"Noe kemana ya? Mengapa sejak pergi ke perpustakaan kemarin dia sulit sekali dihubungi," cicit Mary yang baru saja tiba di kampus.
Ia berusaha menghubungi nomor Noe lagi, namun nomornya tetap belum aktif. Disaat ia melewati lorong, Mary merasa terus-terusan diperhatikan. Dan benar saja, saat ia melihat situasi sekitarnya, anak-anak lain tertangkap basah sedang memerhatikan gerak-geriknya.
Ia mengernyit. "Mengapa mereka memerhatikanku? Apakah ada yang salah dari penampilanku?" Lantas Mary pun melihat penampilanya sendiri dan ia merasa tidak ada yang aneh dari sana. Tidak berapa lama, ia teringat sesuatu.
"Apakah mereka juga mendapat pesan berantai juga?"
Matanya terpejam sejenak, lalu ia menutup wajahnya dengan tangannya berniat untuk masuk ke toilet namun tiba-tiba tangannya ditarik seseorang.
Reflek Mary berteriak cukup keras. "Uwwaaaaa!"
Terdengar desisan seseorang untuk menyuruhnya diam. "Ssstt, Diam," ucapnya sambil membungkam mulutnya.
Mary mendongakkan kepalanya dan mendapati Yuta yang melakukannya, ia berusaha melepaskan diri namun pria itu menyeretnya masuk ke dalam ruangannya.
Setelah menutup pintu, ia melepas bungkaman tangannya.
"Apa yang anda lakukan, Yuta sensei?" pekik Mary waspada.
"Maafkan aku, tapi kupastikan kau aman disini."
"Apa maksud anda? Anda menakuti saya."
Yuta nampak memasang wajah menyesal. Pria itu tidak bermaksud menakuti Mary. Tapi ia merasa harus melakukan hal ini padanya. "Aku tidak bermaksud menakutimu, hanya saja ada sekumpulan anak-anak lain berniat mengerjaimu."
Mata Mary sontak membulat, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Yuta barusan. Sepertinya di kampus itu tidak ada yang sejahat itu.
"Mengerjaiku? Tidak mungkin--"
"Aku serius! Aku tidak ingin kau diperlakukan seperti itu," katanya dengan wajah sarat penuh kekhawatiran.
Mary terdiam. Ia bisa menangkap raut khawatir di wajah Yuta. Namun ia tidak tahu kenapa dosennya bertingkah seperti itu. Apa karena ia mahasiswinya, jadi ia sepeduli itu?
"Yuta Sensei, berita itu tidak benar kan?" tanya Mary memastikan. Tentang pesan berantai yang dikirim ke orang-orang, dan bahkan juga dirinya. Meski bebarengan dengan april mop, Mary merasa jika itu bukan sekedar pesan berantai usil yang biasa.
Yuta menunduk, lalu ia nampak mengusap wajahnya. "Aku memang menyukaimu, Mary," katanya lirih.
Mary yang mendengar itupun mundur beberapa langkah ke belakang, ia membungkam mulutnya merasa tidak percaya atas pengakuan itu. Pasalnya selama ini Yuta tidak pernah menunjukkan perasaannya.
"Sejak kapan-- hmm, maksudku bagaimana sensei bisa menyukaiku?" tanyanya dengan pelan.
"Sejak pertama kali melihatmu, disaat kau memperkenalkan diri di depan kelas."
"Itu berarti empat tahun yang lalu? Hah, bagaimana bisa?" Mary nampak terkejut.
Yuta menganggukkan kepalanya. "Benar, tidak terasa aku sudah lama menyimpan perasaan ini."
"Jadi, mengenai pelecehan--"
Yuta menggeleng. "Tidak, kalau yang itu memang tidak benar. Aku sama sekali tidak pernah melecehkan mahasiswiku sendiri. Bahkan, hanya kau satu-satunya mahasiswi yang aku sukai selama aku menjadi dosen di kampus ini," jelasnya mengaku.
Mary menahan nafasnya. Kenapa rasanya makin terasa canggung, ketika Yuta terus mengakui perasaannya.
"Sensei?"
"Maaf, semua ini gara-gara aku. Jika aku tidak menyukaimu, mungkin kau tidak akan terlibat dalam masalahku."
"Mengapa mereka sebenci ini padaku? Memangnya salah jika seorang dosen menyukai mahasiswinya sendiri?"
"Jadi, kau tidak merasa risih jika aku menyukaimu?" tanya Yuta.
Mary jadi terdiam, tenggorokannya tercekat. Niatnya memberi semangat pria itu justru sekarang seakan-akan menjadi senjata makan tuan untuknya.
"Bukan begitu, maksud--"
"Ah, sepertinya kau sudah memiliki pacar ya?"
Mary menutup wajahnya. "Bukan begitu sensei, hanya saja aku tidak siap. Aku tidak siap disukai maupun menyukai seseorang."
Yuta mengernyitkan dahinya. "Kenapa? Apakah aku bukan tipemu?" tanyanya berani.
"Aku belum siap jatuh lagi."
"Jatuh?"
"Jika kau menyukai seseorang, maka kau harus jatuh terlebih dahulu sebelum akhirnya mencintai. Cinta memang indah, tapi jika sudah jatuh, sakit sekali." Mary mengingat lukanya di masa lalu, dimana perasaannya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Ia bukan hanya kehilangan cinta, tapi juga sahabatnya.
Mendengar pengakuan Mary, Yuta lagi-lagi dibuat terdiam. "Jadi, tidak ada harapan untukku?"
Mary menghela nafas dan berbalik untuk pergi. "Maaf Sensei," katanya.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan kedua orang itu. Ada seseorang tengah bersembunyi dibalik lemari, ia tersenyum.
Aku senang, pada akhirnya gadis itu tidak membalas perasaan Yuta. Dengan begini, aku ada kesempatan untuk mendapatkan Yuta, kan? Batinnya.
****
"Apakah Yuri sudah tiba?" tanya Justin pada Gary.
Pria itu mengangguk. "Dia sedang tidur, Tuan," jawabnya menanggapi pertanyaan bosnya itu.
Justin pun berjalan masuk ke dalam kamarnya dan mendapati wanita itu berbaring miring memegangi perutnya, ia menghela nafas.
"Mengapa keraguan di dalam hatiku semakin menjadi? Mengapa kalimat Michellw terus terngiang di dalam kepalaku? Apa ini yang disebut menyesal?" tanyanya pada diri sendiri. Rasanya semua beban itu tidak kunjung berkesudahan.
Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, Justin membuka pintunya dan mendapati Liam ada di luar sana.
"Ada apa?" tanyanya lirih.
"Tuan, aku bertemu dengannya," katanya melaporkan.
Justin yang tidak mengetahui arah pembicaraan Liam pun mengernyit bingung. "Siapa?"
"Mary Anderson."
Justin membeku di tempatnya, Ya Tuhan, apakah ini yang kau sebut takdir? Batinnya.
Flashback on.
"Aku sama sekali tidak menyangka kau kembali kemari, Liam," ucap pria paruh baya itu.
Liam nampak tersenyum. "Bagaimana saya tidak kembali? Tentu saja kampus ini lah yang selalu saya ingat setiap kali saya datang ke kemari."
"Kau benar-benar tidak bisa move on dari almamatermu ya? Bukankah kau sudah sukses sekarang?" ucap pria itu bercanda.
Dan mereka pun tertawa, lalu saat Liam dan kepala kampus itu berjalan memutari kampusnya dulu saat di Jepang. Tiba-tiba teriakan melengking seseorang mengagetkan mereka.
"Uwwaaaaa!"
"Suara apa itu?" Liam nampak terkejut.
Dan dia langsung berlari mencari darimana sumber suara itu berasal. "Ssstt, diam!"
Liam yang mendengar suara desisan pria itupun langsung terbelalak mendapati adegan di depannya itu, dimana ia melihat seorang pria membungkam mulut seorang wanita.
Bukan tingkah pria itu yang membuatnya terkejut, namun setelah tahu siapa wanita itu. Liam mengenalinya.
Mary Anderson?
Ya, Liam sangat yakin jika wanita itu adalah Mary. Meskipun dia tidak mengenal langsung wanita itu, namun ia pernah melihatnya pada foto yang ditemukannya di dalam laci meja kerja Justin.
Flashback end.
"Chichi!" panggil Noe keras.
Yamada menoleh ketika mendapati putri sulungnya itu masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Ada apa, Noe?"
Noe menyedekapkan tangannya di depan dada. "Apakah chichi akan benar-benar membantu Miru?"
Yamada terdiam. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Noe menghela nafas. "Chichi! Bukankah Noe sudah bilang, jangan terlalu memanjakan Miru. Dia sudah bersikap keterlaluan. Apalagi dia juga melibatkan sahabat Noe."
Yamada menuntun Noe duduk. "Tenanglah Noe, maafkan chichi! Aku paling tidak bisa menolak permintaan adikmu. Kau tau sendirikan? Miru suka melakukan hal nekad jika permintaannya tidak dikabulkan."
Noe mendengus, ucapan Yamada memang benar. Namun, semua ini juga salah Yamada karena selalu memanjakan Miru. Bukan karena dirinya cemburu karena ayahnya terus memanjakan adiknya, namun karena sikap seenaknya dari adiknya itu yang kini berubah menyusahkan.
"Pokoknya Noe tidak mau tahu. Chichi, harus menolak permintaan Miru lagi nanti. Jika chichi terus-terusan memanjakan Miru, Noe tidak bisa membayangkan bagaimana masa depannya nanti."
Yamada menghela nafas, sepertinya Noe memang benar. Dirinya tidak boleh terus-terusan memanjakan putri bungsunya itu, terlebih lagi permintaannya yang terakhir memang cukup keterlaluan.
Bagaimana tidak? Miru menyuruhnya menteror wanita bernama Mary Anderson, yang ternyata sahabat Noe.