"Kalian datang sangat terlambat."
Itu adalah komentar pertama yang dilayangkan Mr. Rolleen begitu melihat dua orang berdiri di hadapannya. Ketika Lucio tampak biasa saja, maka Cleo adalah sebaliknya. Gadis berambut merah itu serta merta menghampiri kakeknya, lalu bergelayut manja di lengannya. Cleo merajuk jika Lucio bukan lah pria yang baik untuknya.
Tatapan Mr. Rolleen segera berpindah ke arah Lucio. Pria itu tidak menampilkan raut apapun selain datar. Tampaknya Lucio sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang dilakukan oleh Cleo.
Manik Mr. Rolleen menyipit ketika dia berkata, "Apa benar yang dikatakan Cleo, kamu meninggalkannya dan turun gunung seorang diri?"
Lucio mengangguk tanpa beban. "Benar," katanya. Dia bahkan tidak terlihat takut saat mengakui kesalahannya. Ya, jika itu memang patut disebut sebagai kesalahan.
Tetapi kemudian, Cleo justru merasa ada yang salah ketika dengan jelas dia mendapati Mr. Rolleen tersenyum menatap Lucio. Ditepuknya pundak pria itu lalu berkata dengan manis, "Lucio, maafkan Cleo, dia hanyalah gadis kecil yang baru saja beranjak remaja. Jangan pikirkan kelakuan gila apa yang telah dia perbuat."
Cleo kontan membuka mulut dengan wajah syok. Kakinya menghentak tanah berumput dengan sebal. Ditariknya lengan Mr. Rolleen hingga pria tua itu sempoyongan menghadap ke arahnya. Sementara Cleo tampak tidak peduli bila kakeknya telah terhuyung. "Apa-apaan ini?! Mr. Rolleen, seharusnya kamu membelaku, bukan dia." Manik Cleo menghunus ke arah Lucio dengan tajam. Telunjuknya terancung tinggi dan dia menambahkan, "pria ini sudah menipu kita dengan penampilannya."
Lucio masih tidak bergeming. Dia dengan jelas mengabaikan perkataan Cleo yang menuduhnya. Lucio tidak akan bereaksi. Toh, apa yang dikatakan gadis berambut merah aneh itu sama sekali tidak benar. Untuk apa dia repot meladeni segala tingkah kekanakannya.
Sudah ditolong, sikapnya malah seperti ini, pikir Lucio.
Pada akhirnya, Mr. Rolleen tidak punya pilihan dan hanya bisa menghela napas. Dia melirik ke arah Cleo, lalu beralih ke arah Lucio detik berikutnya. Dan ketika Cleo tidak menyadari bahwa Mr. Rolleen sedang mengedipkan sebelah mata ke arah Lucio, dengan berat hati, pria muda itu membuang napas berat, memutar bola mata, sampai kemudian menghampiri Cleo yang sedang merajuk.
"Ok, aku minta maaf. Ini kesalahanku," ucapnya datar.
Mr. Rolleen tersenyum, sementara Cleo lagi-lagi melebarkan mata. "Nah, Cleo, Lucio sudah meminta maaf dan sudah seharusnya kamu menjadi gadis baik yang memaafkan orang lain."
Cleo menyipitkan mata ke arah Lucio. "Dia tidak tulus," tudingnya.
Mr. Rolleen sekali lagi menarik napas. "Cleo ...," pria tua itu sudah mulai mengeram jengkel. Cleo ini benar-benar gadis keras kepala yang egois dan ingin menang sendiri. "Dengar Nak, kamu ini sudah punya reputasi yang buruk. Ya, setidaknya jangan berperilaku jelek dengan tidak memaafkan kesalahan orang lain. Lagi pula kamu juga sering melakukan kesalahan."
Cleo masih juga tidak terima dan dia akhirnya berakhir berteriak, "Apa Mr. Rolleen tahu apa yang aku alami tadi?!" Sepasang netra gadis itu mulai berkaca-kaca, dan secara tidak sengaja hal itu telah membuat Mr. Rolleen tampak tidak tega.
"Memang apa yang terjadi denganmu? Bukankan kamu bilang Lucio hanya meninggalkanmu untuk turun gunung?"
Cleo menggeleng. Tangannya sudah mengusap ujung mata mengingat dia benar-benar menangis. Sementara tanpa sepengetahuan Cleo, Lucio di depannya diam-diam meringis.
Huh! Gadis ini sungguh pandai berlakon.
Cleo mulai sesunggukan. Dengan suara bergetar dia menjelaskan, "Ketahuilah Mr. Rolleen, bahwa aku telah diserang oleh serigala. Mereka nyaris saja mengoyak dagingku dan menjadikanku santapan mereka."
Kali ini, giliran Mr. Rolleen yang menahan napas. Wajahnya tiba-tiba berbuah menegang dan tatapannya segera berpindah ke arah Lucio. Sementara Lucio, pria itu dengan segera memasang raut serius.
"Lucio ... mengapa kamu tidak mengatakannya sedari awal." Suara Mr. Rolleen mendadak terdengar dingin dan rendah.
Lucio menunduk. "Aku minta maaf."
Menyaksikan bagaimana Lucio tampak merasa bersalah, Cleo diam-diam tersenyum puas. Sebentar lagi dia akan mendapati Mr. Rolleen memarahi Lucio untuk yang pertama kalinya.
"Ikut aku," Cleo tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya ketika mendapati bagaimana kakeknya menyeret Lucio menjauh. "Aku perlu mendengar penjelasanmu."
Tunggu ... Cleo tiba-tiba melebarkan mata. Ini adalah kali pertama dia mendapati wajah Mr. Rolleen tampak seperti itu. Semarah-marahnya pria tua itu, dia tidak pernah menampilkan raut wajah demikian, apalagi dengan aura gelap seperti sekarang.
Cleo mulai panik sendiri.
Apa dia sudah keterlaluan? Tapi, bukankah dengan begini Lucio akan diusir dari pegunungan Reen dan hidupnya akan damai kembali? Lalu, mengapa sekarang Cleo justru merasa tidak tega.
Apakah karena dia menyadari bahwa Lucio tidak sepenuhnya salah?
Dengan cepat, Cleo berlari mengejar keduanya. Dan begitu maniknya mendapati keberadaan dua sosok itu, Cleo benar-benar dikejutkan saat menyaksikan bagaimana kakeknya yang penyayang telah melayangkan satu tamparan keras di pipi Lucio.
Raut wajah Mr. Rolleen benar-benar tidak biasa.
Manik Celo melebar. Sungguh, Cleo sangat terkejut dengan apa yang tengah dia saksikan tidak jauh di depan matanya. Sampai ketika Mr. Rolleen beranjak keluar dari gudang penyimpanan obat, Cleo segera melompat masuk ke dalam semak dan bersembunyi di sana.
Suasananya akan berubah canggung saat dirinya kedapatan mengintip.
Lututnya masih bergetar. Cleo tidak pernah membayangkan Mr. Rolleen akan menampar Lucio dengan keras. Sebenarnya, apa yang terjadi hingga kakeknya sampai melakukan tindakan semacam itu. Itu jelas bukan kepribadian Mr. Rolleen yang Cleo kenal.
Meski Cleo yang mengadukan hal ini, tetapi Cleo sadar bahwa kesalahan Lucio memang tidak seberat itu. Nyatanya, Cleo sudah sering tinggal di pegunungan hingga sore. Bahkan, dia terkadang tidak pulang semalaman hanya untuk mencari tanaman obat. Faktanya, Cleo berperilaku bagai orang lemah yang takut kegelapan dan ditinggal seorang diri, hanyalah akal-akalan agar dia bisa memberi pelajaran kepada Lucio mengingat betapa kesalnya dia kepada pria itu.
Namun, bukan hal ini yang Cleo harapkan terjadi.
Bukan!
Cleo tidak pernah mengharapkan perubahan kakeknya yang tiba-tiba memukul orang lain. Itu sangat tidak biasa.
Dan ketika Celo sedang berjibaku dengan segala macam pemikiran, sebuah suara sudah lebih dulu mengagetkannya. Gadis itu seketika terhuyung ke belakang. Bokong dan punggungnya mendarat tepat di atas tanah berumput. Sakit, tetapi Cleo masih bisa menahannya.
"Sampai kapan kamu akan bersembunyi di sana? Kamu pikir aku tidak tahu."
Itu suara Lucio. Namun, Cleo tiba-tiba merasa tidak enak untuk menampakkan wajah di depan pria itu. Entah mengapa, namun Cleo merasa malu. Mungkin karena dia sudah bertindak kelewatan dan membuat pria itu mendapat pukulan.
Cleo masih juga tidak keluar dari persembunyiannya. Sampai akhirnya, sebuah tangan besar yang kekar telah terulur dan merah lengannya. Tubuh gadis itu ditarik keluar dari dalam semak dengan kuat. Dalam sekali tarikan tersebut, tubuh Cleo berhasil terlihat sepenuhnya.
Wajah Cleo kontan memerah, sementara maniknya melebar detik itu juga.
Tetapi berikutnya, Cleo jutsru memejamkan mata sembari menyatukan kedua telapak tangan. Dia berlagak memohon dengan wajah memelas.
"Lucio, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu sampai dipukul Kakek. Aku—"
"Aku mengerti," potong Lucio cepat. Cleo mendongak lalu mengamati pria itu. Tidak ada mimik wajah berarti yang ditunjukkan olehnya. Hanya ada tatapan datar, tetapi entah mengapa, Cleo jutsru merasa jika Lucio sedang tersenyum.
Lucio menambahkan, "Hanya saja, jangan bermain di semak-semak." Pria itu menunjuk ke arah bahu Cleo. "Ulat-ulat bulu menempel di bajumu."
Sejurus kemudian, Cleo sudah melompat ke pelukan Lucio sembari berteriak keras.