Suasana di meja itu benar-benar sunyi. Noe yang awalnya terlihat aktif mengajukan obrolan, nampak pasif setelah Miru datang ke meja mereka. Begitupun dengan Yuta, pria itu makin memberingsut di kursinya.
Entah mengapa setelah menyadari itu justru membuat Mary tersenyum puas. Seharusnya ia memang tidak boleh begini, karena mau bagaimanapun Noe adalah sahabatnya. Tapi Mary masih merasa kesal pada wanita itu karena sudah membohonginya.
Coba saja jika dari awal Noe jujur, mungkin keadaannya juga tidak begini akhirnya. Dan entah mengapa, sebenarnya Mary tidak setuju jika Noe bersama Yuta. Seharusnya Noe tahu jika adiknya itu sangat menyukai Yuta, tapi disini ia seolah tidak memikirkan hal itu. Mungkin salah satu kecewaannya adalah itu.
Mungkin ini terasa sedikit aneh, karena sekarang ia lebih berpihak pada Miru dibanding dengan sahabatnya sendiri. Diluar dari insiden penculikan itu, Miru juga memiliki alasan mengapa dia melakukannya, kan? Bisa dibilang mungkin ini salah satu kesalahpahaman juga.
"Ane, kenapa tidak lanjut makan?" Miru tiba-tiba bersuara dan menegur kakaknya. Memang Noe nampak tidak memakan makanannya sama sekali dan hanya mengorak-arik makanannya.
Mendapat teguran dari Miru, Noe segera memaksakan senyumnya. "Aku makan, kok."
"Benarkah? Tapi sepertinya ane hanya mengaduk-aduk makanan saja dari tadi," jawab Miru.
Mary merasakan suasana menjadi canggung dan dingin. Ia pun berinisiatif menjadi penengah. Meski ia tahu Noe harus menerima konsekuensinya, ia juga tidak ingin membiarkan suasana semacam ini berlarut-larut.
"Noe memang makan dengan lambat, tapi dia pasti memakannya sampai habis."
Noe nampak mengangguk setuju dengan perkataan Mary. Namun Miru nampak tersenyum miring.
"Mary Anderson, tapi aku adiknya. Jangan bersikap seolah kau tahu ane daripada aku," sela Miru.
"Miru, tidak bisakah kau bersikap sopan sedikit?" Noe nampak menyela balik Miru.
"Kenapa aku harus? Ane saja seenaknya padaku, kenapa aku tidak bisa seenaknya dengan ane juga?"
"Miru!!"
"Noe, tenanglah," ucap Yuta menenangkan Noe. "Lebih baik kau pergi, tidak ada gunanya berbicara dengan batu. Mari kutemani," ajaknya pergi dari sana.
Noe menoleh ke arah Yuta, lalu wanita itu beralih memandang Mary.
"Mary, maafkan aku atas kejadian ini. Aku pergi dulu ya?" pamitnya.
Mary mengangguk. "Ya, silahkan."
Sepeninggal Noe dan Yuta, kini hanya menyisakan Mary dan Miru di meja itu. Bisa Mary lihat, Miru tidak melepaskan pandangannya dari arah dimana kedua orang tadi pergi. Mary menghela nafas.
"Aku tidak tahu mengapa kau sangat menyukainya," ujar Mary tiba-tiba. "Tapi Yuta sensei sepertinya sangat membencimu."
"Terima kasih sudah diingatkan. Tapi itu tidak akan membuatku menyerah," ucap Miru sambil menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya.
"Miru, aku begini bukan bermaksud apa-apa tapi jika kau terus memaksa--"
"Kubilang aku tidak akan menyerah! Dan aku tidak peduli dengan reaksi Yuta, aku pasti akan membuatnya hanya melihatku nanti!!" tegas Miru memotong kalimat Mary. "Dan satu lagi, jangan ikut campur urusanku Mary! Aku tidak butuh perhatian ataupun sikap baikmu! Lebih baik perhatikan saja ane ku, diakan sahabatmu!"
Setelah mengatakan itu, Miru berlalu pergi meninggalkan Mary sendirian. Mary menoleh ke arah kepergian Miru, wanita itu menghela nafas.
"Mengapa kau bertingkah seolah wanita yang kuat? Aku tahu kau merasa sendirian, Miru."
Mary tahu, ia bisa melihat dengan jelas melewati kedua matanya. Miru bersikap seolah dia adalah wanita yang tidak bisa tersentuh, ia menyembunyikan identitas aslinya dengan itu.
Sebenarnya Miru sama seperti wanita kebanyakan di luar sana, sama seperti dirinya. Jika Mary menjadi Noe, ia tidak akan membiarkan Miru merasa sendirian.
Di luar obsesinya pada Yuta, mungkin Miru hanya menginginkan seseorang yang mampu memerhatikannya. Dan entah bagaimana ceritanya wanita itu menginginkan Yuta yang menjadi orang itu. Cinta? Jika membicarakan yang satu itu Mary akan mengerti. Karena ia juga mengalaminya sendiri. Bagaimana tidak? Justin sudah meninggalkannya, tapi ia masih saja menunggunya.
Namun pada akhirnya penantiannya tidak berakhir sia-sia. Ternyata Justin juga mencintainya selama ini. Cinta kadang serumit itu.
"Hei," panggil seseorang. Mary menoleh ketika ada yang memanggilnya. Seketika dahinya mengernyit merasa tidak asing dengan wanita yang berada di depannya itu.
Mary merasa pernah bertemu dengannya, namun ia lupa dimana tepatnya.
"Siapa ya?"
Wanita itu duduk sambil menunjukkan deretan rapi giginya. "Kau tidak ingat aku? Aku Michella."
"Michella?"
Michella mengangguk. "Hmm, kau masih belum mengingatku?" tanyanya lagi.
Mary nampak berpikir sejenak, tapi ia tetap tidak menemukan lebih tepatnya dimana ia bertemu wanita bernama Michella itu.
"Maaf, sepertinya ingatanku sangat buruk. Aku sama sekali tidak mengingat dimana kita pernah bertemu, tapi aku memang merasa tidak asing dengan wajahmu," jelas Mary merasa bersalah. Michella terkekeh.
"Aku yang waktu itu memberitahumu tentang kecelakaan Matteo," jawabnya.
Dan Mary pun kembali ke hari itu, ia mengingatnya. Benar, dia adalah wanita yang memberitahunya mengenai kecelakaan Matteo.
"Bagaimana kau bisa ada disini? Kau kuliah disini juga?"
Michella mengangguk. "Ya, aku mengikuti pertukaran mahasiswa."
"Astaga, bagaimana dunia bisa sesempit ini? Jadi, kau juga sudah bertemu dengan Matteo juga?"
Membicarakan tentang Matteo, selama beberapa hari belakangan ini Mary tidak pernah berhubungan dengan pria itu lagi. Mungkin karena ia terlalu fokus dengan Justin, jadi ia jadi melupakan keberadaan Matteo disini.
"Ya, aku sudah bertemu dengan Matteo. Oh iya, bagaimana kabar Justin?"
"Justin?" Mary nampak terkejut ketika Michella menanyakan kabar pria itu. "Hmm, dia dalam keadaan baik."
"Senang mendengarnya."
Mary mengangguk. Ia masih penasaran darimana Michella mengenal Justin.
"Namamu tadi Michella, kan?"
"Iya."
"Maaf jika pertanyaanku ini terdengar lancang, tapi darimana kau mengenal Justin? Apakah kalian saling mengenal sebelumnya?"
Michella nampak terkekeh. "Tentu saja, kami bahkan sangat dekat," katanya. "Tapi jangan salah paham, aku dan Justin hanya sebatas sahabat, tidak lebih," lanjutnya.
Kini ganti Mary yang tertawa. "Hei, aku tidak seposesif itu."
"Hmm, aku tahu. Aku ikut bahagia mendengar kabar jika kalian bersatu lagi."
"Terima kasih, Michella."
"Oh iya, bagaimana proses perceraian Justin dengan Yuri? Berjalan lancar, kan?" tanya Michella tiba-tiba.
Mary nampak terdiam di tempatnya. Michella yang mengetahui segera meminta maaf.
"Aku tidak bermaksud--"
"Kau pasti tahu Yuri orang yang seperti apa, meski wanita itu tetap menolak perceraian itu, Justin tetap bersikukuh dengan pendiriannya," jelas Mary. "Lagipula apa yang bisa dipertahankan dari wanita penipu seperti Yuri?"
Michella memandang Mary yang baru saja menjelaskan perceraian antara Justin dan Yuri. Melihat bagaimana wanita itu menyikapi permasalahan ini, Michella tahu jika Mary memang sangat mencintai Justin.
Sebagai sahabat, Michella mendukung apapun yang Justin pilih. Dan lagipula, dari kembalinya pria itu dengan Mary, Michella juga mengambil keuntungan dari sana. Setidaknya ia bisa mendapatkan Matteo dengan mudah. Sepertinya Michella sudah mengatakan ini selama seratus kali.