Justin memandang sengit pria di depannya itu. Untuk kedua kalinya mereka bertemu lagi setelah insiden penyerangannya yang secara tiba-tiba. Kali ini Justin menemui Matteo setelah pria itu menghubunginya dan mengajaknya bertemu.
Entah kebetulan macam apa ini, namun Justin bersyukur karena ia tidak perlu susah-susah mencari keberadaan pria itu yang seenaknya membawa pergi Mary nya.
"Dimana Mary?" Justin langsung menanyakan perihal Mary ketika pria itu datang ke kafe dimana mereka janjian.
Sementara itu, Matteo nampak mendengus. "Ck. Tak bisakah kau mempersilahkan aku duduk terlebih dahulu?"
"Kenapa aku harus? Kau kan bisa langsung duduk!" jawab Justin acuh tak acuh.
"Dasar berandalan ini!" Matteo membenarkan jasnya setelah duduk di kursi yang bersebrangan dengan Justin. "Aku tidak akan memberi tahu keberadaan Mary padamu!" lanjutnya.
Justin tahu, niat utama pria itu mengajaknya bertemu adalah membuatnya emosi. Sepertinya Matteo memang suka sekali melihatnya marah-marah. Namun kali ini ia tidak akan terkecoh. Hanya hari ini, Justin akan menjadi seorang penyabar.
"Tuan Matteo yang terhormat, entah apa tujuanmu menghubungiku untuk mengajak bertemu, tapi sepertinya anda lupa jika saya tidak peduli akan hal itu," jawab Justin sambil memaksakan senyum sumringahnya. "Yang saya inginkan hanya Mary Anderson!"
Mendengar ucapan Justin, Matteo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main, bagaimana seseorang yang sudah beristri bahkan segera menjadi ayah, memohon-mohon agar wanita yang sudah dicampakkannya dulu kembali padanya."
Justin menggertakkan giginya, tangannya mengepal kuat menahan emosinya. Ia hanya ingin menjadi seorang penyabar hari ini, tapi sepertinya tidak akan berjalan mudah karena orang yang ia hadapi adalah Matteo.
Pria itu tidak akan bisa ia hadapi dengan rasa sabar dan lapang, dan demi Tuhan, rasanya Justin ingin memberikan bogeman mentah tepat mengenai wajah songongnya itu.
Tidak, Justin. Sabar, orang sabar disayang Tuhan. Batinnya berusaha menenangkan.
Justin menarik napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Pria itu kemudian menunjukkan senyum ramahnya.
"Kalau anda mau tahu, saya akan bercerai sebentar lagi. Dan mengenai anak yang dikandung mantan istri saya, itu bukan dari darah daging saya." Justin menjelaskannya dengan sabar. "Dan perkara mengenai saya mencampakkan Mary, itu hanyalah kesalahanpahaman. Makanya saya tidak akan menyerah sampai disini!"
"Kesalahpahaman?" Matteo terkekeh. "Kesalahpahaman yang membuatmu meninggalkannya demi wanita lain? Itu kata lain dari mencampakkan namanya, Tuan Martinez."
Brakkk!
Suara yang ditimbulkan dari kursi yang bergeser, setelah Justin bangkit dari kursinya menimbulkan perhatian dari orang-orang yang berada di kafe itu. Justin maju untuk meraih kerah Matteo. Sudah cukup ia menjadi penyabar, memang dasarnya ia bukan orang yang seperti itu, cukup jadi dirinya yang apa adanya saja.
Lagipula orang seperti Matteo tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Tadi ia hanya menganggap itu angin lalu, dan sekarang ia menyesal.
"Aku akan merebut Mary dengan cara apapun! Dan aku yakin, kau tidak akan pernah melawanku Matteo!" Justin begitu percaya diri mengultimatum Matteo. Namun sepertinya hal itu tidak membuat Matteo takut ataupun terpojok.
Meski pria itu benar, mungkin Matteo tidak akan pernah menang melawan Justin, karena Mary saja meski sudah disakiti pria itu tetap saja membelanya. Dan tentu saja Matteo tidak akan berhenti sampai disini, karena ia yakin, suatu hari nanti Mary akan membuka matanya lebar-lebar kalau Justin tidak pantas untuk wanita itu.
Perasaan Matteo pada Mary tidak pernah berubah, ia masih mencintai wanita itu, meski Matteo juga tahu jika Mary tidak menganggapnya lebih dari sahabat. Cukup menyesakkan memang, tapi jangan sebut dirinya Matteo jika berhenti sampai disini.
Sama seperti Justin, ia juga akan melakukan apapun untuk membuat Mary hanya ingin memandangnya bahkan menjadikannya pria satu-satunya di hatinya. Seperti dulu, ketika Mary hanya mengingat prince sebagai malaikat pelindungnya.
Matteo akan pastikan, tidak akan ada prince lain di hati dan hidup Mary.
"Coba saja, Tuan. Tapi itu tidak akan berjalan mudah, karena lawanmu adalah aku." Kini ganti Matteo yang terlihat begitu percaya diri.
Aura pertarungan di antara keduanya semakin bertambah sengit, di antara keduanya tidak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya Liam muncul sebagai penengah, pria itu untungnya selalu mendampingi Justin kemanapun dia pergi.
"Baiklah, Tuan-tuan. Sepertinya sudah cukup sampai disini kalian bertengkar seperti anak kecil," katanya sambil menjauhkan kedua pria itu.
"Liam, jangan ikut campur!" Justin memarahi asistennya itu.
"Benar, ini urusan kami!" sambung Matteo setuju.
"Semua tidak akan pernah selesai jika kalian menyelesaikan masalah ini dengan sama-sama egois," katanya menasehati. "Nona Mary saat ini dalam bahaya, karena Miru Yamoto tidak akan membiarkan dia hidup dengan tenang."
"Miru Yamoto?" Matteo nampak mengernyitkan dahinya. "Siapa dia?"
"Putri Mr. Yamada, klien Tuan Justin. Wanita itu adalah salah satu dalang penculikan Nona Mary."
"Tunggu, bukankah yang menculik Mary si Yuri?"
Liam mengangguk. "Memang benar, Yuri bersengkongkol dengan Miru karena dia tahu jika Miru juga memiliki dendam dengan Nona Mary," jelasnya.
Matteo mengurut pangkal hidungnya yang terasa pening. Sebenarnya ada berapa orang yang membenci Mary? Perasaan wanita itu tidak pernah membuat masalah, tapi kenapa ada yang tidak menyukainya?
"Demi Tuhan, kali ini apalagi? Kenapa si Miru itu dendam dengan Mary? Apa jangan-jangan dia suka dengan Justin juga?"
"Kenapa aku? Ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku!" Justin memprotes tidak terima karena tuduhan Matteo. "Miru adalah junior Mary di kampus, wanita itu menyukai dosennya sendiri, tapi dosen itu tidak menyukainya dan ternyata menyukai Mary."
"Ya Tuhan, jadi ini tentang percintaan lagi? Astaga, wanita-wanita itu sangat menyeramkan."
"Dan bagaimana dengan dirimu? Kau sama seperti Miru ataupun Yuri!" Justin mengecap Matteo seperti kedua wanita itu. Matteo langsung tidak terima.
"Jangan samakan aku dengan mereka, sudah jelas kami berbeda."
Justin mendengus keras. "Kau menyembunyikan Mary dariku, jika tidak sama dengan mereka, lalu apa?"
"Karena Mary tidak pantas mendapatkan pria sepertimu tentu saja!"
Justin menoleh untuk memandang Liam. Pria itu dari tadi menyimak.
"Lihatlah, Liam. Bagaimana aku tidak emosi dengan si keras kepala ini?!"
Liam hanya menggelengkan kepalanya melihat kedua pria itu terus beradu argumen. Mereka tidak ada yang mau mengalah sama seperti tadi, dan itu sangat buruk.
"Baiklah, saya disini hanya ingin mengajukan saran," kata Liam menengahi. "Saya memang asisten Tuan Justin, tapi disini saya ingin bersikap netral, karena pada intinya kalian berdua sama-sama ingin melindungi Nona Mary."
"Jika kau sudah tahu, seharusnya kau tidak ikut campur, kan?" Matteo berusaha memojokkan Liam. Namun pria itu tidak goyah.
"Dengarkan saya, bukankah setiap orang berhak berpendapat?"
"Jangan banyak bicara, Liam. Cepat jelaskan biar si keras kepala itu berhenti mengoceh!" ucap Justin menyindir Matteo. Sementara itu, Matteo hanya mendengus.
"Jadi begini, kalian berdua kan memiliki satu tujuan yang sama."
Justin mengernyit. "Maksudmu?"
"Ya, kalian bersatu. Miru tidak bisa diremehkan, ada Mr. Yamada yang notabenenya ayahnya sendiri yang siap berdiri di belakang wanita itu untuk melakuan apapun," jelas Liam. "Jika kalian bersatu, Miru tidak akan mudah mencelakai Mary."
Kedua pria itu terdiam. Haruskah mereka bersatu lagi seperti beberapa tahun yang lalu?