Chereads / Cinta Sabrina / Chapter 12 - Bab 12-Sidang Keputusan Sabrina

Chapter 12 - Bab 12-Sidang Keputusan Sabrina

Siang ini, Bramantio hendak menemui Sabrina di kantor Polisi. Ia yang masih tak percaya dengan kenyataan, mencoba menggali kebenaran yang sesungguhnya.

Setibanya di Kantor Polisi, Sabrina menyambut Ayahnya dengan senyuman haru yang melintas di bibirnya.

"Makasi, Ayah. Udah mau datang dan memenuhi permintaanku." Sabrina memeluk erat Ayahnya, seakan tak mau melepaskan kehangatan dan kasih sayang yang sangat ia rindukan.

"Ayah akan bantu jika memang Ayah mampu, Nak." Bramantio mengusap kepala Sabrina penuh dengan kasih sayang yang memang selayaknya sebagai orang tua.

"Begini, Yah. pada saat kejadian kecelakaan, Reyno. Aku sedang makan siang sendirian di caffe yang tak jauh dari kantor. Sementara mobilku, di pakai Santi untuk makan siang bertemu dengan temannya. Aku juga tidak tahu siapa yang melakukan tabrak lari itu. Yang pasti, ayah bisa tolong cari rekaman cctv di caffe itu pada waktu kejadian kecelakaan, Reyno. Karena memang sebenarnya aku berada di caffe dan selanjutnya balik lagi ke kantor. Kemudian aku mengemudikan mobil pada pukul 17.30 sepulang dari kantor," jelas Sabrina pada Ayahnya penuh antusias jika Bramantio bisa mencari bukti bahwa Sabrina tidak bersalah.

"Baik, Nak. Ayah akan kumpulkan bukti itu. Semoga kamu dapat terbebas dari tuduhan ini ya, Nak," harap Bramantio dengan optimis.

"Oh iya, Yah. Tolong Ayah juga datangi rumah Santi agar keluarganya memberitahuan tentang kejadian ini. Santi adalah saksi kuncinya, Yah. Aku yakin Santi mengetahui sesuatu tentang kasus ini," saran Sabrina pada Bramantio.

"Iya, Nak. Ayah akan bantu semaksimal mungkin. Ayah pergi dulu ya, Ayah akan segera cari bukti dari sekarang. Kamu yang sabar ya ,Nak. Baik-baik di sini, berdo'a selalu sama Tuhan. Nanti ayah akan kembali lagi," lirih Bramantio seraya menganggukan kepalanya.

Bramantio dengan optimis akan mencari kebenaran untuk Anaknya. Sabrina adalah satu-satu harta yang paling berharga buat Bramantio.

Sudah banyak penderitaan yang telah Sabrina lewati. Mulai dari di besarkan tanpa kasih sayang dari seorang ibu, kemudian hidup bersama ibu tiri yang sering kali berbuat tak adil kepadanya. Meskipun Mesya ibu tiri yang cukup baik, akan tetapi ia lebih menyayangi dan mengasihi putri kandungnya yakni Cantika.

Bahkan kali ini, Sabrina harus terjerembap dan terperosok kedalam lubang lara yang begitu dalam, di tuduh telah berbuat keji. Bahkan Cantika pun ikut andil mencari saksi yang dapat memberatkan Sabrina.

Cantika tak sengaja mendengar percakapan Bramantio dan Mesya di Rumah sakit. Ya, sebelum melancarakan aksinya, Bramantio terlebih dahulu melihat konidsi, Reyno. Untuk kemudian bertemu istrinya, Mesya.

"Bu, Sabrina tidak bersalah. Hari ini pula Ayah akan mengumpulkan buktinya. Do'akan Ayah Bu, agar kasus ini cepat selesai," lirih Bramantio pada Mesya penuh semangat.

'Jadi Kakak meminta bantuan Ayah. Lihat saja, Aku akan mencari saksi yang akan memberatkan lo, Kak.' Gumam Cantika di dalam hatinya, ia pun bergegas pergi melancarkan aksinya.

Cantika yang sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Rumah Sakit, di susul dengan Bramantio yang akan pergi ke caffe tempat Sabrina makan siang, di laniutkan menemui Santi di kediamannya.

Bramantio telah tiba di caffe. Akan tetapi, hasilnya nihil. Di saat Sabrina makan siang di tempat itu, posisinya caffe sedang ada gangguan, listrik mati. Alhasil, cctv tidak dapat merekam keberadaan Sabrina waktu itu.

Satu-satunya harapan Bramantio adalah, Santi. Saksi kunci jika dia lah yang mengendarai mobil Sabrina pada hari dan waktu kecelakaan Reyno.

"Assalamualaikum!" Bramantio mengetuk salah satu pintu rumah yang ada di komplek perumahan elit di Jakarta Pusat. Alamat rumah ini di berikan oleh Sabrina sewaktu di Kantor Polisi.

"Waalaikumsalam! Cari siapa, Pak?" jawab penghuni rumah yang seketika membuka pintu dan keluar menghampiri Bramantio

"Apa benar ini dengan rumahnya Santi Lestari?" tanya Bramantio pada wanita tengah baya yang membukakan pintu untuknya.

"Oh maaf, Pak. Saya kurang tahu. Saya baru pindahan ke sini, jadi kurang tahu siapa pemilik rumah ini sebelumnya." Mendengar jawaban wanita itu seketika Bramantio tertunduk lesu. Entah harus kemana ia mencari Santi, teman Sabrina yang sama sekali tak ia kenali.

Nihil, Bramantio pulang dalam keadaan lesu bagai tak bertenaga. Sesaat ia meminggirkan mobilnya hanya sekedar untuk berpikir, jalan apa yang harus di tempuh untuk keadilan Sabrina. Bramantio yang telah merawat Sabrina dari bayi, tahu betul watak dan tabi'at anaknya. Ia begitu yakin jika Sabrina tidak bersalah. Akan tetapi, bukti yang telah ia cari tak lantas di temukan.

Cantika yang ambisius tengah duduk di samping suaminya, Reyno. Ya, hari ini Reyno sudah di pindahkan ke ruang rawat inap VVIV. Akan tetapi, Reyno belum dapat berbicara dan dan menggerakan kakinya. Sesekali Reyno meneteskan bulir bening dari bola matanya, ia tidak menyangka dengan kondisi yang sekarang yakni lumpuh.

"Sabar ya, Yang. Aku akan pastikan pelaku tabrak larinya mendekam di dalam sel jeruji besi," lirih Cantika pada suaminya, Reyno.

"Kamu tenang aja, Yang. Aku akan merawat kamu sampai sembuh, kalo perlu kita ke luar negri untuk therapi," tambah Cantika.

Setelah minggu lalu sidang pertama usai di lakulan. Hari ini adalah sidang keputusan untuk Sabrina. Semua orang bersiap-siap untuk mendengarkan sidang keputusan dari Hakim.

Cantika yang hari ini telah siap-siap menyaksikan Sabrina duduk di kursi kesakitan hendak mengajak ibunya, Mesya. Untuk turut serta hadir ke persidangan.

Sebelum berangkat, Cantika mencoba merogoh gawai miliknya di dalam tas hendak menelpon seseorang.

"Jangan lupa setelah kamu bersaksi, kamu pergi dari jakarta," desis Cantika pada salah satu saksi mata saat kecelakaan Reyno. Kemudian seketika ia menutup telpon dan berjalan memasuki mobilnya.

Hari ini pula Sabrina yang telah memakai pakaian hitam putih, ia berjalan memasuki ruang persidangan dengan pengawalan ketat. Di sana sudah terlihat seluruh anggota keluarga dari pihak Reyno, maupun keluarga Sabrina. Ia berjalan dengan tertunduk lesu, ia sudah pasrah dengan segala keputusan yang akan Hakim berikan. Segala upaya telah di lakukan Bramantio, Ayahnya. Akan tetapi hasilnya nihil.

'Tega sekali santi membuatku harus duduk di kursi kesakitan, kamu pergi begitu saja menoreh masalah yang terpaksa harus ku hadapi. Tanpa belas kasihan, tanpa hati nurani kamu lenyap tanpa meninggalkan jejak.' batin Sabrina seraya duduk di atas kursi hitam yang empuk tetapi begitu menyakitkan.

"Sidang kami buka." Hakim membuka persidangan. Rasanya bagaikan raungan singa yang hendak menerkam mangsanya.

Selanjunya, jaksa penuntut umum beserta semua saksi-saksi yang entah dari mana datangnya, mengutarakan kesaksiannya di atas sumpah. Sabrina hanya bisa pasrah dengan segala keterbatasannya.

Berdasarkan Pasal 229 ayat (4), Hakim memutuskan bahwa Sabrina Anastasya Bramantio dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Kemudian Hakim mengetuk palu kebesarannya guna mengesahkan keputusan.

Bagai disambar kilat, hati Sabrina remuk setelah mendengarkan penuturan Hakim. Sekekita air mata yang sudah tak terbendung telah menganak sungai di pipi bening Sabrina.

Vonis 5 tahun penjara begitu dahsyat meremukkan hatinya sehingga tak mampu untuk menahan luka yang begitu pedih. Seketika tubuh Sabrina luruh di atas lantai kemudian ia tak sadarkan diri.

Para petugas Kepolisian menganggkat tubuh gadis bernasib malang itu untuk kemudian di bawa ke ruang kesehatan.