Chereads / Red Girl and White Wolf / Chapter 7 - Prioritas Utama

Chapter 7 - Prioritas Utama

Brak!

Cleo membanting pintu kamarnya dengan keras. Sementara kini, dia bersandar di daun pintu sembari memegangi dada. Jantungnya seolah berdentum menggila dan Cleo sadar dia tidak bisa mengendalikannya dengan baik.

Oh Tuhan, apa yang baru saja dia lakukan kepada Lucio?

Cleo meringis begitu teringat reka adegan beberapa saat lalu. Cleo tidak pernah menyangka jika dirinya akan spontan melompat ke dalam gendongan Lucio hanya karena seekor ulat bulu. Faktanya, gadis itu tidak pernah merasa takut dengan hewan kecil tersebut. Namun entah mengapa, ketika Lucio berkata ulat itu berada tepat di bahunya, Cleo merasa hewan itu berubah menjadi jauh lebih mengerikan.

Mungkin, jantungnya tidak akan berdentum seberlebihan ini apabila Cleo tidak memeluk leher Lucio dengan erat. Dia bahkan tidak sengaja mencium pipi pria itu saat berbalik.

"Bodoh!"

Cleo memaki diri sendiri dengan raut meringis. Dia baru saja mengetuk kepala dengan kepalan tangan. Padahal gadis itu berniat untuk menunjukkan permusuhan kepada Lucio, sampai pria itu benar-benar meninggalkan pegunungan Reen dan tidak akan pernah kembali.

Tok!

Jantung Cleo kembali menggila. Dari arah luar kamar, dia bisa mendengar dengan jelas seseorang telah mengetuk pintu kamarnya. Bahkan Cleo bisa merasakan getarannya, mengingat posisinya sekarang sedang bersandar.

"Mr. Rolleen, kamu kah itu?" Pelan-pelan gadis itu bertanya.

Kontan Cleo meringis begitu mendengar suara di balik pintu justru terdengar tidak seperti yang dia harapkan.

"Ini aku, Lucio."

Kedua manik Cleo seketika terbelalak, sementara raut wajahnya pias bukan main. Gadis itu tidak pernah mengerti mengapa dirinya harus bertingkah seperti ini. Semestinya, dirinya lah yang harusnya membuat Lucio terkejut saat melihatnya. Namun apa yang dia harapkan sama sekali tidak sesuai ekspektasinya.

"Buka pintumu, ada yang perlu aku katakan," suara Lucio terdengar mendesak. Gedoran di pintu pun kian menjadi. Bahkan getarannya semakin keras dan terasa.

Kening Cleo mengernyit. "Mengapa aku harus membukanya untukmu? Kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja sekarang. Tidak perlu membuka pintu." Cleo kesal. Dia tidak pernah berpikir Lucio sudah berani memaksanya seperti sekarang. Belum lagi kejadian memalukan beberapa waktu lalu sama sekali belum kering di pikirannya. Masih terlalu basah, sehingga dia dapat mengingatnya dengan jelas seolah itu baru saja terjadi beberapa detik lalu.

Lucio berdecak. "Ini penting!" Kali ini Cleo sudah menghadap sepenuhnya ke arah pintu. Wajahnya masih menunjukkan kebingungan. Pasalnya, tidak biasanya Lucio akan mendesaknya.

Jangan katakan jika pria itu hanya mencoba bermain-main dengannya.

Dengan raut sebal, Cleo menghentak daun pintu dan mendorongnya hingga terbuka.

"Apa—"

Tetapi, bahkan sebelum dia meneruskan kalimat makiannya kepada Lucio, tangannya sudah ditarik lebih dulu. Terlalu keras hingga Cleo tidak dapat mempertahankan diri hingga berakhir tersungkur. Sekali lagi, Cleo sungguh ingin memaki kelakuan Lucio yang menariknya tanpa belas kasih.

Cepat-cepat Lucio menarik bahu gadis itu dan membantunya berdiri.

"Kamu ini kenapa sih?" Cleo tidak pikir panjang untuk menghempas cengkraman Lucio dengan keras, tetapi genggaman tangan pria itu jauh lebih kuat. "Kamu akan membawaku ke mana?" desaknya.

Lucio bungkam, enggan menjawab. Hanya saja, langkahnya terlalu cepat untuk Cleo imbangi sementara gadis itu tak lebih bagai hewan peliharaan yang sedang diseret.

Manik Cleo bergulir cepat saat menyadari bahwa mereka baru saja melewati pintu belakang pondok.

Bibirnya tidak tahan untuk berkomentar, "Hei, bukankah kamu ingin mengatakan sesuatu yang penting? Lalu untuk apa kita harus keluar pondok seperti ini?" Kendati Cleo masih diliputi perasaan kesal namun dia cukup penasaran dengan apa yang akan Lucio sampaikan.

Sampai kemudian, langkah mereka tiba-tiba berhenti. Angin berhembus cukup kencang hingga baju terusan yang Cleo kenakan terangkat cukup tinggi. Namun bukan itu masalahnya, langit yang semula terang bersinar oleh bulan, berubah gelap mencekam. Pohon-pohon seolah hidup. Mereka tampak bergerak, menjatuhkan ranting dan dedaunan.

Tidak cukup sampai di sana, suara desisan aneh juga terdengar di kejauhan. Belum lagi, hawa pekat yang menakutkan perlahan-lahan menyambangi tempat itu.

Dan ....

Roarr!!! Auuu!!

Cleo seketika terhenyak ketika mendengar suara auman keras itu berasal dari arah pondok utama. Tidak, atau mungkin lebih tepatnya suara itu berasal dari halaman depan.

"Kakek!!" Cleo spontan berlari kembali ke arah pondok. Namun bahkan sebelum gadis mengambil langkah ketiganya, Lucio sudah menarik dan membawanya menjauh. "Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku?!" Cleo berontak sekuat tenaga. Tetapi masih saja, kekuatan gadis itu tidak dapat menandingi Lucio.

"Lepaskan aku!" Sekali lagi, Cleo berteriak sembari menghujani bahu Lucio yang sedang memanggulnya bagai karung beras dengan pukulan-pukulan. "Aku harus kembali dan melihat apa yang terjadi di pondok!"

"Tidak!!"

Meski sempat tertegun mendengar bentakan Lucio, namun Cleo jelas tidak akan mundur. Mendadak ingatannya kembali saat peristiwa munculnya si serigala hitam dan putih. Hewan itu jelas ingin memakannya. Mungkinkah kumpulan mereka datang ke pondok dan hendak mencelakai Mr. Rolleen? pikir Cleo.

Tidak! Dia harus kembali dan ikut membawa pergi kakeknya.

"Lucio, apa kamu dengar suara barusan? Itu jelas-jelas milik para serigala." Cleo memilih berhenti berontak dan mencoba membujuk Lucio. "Hei, kita seharusnya kembali untuk menyelamatkan Mr. Rolleen, atau mungkin membantunya melawan mereka."

"Itu bukan serigala," Lucio tiba-tiba berkata dengan tenang. Kening Cleo kembali bertaut. Ada perpaduan kebingungan dan kesal di sana.

"Bagaimana bisa kamu mengatakan jika itu bukan serigala." Cleo mendengkus. Lucio sangat menyebalkan. "Ah, benar, kamu tidak ada saat serigala itu menyerangku, itulah sebabnya kamu tidak tahu."

"Cleo, jangan membuat semuanya rumit. Dengar, ini adalah perintah Mr. Rolleen, jadi turuti saja."

Cleo sungguh tidak habis pikir. "Perintah?" Gadis itu mengulang dengan nada meremehkan, "apa kamu pikir aku akan meninggalkan Mr. Rolleen hanya untuk melarikan diri?" Cleo berteriak, "aku bukan pengecut seperti dirimu!"

Brak!!

"Aw!" Cleo mengusap bokong sembari meringis. Dengan sengit dia mengarahkan sorot matanya yang tajam ke arah Lucio. Pria itu berdiri menjulang di depannya. "Apa kamu baru saja membantingku?" Cleo sungguh tidak habis pikir, pria ini benar-benar menjengkelkan. Bagaimana bisa Lucio membiarkannya terjatuh. Lagi, dan ini sudah yang ketiga kalinya.

Lucio jelas sengaja melakukannya.

"Diam jika kamu tidak ingin mati," suara Lucio tiba-tiba mendingin. Dalam kegelapan yang remang pria itu justru tampak menakutkan. Entah mengapa sorot matanya saat membalas tatapan Cleo terlihat ganas dan mengerikan. Cleo bahkan tanpa sadar mulai berangsur mundur dan menjauh. Sampai akhirnya Lucio menarik napas dan pria itu berjongkok. Ditatapnya Cleo dengan wajah sedikit melunak.

"Cleo, dengarkan aku baik-baik. Jangan tinggalkan tempat ini apapun yang terjadi. Tunggu aku kembali dan membawa Mr. Rolleen bersamaku. Aku janji."

Cleo baru saja menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam gua. Cahaya bulan sudah tampak bersinar dan beberapa pantulannya memasuki pinggiran gua. Cleo bisa melihat wajah Lucio tampak serius. Dan ketika Cleo menatap ke arah luar, dia menyadari ada yang salah dengan mulut goa ini. Ada bias cahaya yang aneh di sana. Penampakannya bening tetapi bergelombang umpama air.

"Tempat apa ini? Mengapa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?"

Lucio mendengkus. Gadis ini sama sekali tidak mendengarkannya. "Jangan bertanya, tetapi lakukan saja apa yang aku katakan kepadamu, paham! Ini demi keselamatan kita semua."

Melihat perubahan raut wajah Lucio, mau tidak mau, Cleo mengangguk dengan pasrah.

Namun tanpa diduga, pria dingin dan kasar itu justru bergerak mengusap kepala Cleo dengan lembut. "Bagus," katanya. Lucio beralih menatap mulut gua dengan sorot misterius. "Ingat, jangan sampai kamu melewati perisai itu."

Cleo mengernyit. "Perisai? Apa itu?"

Alih-alih menjawab, Lucio justru bangkit dan beranjak pergi. Ketika Cleo hendak menyusulnya, pria itu segera berbalik dan mengancam gadis itu dengan sorot matanya yang tajam.

Cleo terdiam kaku. "Ok, pergilah. Aku akan menunggumu." Gadis itu tiba-tiba mendunduk saat melanjutkan dengan suara pelan, "tolong, bawa kakekku."

Lucio terdiam sebentar, lalu kemudian dia mengangguk. "Tenang saja, sebab Mr. Rolleen bukan sosok yang patut dikhawatirkan." Pria itu beranjak pergi sembari meninggalkan kalimat terakhir yang membuat Cleo benar-benar tidak berkutik.

"Prioritas utama kami adalah kamu."