"Aku berangkat. Kau benar-benar tidak ingin aku bawakan sesuatu?" tanya Justin pada Yuri.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Cepat pulang, anak kita menunggumu," katanya sambil mengelus perutnya yang belum kelihatan membesar itu.
Justin nampak tertegun, disaat Yuri menyebut anak kita, seberapa kali Justin berusaha menerima itu, hatinya terasa memberontak. Namun kemudian ia langsung menampakkan senyumnya.
"Tentu, pasti akan segera menyelesaikan pekerjaanku disana dan segera pulang."
Yuri mengangguk dan langsung memeluk Justin dengan erat sebagai perpisahan. Justin akan pergi untuk melakukan perjalanan bisnis perusahaannya. Jadi selama itu Yuri akan sendirian di rumah.
"Terima kasih sudah menjadi suami yang baik, sayang. Hati-hati ya," ucap Yuri melepas kepergian Justin.
Mendengar pujian yang diberikan Yuri, Justin hanya menghela nafas perlahan. Rasanya beban berat sedang bertumpu di kedua bahunya. Makin hari jadi makin bertambah beratnya.
"Jangan lupa untuk mengontrol kandunganmu ke rumah sakit ya, jaga kesehatanmu juga."
Yuri mengangguk, suasana sempat menjadi hening, namun Justin dengan pelan menarik Yuri untuk mendekat kepadanya dan ia mengecup sekilas dahi wanita itu.
"Aku berangkat ya," pamitnya sekali lagi, lalu ia masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi.
Sepeninggal Justin, Yuri memandang kepergian mobil itu dengan ekspresi tidak terbaca.
"Aku tahu perasaanmu masih belum sepenuhnya milikku, tapi aku tidak akan menyerah," ungkapnya.
Yuri mengenal Justin dengan baik, dan dirinya tahu hingga saat ini hati Justin masih milik siapa.
****
"Kau bohong, Noe," semprot kesal Mary pada sahabatnya itu.
Noe mengernyitkan dahinya setelah wanita itu datang menemuinya dengan ekspresi marah-marah. "Bohong? Aku tadi sudah memberi isyarat padamu kalau Yuta sensei sudah masuk ke dalam kelas tapi--"
"Bukan itu!" potong Mary cepat. "Itu sudah lain cerita. Maksudku, gosip tentangnya yang katanya suka melakukan pelecehan."
Noe melongo, lalu kemudian terbahak dengan keras setelah mendengar penjelasan Mary.
"Hei, aku sama sekali tidak penasaran darimana kau tau fakta itu. Tapi, yang membuatku penasaran adalah apa kau menanyakan langsung padanya, Mary?"
Mary mendengus keras. "Kau tahu tidak? Sebelum aku tahu tentang semuanya, saat di ruangannya aku hanya bisa berdoa supaya Tuhan melindungiku dan aku tidak dijadikan korban selanjutnya."
Noe tidak bisa berhenti tertawa, menertawakan kepolosan Mary. Ia benar-benar tidak menyangka sahabatnya itu akan mengalami situasi semacam itu.
"Memangnya kau dapat gosip itu dari siapa sih?" tanya Noe.
"Itu dari dirimu, Noe! Demi Tuhan, apakah kau benar-benar berniat ingin menjerumuskan aku?!" ucap Mary memandang Noe tidak percaya.
"Benarkah? Aku tidak mengingatnya karena kemungkinan sudah terjadi dua tahun lalu saat merayakan april-- argh!"
Noe meringis ketika Mary melayangkan pukulan andalannya di bahunya. Namun kemudian Noe tertawa dengan keras.
"Hahaha! Maafkan aku, Mary. Lagian masa kau tidak bisa membedakan benar atau salah."
"Mana aku tahu, aku pikir itu bukan sekedar gosip! Gara-gara kau hari ini aku hampir saja gagal mengerjakan ujianku, jika nanti aku remidi, aku bersumpah akan menghabisimu Noe!!!"
"Hei, mana bisa begitu, aku tadi saja juga kesusahan mengerjakan ujian. Bisa jadi jika nanti kau remidi, kau tidak sendirian."
"Tapi kesempatanku hangus gara-gara kau, belum lagi aku harus mendapatkan rasa malu karena gosip menyebalkan itu. Noe, kau sangat menyebalkan!" Mary tidak berhenti mengomeli sahabatnya itu. Kedua orang itu saat ini seperti kucing dan tikus yang sedang kejar-kejaran.
****
"Selamat malam Mr. Martinez," sapa seorang pria berambut cepak itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Justin.
Justin menyambutnya dengan tak kalah ramah dan membalas sapaannya.
"Selamat malam Mr. Yamada. Bagaimana kabar anda?"
"Kabar baik, anda sendiri bagaimana?" Mr. Yamada balik bertanya.
"Seperti yang anda lihat, saya juga baik-baik saja."
Mereka tertawa. "Baiklah, duduklah. Anggap saja rumah sendiri," ucap Mr. Yamada.
Justin terkekeh. "Saya senang bisa bekerja sama lagi dengan anda, Mr. Yamada. Ini merupakan kesempatan emas."
"Saya pun juga merasa begitu, jadi semoga hubungan kerja sama antara perusahaan kita berjalan langgeng dan sukses."
"Tentu saja," jawab Justin yakin.
"Chichi!!"
Seorang gadis menerobos masuk tanpa permisi meskipun sudah di tahan penjaga namun ia bersikukuh menemui ayahnya.
"Ada apa sayang? Chichi harus menemui tamu lebih dulu."
Gadis itu nampak tidak peduli, kemudian ia nampak membisikkan sesuatu pada Mr. Yamada, tidak memperdulikan Justin yang ada disana.
Mata Mr. Yamada terlihat membulat sempurna. "Apa? Tidak. Chichi tidak mau melakukan apa yang kau bilang barusan."
"Ennnggghhh! Chichi, ayolah. Ya?" rengek gadis itu.
"Tidak, Miru. Tidak," jawab Mr. Yamada menolak permintaan gadis bernama Miru itu.
Miru terlihat memandang Mr. Yamada kesal. " Chichi memang sama saja seperti ane, aku benci kalian semuanya."
Mr. Yamada melirik canggung ke arah Justin. "Maaf, Mr. Martinez. Putri bungsuku ini memang sedikit manja," ucapnya merasa bersalah karena mengabaikan Justin yang ada disan, lalu Mr. Yamada kembali menatap Miru. " Kita bahas nanti saja, sekarang pergilah."
Miru tersenyum puas. "Benarkah? Oke." Dan dia pun pergi dari sana.
"Sekali lagi aku minta maaf, jika kedatangan putriku mengganggumu."
Justin menggelengkan kepalanya. "Tidak, tentu saja tidak, Mr. Yamada. Saya memakluminya," jawab Justin tidak mempermasalahkan interaksi Mr. Yamada dan juga putrinya barusan.
****
"Sudah aku bilang kan, aku tidak tahu keberadaan wanita itu," ucap Yuri lantang pada pria di depannya itu.
"Jangan bohong! Kau pasti tahu dimana Mary sekarang."
Yuri berdecih, ia benar-benar sama sekali tidak menyangka saat dirinya berjalan-jalan ke mall bersama penjaganya, Yuri malah tidak sengaja bertemu dengan pria ini yang langsung menanyaiya tentang Mary.
"Matteo, kau itu sahabat Mary kan? Tentu kau lebih tau dia dibandingkan aku. Jadi mengapa kau malah bertanya padaku?" jawab Yuri dengan ekspresi kesal.
Matteo terlihat mengacak rambutnya frustasi. "Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu dan juga Justin, mengapa dia tidak bisa kuhubungi. Apakah kira-kira mereka sudah menikah?" tanyanya.
Yuri berdecih, lalu tiba-tiba penjaganya mendekati wanita itu.
"Nona, Tuan Justin baru saja menelpon menyuruh anda untuk cepat pulang karena dia khawatir dengan kesehatan anda dan kandungan anda."
Matteo terlihat membeku di tempatnya setelah mendengarkan perkataan dari penjaga itu. "Kau menikah dengan Justin?"
Yuri menatap Matteo yang terlihat begitu terkejut. "Aku mau pulang karena anak Justin dalam kandunganku ini juga menyuruhku beristirahat."
"Apa yang sudah kau lakukan sehingga membuat Justin lebih memilihmu dibanding Mary?"
Yuri menarik sebelah alisnya, lalu berdecih kembali.
"Aku tudak melakukan apapun, Justin sendiri yang datang kepadaku dan melamarku. Jadi, aku juga tidak tahu alasannya." Kemudian Yuri berlalu pergi setelah mengatakan itu.
Sepeninggal Yuri, Matteo mengepalkan tangannya kuat. "Justin, aku pergi bermaksud memberimu kesempatan tapi kau malah menyia-nyiakannya," katanya begitu emosi. "Aku bersumpah, kau akan menyesal Justin! Aku harap aku bisa menemukanmu dan memukul wajahmu sampai babak belur! Iya, Aku akan mencarimu sampai ketemu!"