Dentingan sendok dan garpu mengalun mengisi kesunyian dan dinginnya sesi makan itu. Mungkin sebelumnya di rumah keluarga Yamato memanglah hal yang biasa jika kebisuan mengiringi mereka saat makan, karena masing-masing fokus memakan makanannya. Dan di sisi lain, di keluarga Yamato juga diajarkan kalau sedang makan tidak boleh berbicara. Menurut keturunan, katanya itu tidak sopan.
Dan seperti inilah yang terjadi di keluarga Yamato sekarang, kebiasaan itu menjadi turun temurun. Di meja itu sekarang ada tiga orang yang fokus memakan makanannya. Yamada, dan kedua putrinya Noe dan Miru.
Namun kali ini Yamada memandang kedua putrinya itu dengan heran. Di luar aturan keluarga mereka, ia merasa ada sesuatu di antara kedua putrinya. Yamada merasa ada rasa dingin disana.
Yamada berdehem bermaksud menarik perhatian Noe dan Miru sekaligus. Namun usahanya gagal, kedua putrinya itu lebih tertarik dengan makanan mereka. Meski sepertinya keduanya memakannya dengan tidak lahap.
"Noe, Miru?" panggil Yamada dengan terang. Dan usahanya kali ini berhasil, Yamada berhasil menarik minat kedua putrinya.
"Kenapa, chichi?" tanya Noe.
Yamada membenarkan duduknya. Ia bingung harus mulai darimana menanyakan kecurigaannya pada kedua putrinya itu.
"Chichi sakit?" Miru menyela. Yamada buru-buru menggeleng.
"Tidak. Hanya saja aku ingin bertanya sesuatu pada kalian," katanya.
Noe memandang Miru, namun adiknya itu langsung membuang muka. "Chichi, mau bertanya apa? Kita sedang makan, bukannya rasanya tidak sopan jika berbicara saat makan?" jawab Miru.
Perkataan Miru memang tidak salah, tapi Yamada sudah terlanjur penasaran dengan sikap kedua putrinya itu.
"Ini penting, Miru. Jadi rasanya tidak masalah jika kita membicarakannya disini," tegas Yamada.
"Baiklah, jadi chichi mau bertanya apa?" sambung Noe.
Yamada sudah menemukan kalimat yang pas untuk mempertanyakan kecurigaannya. Ia pun segera mengeksekusinya.
"Apakah sudah terjadi sesuatu di antara kalian?" tanyanya akhirnya.
Suasana berubah hening. Noe maupun Miru nampak menunjukkan ekspresi yang berbeda. Miru nampak terlihat santai, sementara Noe sedikit terkejut karena ayahnya tiba-tiba bertanya begitu. Bagaimana dia tahu jika sekarang dirinya dan Miru sedang memiliki hubungan yang tidak baik.
"Mengapa chichi bertanya begitu?" tanya Noe mengelak.
Yamada mengusap tengkuknya. Sepertinya karena perasaan seorang ayah memang begitu kuat, meski kedua putrinya tidak menunjukkan secara terang-terangan, Yamada bisa merasakan ketegangan di antara keduanya.
"Entahlah, aku merasa ada hawa dingin di antara kalian. Kau tahu chichi, kan? Chichi tidak akan begini jika merasa tidak ada yang salah," jawab Yamada.
Ting!
Tiba-tiba Miru meletakkan peralatan makanannya. Yamada dan Noe kini beralih memandang wanita itu.
"Chichi ingin tahu kenapa Miru dan ane begini?" katanya.
Noe yang merasa jika Miru akan membicarakan masalah Yuta hanya diam. Adiknya itu memang suka mengadu pada ayahnya, dia memang manja.
Namun meski begitu, Noe akan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Lagipula hubungannya dengan Yuta juga semakin dekat, Noe akan melakukan apapun untuk mempertahankan haknya.
Sementara itu, Yamada yang merasa jika perasaannya benar, kini memandang kedua putrinya serius. Entah apa yang memecah dan membuat mereka berjarak, Yamada akan menjadi penengah untuk keduanya.
"Katakan, Miru."
Miru memandang ayahnya. "Karena itu hanya perasaan chichi saja. Miru dan ane baik-baik saja. Tidak ada hawa dingin di antara kami, sekarang Miru dan ane tidak berbicara karena kita sedang makan," jelasnya.
Mendengar jawaban tidak terduga dari Miru, Noe nampak memandang adiknya terkejut. Pasalnya Noe pikir Miru akan mengatakan permasalahan yang mereka hadapi saat ini. Ia merasa ini seperti bukan Miru.
Selama ini Miru akan merengek pada ayahnya jika ada hal yang diinginkannya, tapi mengapa sekarang dia tidak jujur? Sebenarnya apa yang direncanakan wanita itu? Noe dibuat bertanya-tanya.
"Miru, jangan berbohong pada chichi," ucap Yamada yang juga merasa jika Miru tidak jujur padanya.
"Memangnya jawaban apa yang diharapkan, chichi?" tanya Miru. "Apakah chichi tidak suka jika Miru dan ane akur?" tambahnya.
Yamada seketika dibuat tidak bisa berkata-kata. Miru sekali lagi benar, tentu saja ia tidak akan senang jika kedua putrinya tidak akur. Mungkin ini memang perasaannya saja.
Sepertinya aturan untuk tidak berbicara saat makan di keluarga Yamato harus dihilangkan, karena bisa memicu kesalahpahaman.
Pada akhirnya sesi makan malam itu diakhir dengan biasanya. Setelah selesai makan, semua kembali kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Yamada yang kembali ke ruang kerjanya, lalu Miru yang akan kembali ke kamarnya dengan diikuti Noe di belakangnya.
"Miru, tunggu!" Noe menghentikan adiknya itu.
Hal itu mau tidak mau membuat Miru berhenti untuk menghadap Noe. "Kenapa?"
Noe meneliti wajah Miru. Ia merasa aneh dengan sikap adiknya yang begitu tenang. Hari ini Miru benar-benar berubah.
"Hari ini kau kenapa?" tanyanya.
Miru menarik sebelah alisnya dan tertawa. "Aku tidak apa-apa. Kenapa ane bertanya begitu? Aneh sekali."
"Miru, katakan yang sebenarnya. Kau sedang merencanakan sesuatu, kan?" tuduh Noe. Wanita itu menuduh Miru juga bukan tanpa alasan. Miru tidak akan tinggal diam jika dirinya terusik.
Dengan masih bersikap santai Miru menyedekapkan tangannya di depan dada sambil membalas tatapan Noe. "Ane, sepertinya pikiranmu padaku terlalu buruk. Memangnya aku merencanakan apa, sih? Noe kebanyakan nonton film ya?"
Noe tetap tidak percaya dengan elakan Miru. Wanita itu bisa dengan nekad menculik Mary karena Yuta, bisa saja Miru lebih nekad kali ini karena ia dan Yuta menjadi dekat.
"Aku mengenalmu dengan sangat baik, Miru. Pasti kau sudah merencanakan sesuatu di kepalamu itu," kata Noe. "Dan entah apapun itu, aku tidak akan melepaskan Yuta!"
Setelah menegaskan itu, Noe berlalu pergi dan memasuki kamarnya meninggalkan Miru sendirian disana. Sepeninggal kakaknya, Miru mengepalkan tangannya kuat.
Ia menoleh ke arah dimana perginya kakaknya tadi. Wanita itu mendengus.
"Ah, jadi ane suka diberi kejutan? Padahal aku tidak berpikir sampai kesana, tapi jika ane yang memintanya sendiri aku bisa apa?"
****
"Wah, bukankah ini seperti semacam double date?" ujar Mary memandang ketiga orang di sekitarnya itu.
"Eyy, hubunganku dengan Matteo belum sejauh itu," jawab Michella.
"Tentu kalian bisa. Aku akan secara sukarela menjadi mak comblang kalian," sambung Mary.
"Jangan mengarang, Mary. Aku dan Michella tidak akan memiliki hubungan apa-apa." Matteo menjawab dengan dingin. Seketika suasana disana juga menjadi sama dinginnya.
Kini mereka berempat, Mary, Justin, Matteo dan Michella memang sedang makan malam bersama di sebuah restoran.
Acara itu diadakan untuk penyambutan Michella yang baru saja datang ke Jepang. Mary sengaja melakukan itu demi bersambungnya hubungan mereka. Lagipula Justin juga belum bertemu dengan Michella.
"Matteo, tidak bisakah kau menjaga ucapanmu?" tegur Mary.
"Maklum saja, Mary. Pria itu memang tidak punya hati," sambung Justin.
Mendengar Justin ikut bersuara, membuat Matteo mendengus. "Lebih baik kau diam saja, tidak perlu ikut campur urusanku!"
"Matteo!"
"Tenanglah, Mary. Jangan memaksa Matteo, aku sudah terlalu biasa dengan sikap dinginnya. Dan aku baik-baik saja," ujar Michella mengendalikan keadaan. Namun meski begitu, Mary tahu jika Michella terluka karena Matteo.
Sepertinya misinya saat ini bertambah satu, bukan hanya membantu Miru, tapi juga Michella.