"Mau makan dimana?" Justin bertanya pada Mary yang duduk di kursi penumpang. Kini mereka pergi keluar untuk makan malam bersama. Namun entah mengapa, sejak Mary memasuki mobilnya, wanita itu tidak seceria biasanya. Ekpresinya cenderung murung, Justin pikir mungkin itu hanya perasaannya saja. Tapi nyatanya hingga kini Mary masih menpertahankan kebisuannya.
"Apakah sudah terjadi sesuatu?" tanya Justin setelah dengan sengaja memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Mary yang menyadari itupun terkejut.
"Hmm, tidak. Aku baik-baik saja, kok," jawabnya.
Mendengar tanggapan Mary, hal itu tidak membuat Justin merasa puas begitu saja. Ia tahu ada yang sedang disembunyikan oleh kekasihnya itu darinya.
Justin meraih tangan Mary dan mengecupnya. Tatapannya terfokus pada wanita itu.
"Katakan, apa yang mengganggumu," ucap Justin dengan suara lembut. Mary membalas tatapan Justin, ada keraguan disana. Nampaknya Mary sedikit takut untuk menceritakan hal yang mengganggu pikirannya hingga membuatnya resah.
"Mary?" panggil Justin lagi. Melihat bagaimana ragunya Mary, hal itu membuat Justin jadi khawatir.
Tak berapa lama terdengar helaan nafas keluar dari bibir wanita itu. Mary memandang Justin begitu sendu, ia tidak punya pilihan selain menceritakan hal yang sudah membuatnya resah seharian ini.
"Aku bingung, Justin." Mary menjelaskan keresahannya dengan pelan.
"Bingung kenapa?"
"Kau tahu Miru--"
"Apakah dia mengganggumu lagi?" Justin memotong ucapan Mary dan menuduh jika Miru sudah mengganggunya hari ini. Namun Mary segera menggeleng dan mengelak.
"Bukan, dia tidak menggangguku. Hanya saja, aku merasa kasihan padanya," jelas Mary.
Sontak dahi Justin nampak mengernyit bingung setelah mendengar alasan wanita itu. Pasalnya setelah apa yang sudah dilakukan Miru padanya, mengapa saat ini Mary bisa berpikir demikian?
"Mary, kau tidak serius dengan ucapanku, kan? Kenapa kau harus mengasihi wanita seperti dia?" tanya Justin merasa heran.
"Karena aku punya alasan." Mary menjawab dengan tegas. Namun Justin menggeleng tidak setuju.
"Entah apapun alasan itu, jangan dekat-dekat dengan dia. Miru itu sama seperti Yuri, kau kan sudah punya Noe," kata Justin mengingatkan Mary tentang satu-satunya sahabatnya yang ia miliki. Namun Mary tidak merasa ada kepuasan disana.
Noe memang sahabatnya, tapi setelah melihat kejadian di perpustakaan dan juga karena wanita itu sudah berbohong padanya, entah mengapa Mary merasa jika Noe tidak benar-benar menganggapnya sahabat lagi.
Mary bukan tanpa alasan berpikir demikian, dan bukannya ia berpihak dengan Miru juga. Tapi secinta-cintanya ia pada Justin, ia masih berusaha mencari Noe dan memperbaiki persahabatan mereka yang merenggang. Sementara wanita itu, dia bahkan malah berbohong padanya.
"Tapi sepertinya Noe tidak menganggapku demikian," jawab Mary lirih. Hal itu membuat Justin makin mengernyit bingung.
"Tunggu, sebenarnya ada apa? Bukannya tadi kau pulang dengannya?" tanya Justin. Mary tadi mengiriminya pesan jika wanita itu akan pulang dengan Noe, tapi sekarang mengapa dia seakan tidak akur dengan wanita itu?
"Aku tadi tidak jadi pulang dengannya."
"Hah? Tapi--"
"Noe berbohong padaku. Jika Miru tidak memberitahuku, mungkin aku tidak akan pernah tahu apa yang sudah dia lakukan di belakangku," ucap Mary memotong kalimat Justin.
"Memangnya Miru memberitahumu apa?"
Mary nampak terdiam. Ia seakan diingatkan dengan kejadian di perpustakaan tadi. Jika Mary menjadi Miru, mungkin ia tidak akan sekuat wanita itu.
"Mary?" Panggilan Justin membuyarkan lamunan Mary. Wanita itu kembali menoleh ke arah kekasihnya itu.
"Sepertinya Noe dan Yuta sensei menjadi dekat."
Wajah Justin kini berubah serius. "Dan apa hubungannya denganmu? Kau cemburu dengan dosen maniak itu?"
Mary mengibaskan tangannya ke udara, menampik tuduhan Justin yang tidak berdasar. Pria itu sepertinya salah paham dan tidak mengerti maksud pembicaraannya.
"Bukan begitu, kau tahu kan alasan Miru menculikku? Karena dia tidak terima Yuta sensei menyukai aku." Mary mulai menjelaskan. "Dan sekarang secara mengejutkan Noe dekat dengan Yuta. Jadi Miru tidak memiliki kesempatan untuk bisa bersamanya."
Justin menggelengkan kepalanya setelah mendengar penjelasan Mary. Ia tidak mengerti mengapa kekasihnya itu begitu peduli dengan seseorang yang sudah jahat padanya.
"Mary, itu bukan urusanmu. Lagipula kenapa kau harus peduli, sih? Anggap saja itu adalah ganjaran untuknya atas apa yang sudah dia lakukan padamu."
Mary melepaskan genggaman tangan Justin di tangannya, wanita itu menatap Justin dengan sengit. Entah mengapa ia merasa kecewa dengan tanggapan pria itu. Padahal niatnya bercerita adalah untuk mengurangi keresahannya, namun sepertinya Justin tidak membantunya sama sekali
"Dia begitu karena memiliki alasan, Justin. Lagipula Miru tidak seburuk itu," ujar Mary tidak terima.
"Mary, lihat aku." Justin menangkup kedua pipi Mary agar wanita itu mau menatapnya. "Ingat, apa yang sudah wanita itu lakukan padamu. Jangan termakan sikapnya yang memaksamu untuk mengasihinya."
"Tapi Miru tidak memaksaku untuk mengasihinya, Justin. Kau tidak tahu apa yang aku lihat dan rasakan, percuma berbicara denganmu!"
Mary menyedekapkan tangannya di depan dada. Wanita itu begitu kesal dengan Justin. Inilah mengapa ia ragu membicarakan masalah ini dengannya, karena Justin tidak akan memahaminya.
Melihat sikap Mary yang demikian, lantas Justin pun memilih menekan egonya dan berusaha memahami wanita itu. Mungkin Mary benar, karena ia tidak melihat apa yang terjadi secara langsung, jadi dirinya tidak paham.
Tapi disini Justin hanya ingin melindungi wanita itu dan berjaga-jaga jika maksud Miru begitu untuk menjebak Mary. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Mary sudah tidak berhubungan dengan dosen itu, jadi untuk apa Miru masih memiliki dendam padanya?
"Baiklah, maafkan aku sayang. Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?" tanya Justin dengan suara lembut.
Mary yang masih terlihat kesal pada Justin, enggan menanggapi pria itu. Dan Justin pun tidak kehilangan akal. Ia terus berusaha menarik hati kekasihnya itu.
"Katakan sesuatu, Mary. Aku tidak akan tahu dimana letak kesalahanku jika kau tidak mengatakannya padaku."
Mary menghela nafas. "Pertama, kau harus janji untuk tidak melarang aku dekat-dekat dengan Miru. Kedua, jangan asal menuduh orang sembarangan."
Justin akan memprotes, namun ia mengurungkan niatannya. Ia tidak punya pilihan selain mengiyakan permintaan Mary, namun Justin juga tetap berjaga di sekitar wanita itu jika memang Miru memiliki maksud lain dibalik sikapnya.
"Baiklah, aku menyetujuinya. Tapi kau janji harus selalu waspada, oke?"
Mary mengangguk. "Terima kasih, sayang." Tanpa sadar wanita itu memeluk Justin. Sementara itu Justin yang berada di kursinya hanya membeku. Namun kemudian ia membalas pelukan Mary dan mengusap pelan punggungnya.
"Sama-sama, sayang," jawabnya.
Mary yang menyadari posisi mereka saat ini segera menjauhkan dirinya dari Justin. Wanita itu menoleh ke luar jendela mengalihkan rasa canggung yang tercipta.
Sementara Justin, pria itu terkekeh. Melihat gemasnya perilaku Mary, ia hanya menggelengkan kepalanya. Malu-malu tapi mau, untung sayang. Batin Justin sambil tertawa geli.