"Kau sudah pernah menemuinya?" pekik Mary tak percaya kepada pria di depannya itu. "Mengapa kau menemuinya, tidak. Maksudku, kapan kau menemuinya?"
Matteo yang sejak tadi tak absen mengusap ujung gagang cangkirnya hanya tersenyum miring. Kemudian ia menatap Mary. "Seharusnya dari awal aku tak memberinya kesempatan," katanya.
Mendengar kalimat Matteo, Mary nampak mengernyitkan dahinya bingung. Ia merasa tidak mengerti dengan jalan pembicaraan pria itu.
Namun ketika mengingat saat ini mereka sedang membicarakan Justin, kabelnya pun langsung tersambung. Mary jadi mengerti dengan pembicaraan pria itu.
"Matteo, semua sudah berlalu. Lagipula aku juga sudah tidak memikirkan hal itu."
"Tidak! Aku akan membuatnya menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan padanya. Pria bodoh itu, mengapa kau bisa jatuh cinta padanya? Kau itu juga bodoh, Mary!" Matteo mengultimatum sahabatnya itu.
"Matteo, kumohon. Jangan membahas hal itu lagi. Aku sudah merasa bahagia dengan kehidupanku sekarang," ucap Mary jujur. Selama tinggal di Jepang, Mary sudah jauh lebih menerima kehidupannya.
Ia bisa bertemu sahabat baru seperti Noe, ia juga bisa menikmati hidupnya dengan lebih baik lagi.
"Bahagia? Bahagia darimananya? Kau baru saja diculik oleh Yuri!!"
Mary mengepalkan tangannya kuat. "Kau pikir aku akan membiarkannya setelah apa yang dilakukannya padaku?" Ia kembali menatap Matteo. "Tak usah melibatkan Justin dalam masalah ini karena semua ini kesalahan wanita ular itu."
Mary tidak menyangka, hidupnya yang sudah nyaman, harus ternodai dengan datangnya orang-orang di masa lalunya yang sudah berusaha ia hapus.
Dari rasa traumanya di masa lalu, Mary saat ini menjadi orang yang lebih baik. Ia juga tidak pernah membahas masa lalunya itu.
Padahal ia tidak berbuat apa-apa, kenapa satu per satu dari mereka saat ini datang kembali?
"Aku tak mempermasalahkan jika kau memiliki dendam pada Yuri, namun jangan pernah membela Justin. Dia salah, dia tak patut dibela," ucap Matteo bersikukuh.
"Aku tahu semuanya, Justin tak seburuk yang kau pikir, selama ini Yuri lah yang membuatnya akhirnya tak memilihku. Dan terlebih lagi, kesalahpahaman hubungan kita di masa lalu," katanya. Mary mengingat jelas insiden beberapa waktu yang lalu dimana ia tidak sengaja mendorong tubuh Yuri hingga membuatnya pingsan. Setelah itu, ia langsung mendapatkan bulian bahkan ancaman.
Darisana jugalah yang membuat Mary akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jepang. Ia bahkan tidak pamit dengan Justin. Hubungan mereka berakhir sampai disana.
Namun Mary tahu, jika hubungan mereka memburuk karena Yuri terus mengadu domba mereka. Pada akhirnya ia pun mengalah.
Sementara itu, Matteo mendengus keras karena Mary terus membela Justin.
"Jadi, dia masih saja mementingkan egonya dibandingkan wanita yang disukainya? Mengapa kau tak bisa membuka matamu lebih lebar lagi? Dia pria egois dan keras kepala. Tak seharusnya dikejar dan diingat," katanya mengecamnya.
Mary menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, kemudian ia meraih tangan Matteo.
"Aku sudah tak mengharapkannya lagi. Aku hanya ingin, dia tak terjebak dalam kungkungan wanita ular itu. Aku ingin menyelamatkannya agar dia tak terus dibodohi."
Matteo melepaskan tangannya dari genggaman tangan Mary, tatapannya berubah sendu. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Mary, namun hingga saat ini Matteo tidak tahu dengan jalan pikiran wanita itu.
"Aku tak mengerti, dari dulu bahkan saat ini pun. Aku masih tak mengerti. Mengapa kau masih sepeduli itu pada Justin meskipun dengan terang-terangan dia pernah menyakitimu. Itu semua karena kau masih mencintainya!"
Mary menggeleng. "Apa maksudmu? Sudah kubilang kan? Aku tak mengharapkannya lagi. Aku begini, karena dia sahabatku," jawab Mary berusaha menampik tuduhan Matteo.
"Apapun itu sebutanmu, di mataku, Kau masih mencintainya. Aku bisa membacanya, Mary." Kemudian Matteo berlalu meninggalkan Mary begitu saja di ruang makan itu.
Sepeninggal Matteo, Mary menatap makanannya dengan tatapan kosong. Kedua matanya berkaca-kaca.
Sebenarnya Mary tidak tahu perasaannya saat ini sedang ditujukan pada siapa. Tapi yang jelas, tentu saja ia masih begitu peduli pada Justin, walaupun ia tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Dan tentang perasaannya, Mary tidak ingin membahas yang satu itu. Karena sebenarnya, ia juga tidak siap untuk mentilik lebih jelas, jika hatinya masih milik Justin, atau bukan.
****
"Kau mau membawaku kemana?" pekik histeris Yuri saat dua orang pria berbadan besar menyeretnya keluar dari rumah.
"Ikut kami," katanya.
"Kau sudah mengambil alih tahananku, sekarang kau juga akan menculikku juga? Aku sedang hamil!"
Tiba-tiba dua orang pria itu menghentikan aksi mereka ketika segerombolan orang mendekati mereka.
Yuri yang mengetahui itu melihat ke arah dimana gerombolan itu berada dan kedua matanya membulat sempurna melihat ada Justin serta Gary disana.
Mereka menyelamatkanku? Batinnya senang.
"Sayang, tolong aku," teriak Yuri dengan keras. "Lepaskan, aku akan pastikan kalian mati di tangan suamiku."
Dua orang itu tak bergeming dan justru mempererat pegangan mereka pada kedua lengan Yuri.
"Lepas! Sayang, tolong--"
"Diam!" bentak Justin keras.
Yuri terkejut akan bentakan pria itu, ia menatap Justin tak percaya. Baru kali ini pria itu membentaknya.
"Sayang?"
"Berhenti memanggilku sayang! Aku sudah tahu semua kebusukanmu Yuri!"
Bagai disambar petir, Yuri merasa dunianya runtuh begitu saja. Kemudian ia menatap Gary yang kini juga tengah menatapnya.
"Apa-apaan ini? Kebusukan apa?" tanyanya pura-pura tidak mengerti.
"Yuri, tolong akhiri sandiwara ini. Aku sudah mengatakan semuanya pada Tuan Justin," jawab Gary ikut bersuara.
Yuri menatap tajam ke arah Gary. "Tutup mulutmu! Sandiwara macam apa yang kau maksud? Aku tak pernah bersandiwara. Lebih baik kau diam atau kau kupecat jadi penjagaku."
"Seharusnya kau menutup mulutmu sendiri Yuri, berkacalah pada dirimu. Perlu kau ingat, sepintar-pintarnya manusia menyembunyikan kebohongannya, namun pada akhirnya akan terbuka juga. Aku sama sekali tak menyangka, kepercayaanku selama ini kau manfaatkan."
Yuri berusaha melepaskan diri dari dua orang itu. "Sayang, aku bisa jelaskan."
"Tak perlu ada penjelasan lagi Yuri, semua sudah jelas. Jika kau tak membodohi ku, aku tidak akan pernah meninggalkan Mary."
Yuri terkekeh. "Cih, pria bodoh! Sampai kapanpun, kau tidak akan mendapatkan cintanya lagi."
Justin mengepalkan tangannya kuat. "Beraninya kau--"
Gary menghentikan Justin yang nampak begitu emosi ketika melihat Yuri. "Aku akan urus semuanya. Percayakan padaku." Gary mengatakannya tanpa bersikap formal seperti biasanya.
Justin mendengus, lalu ia menatap Yuri kembali. "Aku akan mengirimkan surat perceraian padamu segera. Kau harus datang ke pengadilan dengan pengacaramu." Lalu ia berlalu pergi dari sana meninggalkan Yuri yang berteriak histeris.
"Justin kembali! Kumohon kembalilah! Kau tak bisa meninggalkan aku dan anakmu begitu saja! Mana tanggung jawab, tidak. Mana cintamu untukku?? Kembalilah, hei!!"
Sementara itu, tanpa sepengetahuan mereka. Sejak tadi ada yang memerhatikan pertikaian itu dari kejauhan.
"Dasar wanita bodoh. Aku yakin, sebentar lagi wanita itu pasti akan menjadi gila."
Kemudian wanita itu masuk ke dalam mobilnya. "Aku berjanji, akan menghancurkan Mary Anderson dengan tanganku sendiri," ucap Miru dengan yakin.