"Jadi, ini rumah baru kita?" tanya anak lelaki itu pada mamanya.
Mamanya nampak mengangguk, lalu mengacak rambut putranya itu dengan sayang. "Apakah kau menyukainya?"
Anak lelaki itu mengangguk. "Aku sangat menyukainya, ma," jawabnya riang, lalu ia berlari mengelilingi halaman rumah barunya sembari mengangkat sebelah tangannya untuk memainkan pesawat mainannya.
Disaat pandangannya mengarah ke balkon sebrang rumahnya, ia menangkap basah sesosok anak gadis tengah memerhatikannya dengan sedikit menyembunyikan tubuhnya pada balik pintu.
Lelaki kecil itu sontak berhenti memainkan pesawat mainannya dan memastikan apakah di balkon tadi memang ada sesosok anak gadis yang dilihatnya, namun saat ia memusatkan pandangannya pada arah pintu balkon itu, tidak ada siapapun disana.
Lantas ia meneguk ludahnya susah payah dan merinding tidak jelas. "Apakah itu tadi hantu?" cicitnya.
Disaat ia sibuk memikirkan nyata atau tidaknya anak gadis tadi, tiba-tiba mamanya memanggil namanya.
"Justin!" Reflek, anak lelaki bernama Justin tadi langsung berlari dan menjawab panggilan mamanya.
"Ada apa, ma?" jawabnya.
"Tolong antarkan kue ini ke tetangga rumah sebrang itu ya? Sebagai tetangga baru, tentu kita harus memberinya bingkisan perkenalan," ucap mamanya menyuruh Justin.
Justin menatap ragu ke arah kue itu yang dibawa mamanya, ia pun mengalihkan pandangannya ke arah sebrang rumahnya, dimana dirinya tadi tidak sengaja mendapati anak gadis misterius di balkonnya.
Kepalanya menggeleng. "Takut."
Lily mengernyit ketika melihat perubahan sikap putranya itu. "Takut? Kenapa?"
"Ada hantu," jawab Justin dengan polosnya.
Lily nampak terkekeh mendengar alasan Justin, lalu ia pun mensejajarkan tubuhnya dengan putranya itu dan mengusap rambutnya pelan.
"Justin, anak lelaki yang pemberani kan?" tanyanya.
Justin mengangguk pelan, Lily tersenyum dibuatnya. "Kalau Justin anak lelaki yang pemberani, berarti Justin juga tidak takut. Justin juga punya Tuhan, kan?"
Untuk kedua kalinya Justin menganggukkan kepalanya. "Punya."
"Jangan takut ya? Hantu itu ada hanya karena imajinasi manusia saja. Jad jangan takut, oke?"
Justin memandang kembali pada balkon sebrang rumah tadi dan memang tidak ada siapa-siapa disana, kemudian ia mengangguk.
"Baik, ma. Justin akan mengantarkan kue itu pada tetangga sebrang rumah."
"Goodjob!" Lily memberikan apresiasi untuk putra semata wayangnya itu. Ia terlihat begitu bangga padanya.
Dan setelahnya, Justin pun melangkahkan kakinya memasuki halaman sebrang rumah itu.
Ia mengetuk pintu rumah itu beberapa kali. "Permisi! Apakah ada orang di rumah?"
Tiba-tiba pintunya dibuka dari dalam dan seorang wanita yang Justin tebak seumuran dengan mamanya nampak keluar dan menyambutnya.
"Iya? Hei, apakah ada yang bisa tante bantu?" tanya wanita itu.
Justin segera menyerahkan kue itu pada wanita tadi. "Ini untuk anda tante buatan mama saya."
Wanita itu nampak terkejut, lalu melihat ke arah dimana rumah Justin berada.
"Kau tetangga baru rumah depan ya?"
Justin mengangguk. "Iya, benar."
"Wah, selamat datang ya. Oh iya, umurmu berapa? Sepertinya kau seumuran dengan putriku,"katanya lagi.
Justin hanya tersenyum sebagai tanggapan. "Sepertinya anakku akan mendapat teman baru, mau kukenalkan padanya?"
Teman baru? Batinnya.
Reflek Justin mengangguk antusias, dirinya ingin mempunyai teman yang menemaninya bermain pesawat-pesawatan dan super hero di rumah barunya agar ia tidak bermain sendirian.
Wanita itu mengacak rambut Justin lalu memanggil anaknya. "Mary, kemarilah sayang."
Beberapa kali Lily memanggil Mary agar datang. Namun putrinya itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Lily menatap Justin. "Sebentar ya? Mary memang anak yang pemalu."
Justin mengangguk, ia pun rela menunggu asal dirinya memiliki teman bermain yang baru.
Tak berapa lama, Lily kembali dengan seorang anak gadis yang berdiri tepat di belakang tubuh wanita itu.
Bukankah dia anak gadis tadi? Batin Justin mengenali.
"Mary, ayo perkenalkan dirimu padanya."
Mary mengintip Justin dari balik tubuh Mary dan kemudian maju pelan-pelan.
Benar kata mama, tadi itu bukan hantu. Batinnya.
Justin juga turut maju dan mengulurkan tangan kecilnya pada Mary. "Hai, namaku Justin. Kau yang mengintipku tadi kan?"
Mary mengangguk pelan. "Hai, aku Mary. Tolong jaga rumah Prince dengan baik ya?"
"Prince? Siapa itu Prince?" tanyanya.
"Dia temanku."
"Teman? Lalu sekarang dia kemana?"
Mary menunduk, ia nampak sedih dan terlihat trauma. Justin yang bisa membaca situasi meraih tangan Mary. "Dia pergi ya? Jangan takut. Ada aku disini. Mulai sekarang kita teman, oke?"
Mary menatap Lily dan wanita itu mengangguk, kemudian Mary pun kembali menatap Justin. "I-iya, teman."
Justin menunjukkan jari kelingkingnya pada Mary, dan gadis itu mengangkat ragu jari kelingkingnya lalu Justin meraihnya dan menautkan jari kelingking mereka untuk saling berjanji.
Tidak berapa lama, susunan memori itu menghilang dan tak beraturan bak benang kusut. Justin mengurut-ngurut dahinya. "Bagaimana mungkin aku melupakan janji itu hanya karena keegoisanku sendiri?"
Justin mengacak rambutnya tidak tahan. "Aku sudah menyia-nyiakan pengakuan sukanya padaku. Sebenarnya aku kenapa?"
Tak terasa air matanya luruh, ia menyesal. Memang penyesalan selalu datang terlambat, meskipun ia menikahi Yuri hanya karena wanita itu saat ini sedang sakit.
Justin mengingat kebodohannya di masa lalu. Mengapa waktu itu ia tidak berpihak padanya? Justin kesal pada dirinya sendiri.
Ia pikir waktu itu Mary dan Matteo akan tetap bersama. Dan pada akhirnya ia tahu. Mary memang tidak benar-benar memilih Matteo karena dia tidak menyukainya.
Berarti, bukankah wanita itu juga memiliki perasaan padanya? Berarti, selama ini bukan hanya dirinya yang menanggung sendirian rasa itu namun juga Mary. Disaat dulu ia berharap Mary bisa merasakan perasaannya, namun saat dia mengungkapkannya justru dirinya membuat pembodohan penolakan yang tak sesuai hatinya.
Setelah mengalami hal yang panjang, baru kali ini ia benar-benar merasa menyesal. Takdir, iya. Takdir menyambungkan mereka.
Sementara itu di tempat lain, Matteo menatap gedung tinggi di depannya itu.
"Jadi, disinilah Justin dan Yuri tinggal?" tebaknya.
Asistennya mengangguk. "Benar, Tuan."
Matteo melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung itu, disaat ia akan sampai pada lantai dimana Justin berada. Para penjaga menghadangnya jalannya.
"Kau siapa? Apakah sudah membuat janji?"
Matteo berdecih. "Mengapa aku harus membuat janji dengan si bodoh itu?"
Penjaga itu berniat akan menarik atteo keluar, namun tiba-tiba segerombolan penjaga Matteo datang dan langsung menghajar mereka.
Tanpa hadangan, Matteo kembali melanjutkan langkahnya untuk menemui Justin di gedung itu.
Saat ia menyusuri lorong yang berbelok, dari arah berlawanan dengannya, ia melihat Justin berjalan bersama seorang pria lain.
Hati Matteo bergemuruh, kemarahannya pada pria itu yang ditahannya beberapa hari ini mencapai klimaksnya sampai ke ubun-ubun.
Ia berteriak kencang. "Justin Martinez, terima ini!!!!"
Ia berlari cepat ke arah Justin dan langsung memukulkan tangannya tepat pada wajah pria itu berkali-kali.
"Aku akan membuatmu menyesali perbuatan yang sudah kau perbuat pada Mary ku," katanya.