Chereads / Cinta Sabrina / Chapter 9 - Bab 9-Fitnah

Chapter 9 - Bab 9-Fitnah

"Bagaimana, Yah. Tersangkanya sudah di temukan?" potong Cantika

"Belum, Dek. Polisi baru akan menjelaskan kronologinya. Maka dari itu Ayah serta Pak Prasetiyo d minta untuk datang ke kantor Polisi," tegas Bramantio. Ia mengusap rambut ikal Cantika guna menguatkan putrinya itu.

"Oh iya, nanti kita bersama-sama ke kantor polisi, menggunakan mobil Saya aja ya, Pak!" ajak Prasetiyo pada Bramantio.

"Oh iya, kebetulan saya juga kesini bareng Sabrina. Dia nanti lanjut ke kantor," jelas Bramantio.

Sabrina menghampiri Cantika, serta mencoba memberi support padanya. tangannya memegang tangan Cantika seraya berkata "Sabar ya, Dek. semoga kondisi suamimu segera membaik ya," ucap Sabrina, ia kemudian memeluk Cantika dari arah samping.

"Sudahlah enggak usah so prihatin!" seru Cantika seraya menghempaskan tubuhnya dari pelukan Sabrina.

Sepertinya sikap Cantika memang semakin sinis pada Sabrina.

Sabrina bergegas pamitan, perlahan ia mulai melangkahkan kakinya, berjalan meninggalkan ruangan ICU tempat Reyno di rawat.

"Kenapa sikap Cantika tidak berubah padaku, semakin hari malah semakin memburuk," gumam Sabrina, kakinya terus melangkah meninggalkan rumah sakit dan memasuki mobilnya merahnya. Hari ini Sabrina harus segera ke kantor karena ada janji meeting bersama client.

Sesampainya di kantor, Sabrina tak melihat wajah Santi yang biasanya berseliweran depan ruangannya. Ia pun bertanya kepada salah satu teman prianya.

"Kayanya dari kemarin enggak ngeliat, Santi," ujar Sabrina penuh heran

"Loh! memangnya kamu enggak tahu, Santi kan nyusul suaminya ke jerman," sahut teman kantor Sabrina.

"Oh gitu! Kok gak pamitan dulu ya sama kita, perpisahan dulu ke," ucap Sabrina yang seketika terkaget.

"Ya udah lah. Mungkin emergency,"" sambung teman Sabrina, sambil mengangkat bahu dan tangannya ke atas.

Sabrina mencoba menelpon Santi, hanya sekedar ingin menanyakan kabar. Akan tetapi, nomor ponsel Santi sama sekali tidak terhubung.

"Oh iya, Santi kan di luar negri. Sepertinya dia udah ganti nomor deh," desis Sabrina, kemudian dia melanjutkan kerjaannya.

Hari ini Sabrina lumayan sibuk, harus menyiapkan berkas-berkas untuk meeting, kemudian meeting bersama clientnya.

Sementara di rumah sakit, waktu menunjukan pukul 14.00 wib. Bramantio masuk ke dalam mobil Prasetiyo untuk pergi ke kantor Polisi. Mereka berdua akan melihat hasil olah TKP yang telah di lakukan tim Kepolisian.

Seketika Prasetiyo angsung tancap gas menuju kantor polisi. Di tengah perjalanan gawai Bramantio berdering, terlihat di layar ponsel nya tertulis 'my son' rupanya itu telpon dari Sabrina. Tanpa tunggu lama, Bramantio menggeser tombol hijau di papan layarnya.

"Assalamualaikum, Rin," sapa Bramantio

"Waalaikum salam, Yah. Ayah sekarang dimana? Sore nanti mau aku jemput dimana, yah?" tanya Sabrina

"Enggak usah, Rin. Ayah di antar Pak Prasetiyo, soalnya ayah harus ke kantor polisi, nanti Ayah laniut ke rumah sakit lagi," jawab Bramantio. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat murung. Entah kenapa, mendengar suara Sabrina anaknya tiba-tiba hatinya resah

"Oh iya udah. Nanti kabarin aku, kalo Ayah mau di jemput ya," sahut Sabrina dengan santai.

"Iya, Rin. Udah dulu ya. Sallamualaikum," tutup Bramantio.

" Waalaikumsalam," balas Sabrina.

Sabrina melanjutkan kerjaan kantornya, usai menelpon ayahhnya.

Di perjalanan, ayah reyno sedikit heran melihat Bramantio yang kelihatannya gelisah, seperti banyak pikiran.

"Kenapa, Pak. Kok gelisah begitu?" tanya Prasetiyo tangannya yang memegang setir mobil, dan tatapannya tetap fokus pada jalan raya.

"Tidak apa-apa, Pak. Enggak tahu ini agak gelisah. Sepertinya karena kurang tidur dari kemarin," jawab Bramantio dengan nada datar.

"Iya, Pak. melihat kondisi Reyno sekarang, pikiran kita kemana-mana," sahut Prasetiyo sambil terus fokus mengemudikan mobilnya.

30 menit kemudian, mereka berdua sampai di Kantor Polisi. Tanpa pikir panjang, mereka segera memasuki ruangan Kantor Polisi. Di dalam, polisi menjelaskan semua kronologi kecelakaan Reyno pada Bramantio dan Prasetiyo, polisi menyodorkan nomor mobil yang terlihat di CCTV plat mobil pelaku tabrak lari.

Mereka segera mengambil selembar kertas itu dari polisi, Lembar kertas berisi plat mobil pelaku. Bramantio tercengang, bola matanya berulang-ulang memperhatikan plat mobil tersebut.

"Ini, Kenapa ini mirip nomor mobil Sabrina," lirih Bramantio kaget.

"Mohon maaf, Pak. Tolong di cek ulang cctvnya. Ini nomor mobil anak saya. Tidak mungkin, Pak!" sambungnya kepada Polisi

"Ini sudah benar,Pak. Silahkan Bapak cek cctvnya." Polisi menyodorkan laptopnya kepada Bramantio dan Prasetiyo.

Mereka berdua melihat dengan jelas kejadian yang terekam di cctv. Mobil merah kesayangan Sabrina yang telah menabrak motor Reyno hingga terpental begitu jauh, lalu meninggalkannnya pergi begitu saja.

Bramantio tercengang, ia kemudian memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

"Ayah tidak percaya ini, Nak. Kamu tidak mungkin melalukan ini, Nak," lirih Bramantio. tangannya tidak terlepas dari dadanya. Seperti menahan nafas yang begitu sesak. Bola mata Lelaki paruh baya itu, sampai meneteskan air matanya. Seolah tidak percaya pada kenyataan, jika mobil Sabrina pelakunya.

Prasetiyo tak bisa menahan emosinya, dan meluapkannya di hadapan Bramantio.

"Saya tidak menyangka, Pak! Sabrina yang terlihat lugu, begitu tega melakukan ini," seru Prasetiyo dengan nada tinggi.

"Tidak, Pak! Saya kenal betul anak saya, dia tidak mungkin melakukan ini," sanggah Bramantio.

"Tapi buktinya sudah ada, Pak! Bapak jangan menutup mata, demi membela putri kesayangan, Bapak!" tegas Prasetiyo yang sontak berdiri tegang

"Tidak, Pak! Tidak mungkin." Bramantio kembali menyanggahnya, tangan lelaki bertubuh tinggi itu tak lepas dari dadanya, seolah merasakan sakit yang cukup berat.

"Cukup, Pak Bramantio! Pak Polisi tolong segera bereskan kasus ini!" tegas Prasetiyo pada Bramantio, kemudian membeliak ke arah Polisi untuk menegaskan.

"Baik, Pak. Malam ini kami segera melakukan penangkapan terhadap pemilik mobil merah itu," balas Polisi pada Prasetiyo.

Prasetiyo bergegas pergi meninggalkan Bramantio yang terlihat kesakitan di Kantor Polisi.

"Ini tidak mungkin, pak. Saya sangat mengenal anak saya." Sekali lagi Bramantio mencoba menegaskan, tetapi sia-sia. Ia lekas keluar kantor Polisi, berjalan sedikit ke luar menjauhi ruangan Polisi.

Bramantio merogoh ponsel yang berada dalam kantong jasnya, kemudian menekan aplikasi berwarna hijau guna mengirimkan pesan pada putrinya.

[Rin! Temui Ayah sekarang juga di Taman Suropati, penting!] Pesan Bramantio pada Sabrina.

Seketika Sabrina membuka pesan dari Ayahnya dan mencoba menelpon tetapi tak terhubung. Ia yang baru saja sampai di rumah, tanpa pikir panjang lekas bergegas menuju taman sesuai pesan yang di sampaikan Ayahnya.

Sepanjang perjalanan pikiran Sabrina berkecamuk. Semakin gelisah, mengingat pesan dari Ayahnya yang begitu singkat tetapi memberi banyak pertanyaan. Terlebih posel Ayahnya sudah tak bisa di hubungi. Rasa kuatir tak bisa di bendung oleh wanita berambut lurus ini.

Sementara setibanya Prasetiyo di rumah sakit, Mesya dan Cantika menyambutnya dengan mencerca beberapa pertanyaan.

"Gimana, Yah! Sudah ketemu pelakunya?" tanya Cantika dengan sedu.