"Bagaimana perkembangan Miru dan Noe?" tanya Justin membuka suara. Jika kemarin mereka sempat salah paham karena Justin dengan seenaknya menilai Miru. Maka kali ini pria itu menjadi seorang yang netral dan menjadi pendengar yang baik untuk Mary.
Sementara itu, Mary yang mendapatkan pertanyaan semacam itu dari Justin nampak menghela nafas. "Tidak ada perubahan apapun, Miru tetap berpegang teguh dengan keras kepalanya."
"Tapi dia tidak menganggu--"
"Justin, Miru tidak seperti itu," kata Mary memotong kalimat Justin yang sudah tahu arahnya akan kemana.
"Maksudku kau tidak ada sangkut pautnya dengan ini, kan?"
Mary menggeleng. Ia tidak mengerti mengapa Justin masih saja tidak paham dengan pembicaraannya kemarin. Miru melakukan hal semacam itu, karena Yuta. Makanya dia menculik dirinya, karena wanita itu salah paham.
Memang kejadian penculikan itu tidak bisa dibenarkan, tapi Mary tahu jika Miru melakukan itu demi mendapatkan cintanya. Berbeda dengannya yang hanya menunggu Justin, sementara Miru mengejarnya tanpa kenal kata menyerah. Mary salut pada wanita itu.
Lagipula meskipun Noe memang sahabatnya, Miru memang benar. Wanita itu lebih dulu menyukai Yuta, tapi Noe malah merebutnya. Jika dalam hal rebut merebut, Mary paling anti. Anggap saja disini Miru adalah dirinya, sementara Noe mirip seperti Yuri.
Di sisi lain ia begini juga untuk kebaikan Noe, seharusnya wanita itu lebih sadar dan mengalah pada adiknya. Tapi tidak ada yang bisa memaksa rasa suka seseorang, Mary tahu. Tapi setelah melihat kegigihan Miru yang bersikukuh untuk memenangkan hati Yuta, Mary jadi tergerak untuk menjadi pendukungnya.
Secara Mary tahu, jika Miru berjuang sendirian. Meski ayah wanita itu juga berdiri di belakangnya, tapi hal itu bahkan tidak membantunya secara moril.
Mary tahu ini konyol, bagaimana mungkin untuk pertama kali ia berpihak pada orang semacam Miru. Tapi orang awam tidak akan pernah tahu dibalik perjuangan Miru yang kelihatan obsesif dan memaksa itu.
Miru hanya memperjuangkan cintanya, dan dia kesepian. Lagipula dari awal Yuta tidak memiliki hubungan apapun dengan wanita lain, jadi Miru juga tidak salah. Dan Noe, Mary tidak tahu dengan jalan pikiran wanita itu.
Karena sekarang secara resmi ia menyatakan berpihak pada Miru, sepertinya Mary harus membicarakan masalah ini dengan Noe. Meski Mary tahu sikapnya ini termasuk memaksa, tapi demi kebaikan bersama sepertinya tidak masalah.
"Mary?" Panggilan Justin membuyarkan lamunan Mary. Wanita itu menoleh ke arah kekasihnya yang terlihat memandangnya kesal.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Sepertinya kau lebih suka berbicara dengan dirimu sendiri dibanding aku yang ada di depanmu," kata Justin menjelaskan.
Dahi Mary sontak mengernyit. Sejak kapan ia berbicara pada dirinya sendiri? Memang bisa?
"Sekarang, itu namanya kau berbicara pada dirimu sendiri," sela Justin seakan tahu pikiran Mary. Wanita itu beroh ria. Jadi seperti ini yang dinamakan berbicara pada diri sendiri. Pikirnya.
"Maafkan aku, Justin. Aku terlalu sibuk memikirkan cara bagaimana Miru bisa mendapatkan Yuta," ucap wanita itu sambil menyeruput jus mangganya.
Mereka berdua saat ini memang sedang berada di kafe. Seperti biasa, entah makan siang ataupun malam, pokoknya setiap jam makan, Justin selalu menjemput Mary dan mereka pun pergi ke kafe atau restoran berbeda setiap harinya.
"Mary, aku tidak ingin membuatmu marah lagi. Tapi sepertinya kau agak berlebihan dalam hal ini," sela Justin. Pria itu bukan tanpa alasan mengatakan ini, karena selama beberapa hari terakhir Mary sibuk dengan urusannya yang katanya berpihak pada Miru.
Kekasihnya itu memang unik, sudah jelas orang yang ia bela pernah berbuat jahat padanya, tapi sekarang dia malah berada dipihaknya. Ya, meski Justin tahu Mary punya alasan dibalik itu. Tapi tetap saja, itu tidak masuk dalam nalarnya.
Dan entah apapun itu, Justin selalu memasang badan di belakang Mary. Ia tidak akan pernah absen menjaga kekasihnya itu. Meski kadang Justin juga tidak bisa memahami tingkahnya.
"Oh iya, Justin. Kemarin aku bertemu dengan seseorang. Coba tebak," ujar Mary tiba-tiba.
Dahi Justin nampak mengernyit. "Mengapa kau jadi mengajak tebak-tebakkan?"
Mary nampak merengek. "Sudah, tebak saja. Kemarin aku bertemu siapa," jawabnya.
"Mary, bagaimana aku tahu kemarin kau bertemu siapa--, jangan bilang Matteo?" tebak Justin waspada.
"Sayangnya bukan, tebak lagi."
Justin menghela nafas lega, setidaknya orang itu bukan Matteo. Namun ia harus berpikir keras dengan tebakan yang diberikan Mary.
"Siapa sih? Yuta? Noe? Miru?"
"Apakah kau sedang bercanda? Jika mereka bertiga tentu saja aku bertemu tiap hari, yang lain Justin," ujar Mary mulai kesal.
Dan pada akhirnya Justin berpikir keras kembali. Ia mengingat-ingat siapa saja teman Mary yang ada di Jepang, tapi nihil. Justin hanya tahu ketiga orang itu saja, yang lain Justin lupa menanyakannya. Pada akhirnya ia memilih menyerah. Justin tidak mau sulit-sulit berpikir.
"Aku menyerah," katanya.
Mary mendengus. "Astaga, mengapa kau tidak bisa menebaknya sama sekali, sih?" ucapnya tidak percaya.
"Ya mana aku tahu, Mary. Aku bukan anak indigo," jawab Justin tidak terima.
"Aku menyuruhmu menebak manusia, Justin. Bukan hantu," ucap Mary tidak kalah kesal. Namun pada akhirnya Mary memberitahukan siapa orang yang ia maksud. "Aku bertemu Michella. Dia juga datang ke jepang," lanjutnya.
"Michella? Bagaimana kau tahu?" Justin terlihat kaget. Mary tahu, pasti pria itu sama sekali tidak menduganya jika sahabatnya juga pindah kemari.
"Dia ikut pertukaran mahasiswa, dan ya, Michella sekarang secara resmi kuliah di kampusku," katanya.
"Mengapa wanita itu tidak menghubungiku?" ucap Justin heran. Karena ia memang sedekat itu dengan Michella, jika dia datang ke Jepang, seharusnya Michella juga memberitahunya.
Mary nampak mengedikkan bahunya. "Sepertinya dia ingin memberi kejutan untukmu. Tapi katanya dia sudah bertemu dengan Matteo," jelas Mary.
Mendengar penjelasan Mary, Justin seakan diingatkan oleh sesuatu. Pria itu nampak manggut-manggut. Mary yang melihat itu jadi heran.
"Ada apa? Kenapa kau begitu?"
Sadar sedang diperhatikan kekasihnya, Justin tertawa. "Tidak, tapi aku ingin mengatakan rahasia Michella padamu."
"Eyy, mana boleh begitu? Kau tidak boleh mengatakan rahasia seseorang sembarangan Justin. Apalagi Michella sudah mempercayakan rahasianya padamu," ucap Mary menasehati pria itu. Namun Justin menggeleng, ia buru-buru menjelaskan maksudnya pada kekasihnya itu.
"Bukan begitu Mary, ini bukan rahasia yang hanya aku dan Michella saja yang tahu. Bisa dibilang ini adalah rahasia yang umum saat kami masih berada di New York."
"Rahasia umum?"
Justin mengangguk. "Michella menyukai Matteo."
Mary sontak membungkam mulutnya. Bukannya ia merasa cemburu, bukan. Tapi ia begitu terkejut dengan pemberitahuan Justin.
"Jadi maksudmu, Michella menyukai Matteo dari dulu?"
"Ya, bisa dibilang begitu."
"Wah, kalau begitu aku akan mendukungnya."
Justin nampak setuju. Namun kemudian Mary memandang Justin meminta penjelasan.
"Tapi ya, aku saat ini masih bingung bagaimana Michella bisa mengenal kau dan Matteo. Padahal kan kalian berdua tidak pernah kenal sebelumnya."
Justin mengusap-ngusap tengkuknya. "Ah yang satu itu, ceritanya sangat panjang."