"Kudengar, Yuta sensei suka sekali melecehkan mahasiswi disini."
"Benarkah?"
"Iya, bisa dibilang ia adalah dosen yang paling dihindari di kampus ini."
"Kenapa?"
"Karena setiap dia tertarik pada seorang mahasiswi yang dia temuinya, dia akan mengajaknya ke ruangannya."
Mary meneguk ludahnya susah payah mengingat percakapannya dengan Noe beberapa waktu yang lalu, kini ia sudah berada di ruangannya karena kejadian di kelas tadi.
Gosip itu tidak benarkan? Meskipun gosip itu sudah beredar dari dua tahun yang lalu, Mary jadi khawatir karena saat ini ia sedang mengalaminya sendiri.
Tenggelam dalam pikirannya sendiri, tanpa ia sadari tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Mary yang menyadari itu pun jantungnya rasanya seperti dipompa dua kali lebih cepat dibanding biasanya.
Bagaimana tidak? Kini ia berada satu ruangan yang sama dengan pria itu yang katanya suka melecehkan mahasiswinya sendiri di ruangannya. Alibinya karena mereka tidak mendengarkannya saat pelajaran, padahal jika dibandingkan dengan dosen-dosen lain, tidak ada yang seperti itu.
Ya, meski itu masih rumor, belum ada kebenaran apapun benar atau tidaknya gosip itu, tentu saja ia tidak ingin menjadi korban selanjutnya.
"Apa kau sudah siap?"
"Tidak!" ucap ary panik. Menyadari perbuatannya, ia pun segera memima maaf. Kenapa ia ceroboh sekali sih? Mary sama sekalo tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
"Maafkan saya, sensei. Maksudnya saya sudah siap!" katanya menjelaskan situasinya saat ini.
Yuta menarik sebelah alisnya ke atas, lalu berjalan mendekati Mary yang terlihat tidak nyaman duduk di kursinya.
Jangan mendekat, kumohon. Batin Mary tidak tenang.
Sebelum terlambat, Mary pun langsung bangkit dari kursinya. "Sensei, sebelum melakukan itu, bisakah saya izin ke toilet lebih dulu?" tanyanya tiba-tiba.
Yuta menatap Mary datar, ekspresinya sulit ditebak, Yuta benar-benar tipikal pria yang misterius. Dan itu sangat berbahaya. Yuta masih saja mendekatinya. Mary merasa jantungnya akan melompat keluar sekarang.
Mary tidak habis pikir, kenapa sepertinya dosennya akan melakukan sesuatu padanya. Ia pun semakin mundur ke belakang karena Yuta semakin mendekatinya.
Tidak, Mary. Kau bisa mengatasi ini. Batinnya meyakinkan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Mary tidak memiliki akses lain dan punggungnya pun menempel di tembok. Mary sudah tidak ada jalan untuk menghindar.
"Yuta Sensei!" panggilnya lirih.
Saat ini tubuh Mary berada di antara kungkungan tubuh Yuta dan juga tembok yang ada di ruangan itu.
"Pasti kau sudah mendengar gosip yang beredar itu, kan?" tanyanya pelan namun terdengar menusuk di telinga Mary.
"Maafkan saya, sensei. Saya tidak bermaksud berpikir demikan."
"Saya mohon jangan lecehkan saya. Saya tidak mau karena saya belum wisuda, saya belum membahagiakan mama saya, dan saya tidak mau menyerahkan keperawanan saya kepada orang yang tidak saya cintai," jelas Mary panjang lebar.
Dan tak berapa lama terdengar kekehan keras di depannya, Mary pun membuka matanya dan mendapati Yuta terbahak sembari memegang perutnya.
"Sepertinya kau sama sekali tidak mengetahui kebenaran gosip dua tahun yang lalu ya?" Yuta terlihat begitu heran.
"Kebenaran? Maksud sensei?"
Yuta menghapus setitik air mata yang jatuh karena banyak tertawa di sudut matanya. "Gosip itu beredar saat april mop."
"April mop? Jadi--"
"Iya, itu hanya trol aneh yang dibuat mahasiswa lain. Banyak mahasiswa merekomendasikan aku sebagai bahan april mop. Jadi setiap bulan april, pasti kau akan mendengar gosip-gosip aneh tentangku," jelasnya.
Mary terdiam, meski rasanya begitu klise mengingat hal ini. Tapi informasi yang diberikan Yuta memang ada benarnya, kabar itu beredar pada april dua tahun lalu. Siapa yang memulai gosip itu? Kenapa tidak ada informasi lanjut jika kabar itu hoax? Kini ia malah harus menanggung malu karena informasi tak bertuan itu.
Setelah ini, Mary akan menemui Noe, karena awal dari gosip ini berasal dari wanita itu. Namun, jika semua kabar mengenai Yuta itu hanyalah april mop, kabar mengenai jika Yuta menyukai salah satu mahasiswi di kampus ini juga sekedar hoax?
"Jadi gosip lain yang mengatakan jika anda menyukai salah satu mahasiswi di kampus ini juga hanya hoax?" tanyanya memastikan. Rasanya sudah nanggung, lebih baik ditanyakan pada orangnya langsung.
Sementara itu, Yuta nampak terdiam di posisinya. Tapi kemudian ia menanggapi pertanyaannya dan mengangguk. Ia pikir Yuta akan marah, tapi ternyata tidak sama sekali.
Mary mendesah lega. "Jika benar semuanya hanya april mop, mengapa sensei bersikap seperti itu tadi? Bikin jantungan saja."
Yuta terkekeh. "Aku sedang memancingmu, lagipula yang menjadi korban gosip itu bukan hanya kau selama ini," jelas Yuta mengingat-ingat kembali.
Mary membulatkan matanya. Yuta mengatakan jika dirinya bukan yang pertama? Pasti itu sangat mengesalkan, ketika dituduh dan dicap hal-hal yang tidak dilakukan orang itu.
"Astaga, jika aku jadi sensei pasti aku menjalani hari-hari yang berat selama ini," ujar Mary prihatin. Yuta mengibaskan tangannya ke udara.
"Eyy, tidak juga. Untuk menjadi dosen memang sudah biasa dihadang masalah-masalah tidak terduga semacam ini, tinggal kitanya saja yang menyikapinya bagaimana."
Mendengar penjelasan dari Yuta, entah mengapa Mary jadi menatapnya kagum. Ternyata Yuta tidak seperti yang dirinya pikirkan selama ini, bahkan dia terlihat begitu dewasa dan bijak.
"Sudah, sudah. Lekas kerjakaan ujianmu, sebentar lagi jam istirahat akan habis."
"Eyy? Memangnya tidak ada penambahan waktu?"
Wajah Yuta terlihat serius. "Tidak ada, ini kenyataan yang kau terima ketika sudah berada di dalam ruanganku."
Siapapun yang sudah mengedarkan gosip itu, Mary ingin mengutuknya. Karena gara-gara itu, ia jadi kehilangan waktunya. Benar-benar hari yang buruk.
****
"Mengapa kau tidak jujur padanya Justin, jika kau tidak memiliki perasaan padanya dulu?"
"Aku tidak bisa Michella, Yuri sakit."
Michella mengernyitkan dahinya. "Dan kau memilih membohonginya selama empat tahun ini? Yuri sangat mencintaimu, Justin. Aku pikir selama ini kau serius dengannya, dan apa ini? Tiba-tiba kau bercerita ingin menceraikannya!!"
Wanita itu nampak marah-marah setelah mendengarkan cerita dari Justin sendiri. Ia sama sekali tidak menyangka jika pria itu selama ini tidak benar-benar mencintai Yuri, dan masih memiliki perasaan pada Mary yang sekarang entah berada dimana.
Justin mendengus, ia memandang sahabat yang selalu siap mendengarkan curahan hatinya selama empat tahun belakangan ini dengan kesal. "Percuma saja aku berbagi kegelisahanku padamu."
"Justin, aku begini karena aku merasa kasihan pada Yuri, dan sekarang apa? Dia hamil. Yuri mengandung darah dagingmu sendiri, Justin."
"Michella, diamlah. Aku tahu dia hamil, makanya aku makin merasa jika ini tidak benar."
"Seharusnya kau berkata begitu sebelum menikahinya."
Michella dan Justin adalah teman kuliah, mereka semakin dekat dan bersahabat. Setelah lulus sekolah, mereka sama-sama kehilangan jejak Matteo dan Mary. Meskipun Justin tinggal di depan rumah Mary, namun ia tidak tahu kemana perginya wanita itu sekarang. Mereka lost contact dan tidak ada kabar hingga kini.
Waktu itu ia mendekati Yuri lagi hanya sekedar membuat Mary cemburu, tapi sejak insiden yang membuat Yuri pingsan karena bertengkar dengan Mary, Justin dan Mary jadi berjarak.
Justin merasakan tepukan di bahunya. "Sebagai sahabat, aku hanya ingin memberi saran. Lebih baik kau teruskan hubunganmu denga Yuri, nanti makin lama kau pasti akan berfokus padanya."
Justin nampak menimang-nimang saran Michella. Wanita itu benar, tapi apakah ia akan sanggup?