Justin harus meringis-ringis ketika ia merasakan perih di sekitar pelipis serta sudut bibirnya, akibat tinjuan bertubi yang tiba-tiba Matteo layangkan padanya.
Sedangkan Matteo sendiri, ia sudah benar-benar merasa puas dengan tindakannya barusan. Tujuannya datang ke rumah Justin hanya ingin memberinya pelajaran, karena sudah menyia-nyiakan Mary.
"Itu pelajaran yang pantas kau dapatkan karena sudah melepaskan Mary, Justin," ucap Matteo dengan menggebu-gebu.
Justin yang mendengar itupun mendengus keras. "Dari dulu kau suka sekali bermain licik ya?!" sindirnya.
"Sangat menyebalkan, bagaimana mungkin Mary bisa menyukai pria bodoh seperti dirimu."
Matteo tidak berhenti disana, ia terus mengolok Justin yang sudah menyia-nyiakan kesempatan yang telah ia berikan. Ya, ia melepaskan Mary berharap jika wanita itu bisa memiliki hubungan yang lebih serius dengan Justin, karena notabenenya mereka juga sama-sama menyukai satu sama lain. Tapi pada akhirnya Justin malah memilih Yuri.
Justin yang mendapatkan kritikan tentang masalah yang ia hadapi pun mengernyit bingung. "Darimana kau tah--"
"Kau pikir aku bodoh sepertimu, hah?" potong Matteo cepat. "Aku merelakan egoku karena ini, dan lihatlah jalan yang malah kau tempuh akhirnya."
"Sejak kapan?" tanya Justin berubah serius.
"Sejak kapan apanya? Kalau kau itu bodoh? Bukannya dari dulu kau memang bodoh ya? Bagaimana mungkin menyia-nyiakan wanita seperti Mary!" ungkap Matteo jujur.
Justin yang terus-terusan mendapatkan olokan dari Matteo pun mengepalkan tangannya kuat. Jangan sampai kesabarannya habis karena pria gila itu. Pasalnya sudah daritadi Justin menahan amarahnya, karena kelakuan Matteo yang seenaknya.
"Ini semua gara-gara kau! Coba saja waktu di rumah sakit itu, kau tidak menyatakan perasaanmu pada Mary. Mungkin semua tidak akan begini!" Justin menyalahkan Matteo saat kejadian di rumah sakit beberapa tahun yang lalu.
"Kupikir, keputusanmu memilih menikah dengan Yuri adalah benar. Aku lega, Mary akhirnya tidak bersama dengan pria egois sepertimu!"
Justin meraih kerah baju Matteo, pada akhirnya kesabarannya sudah habis. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi, karena makin kesini dia makin tidak bisa mengendalikan ucapannya. "Apa maksudmu?!"
Matteo menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. "Kau egois," katanya sembari menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya pada dada pria itu.
Justin menggertakkan giginya dan langsung melayangkan tinjuan tangannya pada Matteo, namun pria itu berhasil menangkisnya dan justru kini Matteo lah yang berhasil menambah koleksi tinjuannya pada Justin hari ini. Akhirnya, untuk kedua kalinya pria itu jatuh tersungkur ke atas dinginnya lantai.
Liam yang berdiri tak jauh dari sana langsung berdiri menengahi dan memelototi Matteo yang beraninya melukai bosnya. "Hei, hei. Jangan bermain kasar bung!"
"Jangan hentikan aku, dia pantas mendapatkannya!" Matteo meminta Liam untuk tidak ikut campur dengan urusan mereka berdua. Namun tentu saja Liam tidak akan membiarkan bosnya itu semakin babak belur karena ulah Matteo yang dikuasai amarah.
Sementara itu, Justin yang sudah diamankan Liam nampak menyapu sudut bibirnya yang mengeluarkan berdarah, bau anyir dari darahnya itu sendiri tercium jelas dari indra penciumnya. Justin mengumpat.
"Meskipun aku egois, setidaknya kau tidak mampu mendapatkan hatinya kan?" ucap Justin meremehkan Matteo.
Dan Matteo berniat akan melayangkan tinjuannya lagi ke arah Justin, namun Liam sudah menahannya lebih dulu.
"Hentikan! Jangan bermain kasar, kau bisa membicarakan semuanya dengan baik-baik dan juga dengan kepala dingin!" sela Liam memberi masukkan.
"Aku bersumpah, Justin. Aku akan mencari keberadaan Mary lagi dan kau akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan waktu itu!" Lalu ia berlalu pergi dari sana setelah memberikan ultimatum peringatan pada Justin.
Sepeninggal Matteo, Justin bangkit dengan dibantu Liam.
"Aku akan mengambilkan obat merah untuk anda, Tuan," ucap Liam berniat akan mengobatinya, namun Justin menolaknya.
"Aku baik-baik saja, Liam! Lebih baik, sekarang kau melanjutkan pekerjaanmu."
Liam mengernyitkan dahinya. "Pekerjaan? Apakah ada pekerjaan baru untuk saya?" tanyanya.
"Kemarin kau bertemu Mary, kan? Bawa dia padaku."
"Ya, tapi Nona Yuri--"
"Kumohon Liam, bawa Mary kembali padaku sebelum Matteo menemukannya lebih dulu!"
Liam tidak punya pilihan, ia pun hanya menghela nafas dan mengikuti arahan dari bosnya itu. "Oke."
"Dan satu lagi," sela Justin cepat. "Jangan sampai Yuri tahu mengenai masalah ini," tambahnya.
Liam mengangguk. "Baik, Tuan."
****
"Kau kemana saja, huh? Sejak kemarin tidak bisa dihubungi, kucari ke seluruh penjuru kampus juga tidak ada," tanya Mary pada Noe yang akhirnya bisa ia temui itu.
Noe menyengir. "Maaf, kemarin aku tidak masuk kuliah karena ada acara keluarga."
"Begitukah? Mengapa kau tidak bilang sih?"
"Ya soalnya aku lupa."
Mary berdecak. "Bisa-bisanya kau lupa dengan sahabat sendiri," ucapnya sambil memanyunkan bibirnya, Noe pun langsung merangkul pundak Mary menghiburnya.
"Begini saja, karena kemarin aku sudah melupakanmu. Sekarang aku akan menebus kesalahanku, aku akan mentraktirmu makan di luar nanti. Bagaimana?"
Mata Mary membulat antusias. "Serius?"
"Hmm! Duarius."
Mary bertepuk tangan. "Oke, deal ya?"
"Ck, iya!"
Mary bersorak gembira, lalu kedua wanita itupun pergi menuju kelas bersama. Namun tanpa mereka duga, Yuta menghadang jalannya.
Mary terkejut akan kedatangan pria itu, lantas ia berusaha menghindarinya.
"Mary, bisakah kita berbi--"
"Noe, ayo cepat. Nanti dosennya keburu datang," selanya memotong ucapan Yuta, sementara itu Noe merasa aneh dengan sikap Mary.
Ia curiga, pasti ada suatu hal yang terjadi di antara Mary dan pria yang disukai adiknya itu, Miru.
Ya, Miru sangat menyukai Yuta. Ia beberapa kali menyatakan perasaan sukanya pada pria itu yang juga menjadi dosennya, namun Yuta selalu menolaknya.
Karena merasa sakit hati, jadi Miru melakukan segala cara agar Yuta tidak dekat dengan wanita lain.
Noe menghentikan langkahnya. "Ssstt, Yuta sensei memanggilmu."
Mary memejamkan matanya sejenak. "Oh, benarkah? Ada apa Yuta sensei?" tanyanya pura-pura baru sadar akan kedatangannya.
"Kau tadi tak melihatku ya? Hmm, begini. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Membicarakan sesuatu? Tentang perasaannya padaku seperti kemarin? Yuta sensei memang benar-benar tidak tahu tempat. Kalau begini kan Noe bisa curiga dengan apa yang sudah terjadi diantara aku dan dia kemarin. Batinnya.
"Apakah saya remidi?" tanyanya lagi, lalu Mary menghela nafas. "Baiklah, karena hari ini saya belum belajar, bagaimana jika saya ikut remidi besok?"
"Mary, tapi--"
"Sensei, kumohon. Besok saja ya?"
Yuta nampak enggan mengiyakan permintaan Mary, wanita itu melihat jelas lewat raut wajahnya. Tapi, ada ekspresi janggal di wajah Yuta saat ini, mengapa ada raut kekhawatiran disana?
Namun Mary tidak mau ambil pusing, lantas Ia mengajak Noe bergegas pergi dari sana.
Setelah tiba di kelas pertama mereka pagi ini, Noe masih memandang Mary dengan curiga.
"Mary?"
"Ya?"
"Apa ada sesuatu yang terjadi antara kau dan Yuta sensei?"
Mary terdiam, lalu ia terkekeh berusaha menampik pertanyaan Noe.
"Terjadi sesuatu? Iya, aku remidi pada pelajarannya. Kau puas?"
Noe memutar bola matanya. "Bukan, maksudku--"
"Tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Yuta Sensei," ucap Mary menampik kecurigaan Noe. Dan bertepatan dengan itu, dosen pun datang dan menghentikan obrolan mereka.
Sementara itu, tanpa mereka ketahui. Seorang pria tengah mengintai mereka dari tadi.
"Target ditemukan!" sambungnya lewat saluran HT miliknya.