh tidak, tanpa sadar Lucio telah melakukan kesalahan dan menakutinya. Menghela napas meredam emosi, Lucio akhirnya memilih berkata lebih lembut, "Cleo, jangan pernah ragukan pilihan Mr. Rolleen, sementara itu, aku adalah orang pilihannya. Maka dalam situasi seperti ini, satu-satunya yang dapat kamu andalkan adalah diriku."
Cleo cukup tersentak tatkala tangan Lucio bergerak meraih kedua pipinya lalu mendekatkannya di depan wajah pria itu. Anehnya, detak jantung Cleo justru meningkat tanpa bisa dia prediksi.
Cukup lama, dan mereka hanya saling menatap. Tidak ada suara, hanya ada keheningan yang melanda. Seolah-olah seisi dunia telah berhenti bergerak juga menghilang entah ke mana, dan hanya menyisakan mereka berdua.
Sampai kemudian, suara berat Lucio terdengar membelai kedua indera pendengar Cleo, dan menariknya kembali ke dalam kenyataan. "Cleo, mulai sekarang, kamu hanya perlu percaya padaku, bergantung padaku, katakan semua keluh kesahmu dan aku akan meilindungimu dengan nyawaku."
Rasanya, Cleo tidak bisa berkata-kata. Lidahnya keluh seolah tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi perkataan manis tersebut. Perkataan pria itu terasa menghipnotis. Memaksa masuk ke dalam relung terdalam lalu mendapatkan akses untuk mengendalikan. Licik!
Detik selanjutnya, Cleo seketika mengerjap bingung saat mendengar perkataan Lucio berikutnya, "Kita sudah sampai."
Hah?!
Lucio mendorong tubuh Cleo menjauh. Bersamaan dengan itu, kesadaran Cleo seolah terkumpul kembali dan dia benar-benar terkejut saat menyadari di mana dirinya saat ini.
"Tempat apa ini?" tanyanya.
Lucio melangkah tenang memasuki ruang tengah sembari berkata, "Rumahku."
Cleo terperangah. "Yang benar saja?!"
Jujur saja, gadis itu sama sekali tidak mengerti bahwa mereka telah berada di tempat asing. Anehnya, Cleo bahkan tidak menyadari kapan dirinya melangkah ke sini.
Buru-buru Cleo mendekati Lucio yang sedang menenggak habis satu gelas besar air putih di atas meja. Tidak mengindahkan bagaimana hausnya pria itu, Cleo memilih bertanya, "Bagaimana kita bisa sampai di sini? Bukankah tadi kita sedang berada di sebuah gang?"
Lucio berhenti. Dia melirik Cleo sekilas sebelum kemudian melanjutkan kegiatan minum santainya. Satu menit setelahnya dia baru menjawab, "Benar, sebelumnya kita memang berada di gang. Tetapi saat aku berusaha meyakinkanmu untuk mempercayaiku, aku tidak menyangka para pemburu telah berada di belakang. Saat mereka menembakkan panah, aku tidak punya pilihan selain mendorong tubuhmu ke dinding gang hingga berakhir pingsan. Selebihnya aku berhasil lolos dan membawamu pergi sampai tiba di tempat ini—rumahku."
Kening Cleo jelas berkerut sangat dalam. Semua cerita yang disampaikan Lucio tampak sangat janggal. Jika memang dia berakhir pingsan, lalu mengapa dirinya justru terbangun dalam keadaan berdiri. Bahkan rasanya dia baru saja bertatapan dengan Lucio dan secara tiba-tiba sudah berada di sini. Bukankah itu aneh?
Tetapi kemudian, Cleo justru memilih untuk mengabaikan hal itu. Kejadian ini bisa dia selidiki di hari lain dan tentunya di waktu yang tepat. Selama dia selamat sekarang, semua bisa dia lakukan nanti.
"Kalau begitu bisakah kamu tunjukkan kamar yang dapat aku gunakan untuk beristirahat. Entah mengapa aku merasa sangat lelah, seolah-olah tubuhku baru saja melalui perjalanan panjang."
Lucio pun mengangguk dan melangkah ke sisi barat rumah, sementara di belakangnya ada Cleo yang mengikuti. Mereka baru berhenti saat menemukan kamar yang nyaman untuk Cleo.
Begitu Cleo tertidur dengan raut wajah lelah, diam-diam Lucio menampilkan satu senyum miring yang misterius.
Terakhir, dia menutup pintu kamar lalu beranjak pergi.