"Kau baru saja pulang sekolah?" tanya Matteo pada Mary.
Gadis itu mengangguk, lalu tersenyum ke arahnya. "Apakah kau sudah makan?"
Mary menanyakan beberapa pertanyaan, namun Matteo hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan saja.
Disaat suster masuk untuk memberinya vitamin, Mary pun menyingkir beberapa langkah. Wajah ceria dan juga senyum yang terukir di wajah dan bibirnya yang ia lihat tadi, hilang.
Dan ketika suster itu pergi, wajah cerianya muncul lagi. Matteo membeku di tempatnya. Apakah sudah terjadi sesuatu padanya?
"Mary, bisakah kau menemaniku mencari udara segar di taman?"
"Tentu," jawabnya.
Mary mendorong kursi roda Matteo hingga mereka sampai di taman yang ada di rumah sakit itu.
"Cuaca hari ini sangat bagus ya?" kata Mary mendongakkan kepalanya ke langit.
"Mary?" panggilnya.
"Iya?"
"Apakah kau merasa tidak bahagia menjadi kekasihku?"
Pertanyaan Matteo membuat Mary terkejut. Justib nampak menarik napas dalam, lalu mengadahkan kepalanya ke langit mengikuti Mary barusan.
"Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku," ungkapnya mengutarakan apa yang ia rasakan.
"Matteo, bukan beg--"
"Mary, jika kau tidak mau menerimanya, aku tidak akan marah kok."
Mary tidak kuasa menahan air matanya, ia tak bisa membendung keresahan yang menggelayutinya sejak tadi dan disisi lain ia juga merasa bersalah pada Matteo.
"Mengapa kau menangis?"
"Maafkan aku, Matteo," katanya lirihnya.
Matteo meraih tangan Mary, menggenggamnya bermaksud menenangkannya. "Sudah, jangan menangis lagi, ya?"
"Matteo jangan berusaha menghiburku, kau malah membuatku semakin merasa bersalah."
Matteo terkekeh. "Tidak perlu merasa bersalah, aku baik-baik saja kok." Lelaki itu kemudian mengusap air mata Mary yang mulai mengering.
"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini," ujar Mary dengan kata tersendat-sendat. "Mungkin ini terdengar jahat untukmu, tapi aku tidak bisa menolakmu karena aku tidak ingin membuatmu kecewa."
"Dasar gadis bodoh! Jika kau tidak menginginkannya, maka berkatalah tidak. Kalau begini siapa yang sakit? Dirimu sendiri."
"Tapi aku tidak ingin mengecewakanmu," jawabnya.
"Pikirkan dirimu lebih dulu dibandingkan orang lain, Mary. Apapun yang dipaksakan tidak akan pernah berakhir baik." Matteo menasehatinya.
"Maaf."
"Apakah kau ada masalah dengan Justin?" tanya Matteo.
Mary terlihat terdiam. Padahal ia tidak menceritakannya pada Matteo, bagaimana dia bisa tahu?
"Mary?" Matteo memanggilnya. "Benarkan? Ada sesuatu yang sudah terjadi di antara kalian?"
Mary terlihat menghela nafas. "Dia menghindariku hari ini, bahkan dia juga bermesra-mesraan dengan Yuri lagi. Lelaki itu sangat plin plan."
Matteo yang mendengar itu nampak terkekeh. "Kalian berdua sangat lucu."
"Lucu?"
"Matteo kemarin tahu aku menyatakan perasaanku padamu, dia pergi begitu saja. Kalian itu suka cemburu satu sama lain, tapi masih tidak sadar dengan perasaan masing-masing."
"Maksudmu Justin memiliki perasan... tidak mungkin," ucap Mary tidak percaya.
Matteo mengangguk. "Dia juga menyukaimu."
Meskipun Matteo masih tidak rela karena pada akhirnya ia kalah , namun melihat Mary tersenyum bahagia pun ia juga turut bahagia.
Ya, mengalah karena cinta memang terdengar konyol dan bodoh. Tapi, buat apa dia tetap berada di sampingnya, namun hatinya bukan untuk kita? Rasanya akan dua kali lebih sakit. Lebih baik lepaskan dia dan biarkan dia bersama cintanya yang lain.
Cinta bukan hanya mengajarkan ketulusan dan kesetiaan, tapi kedewasaan.
Dan Mary mengerti sekarang, Mary memang bukan cintanya. Hari ini ia juga sudah memutuskan untuk mengikuti permintaan kedua orang tuanya beberapa hari yang lalu untuk pulang.
****
"Sebenarnya dia kenapa sih? Aku sudah mengikuti semua saran Matteo, tapi Justin tetap tidak mau menjawab telepon atau juga pesanku."
Sepertinya dia memang benar-benar marah padanya, namun Mary harus menahan dirinya sendiri. Jika ia sama marahnya dengan lelaki itu, maka masalah mereka tidak akan menemukan jalan keluarnya.
Hari ini pun Mary berangkat ke sekolah dengan menaiki bus, mungkin ia bisa menemui Justin saat di sekolah nanti.
Namun, sesampainya di sekolah, Mary mendapati Justin sedang berduaan dengan Yuri. Kini ia jadi dibuat bingung, jika memang Justin mendekati gadis itu lagi hanya untuk membuatnya cemburu, lantas kenapa saat tak ada dirinya pun mereka tetap bersama?
"Baiklah, tenang Mary. Mari selesaikan permasalahan ini."
Dengan langkah yakin, Mary mendekati Justin dengan Yuri.
"Bisakah kita berbicara sebentar saja?"
"Kenapa sih, mengganggu saja!" Yuri nampak tidak suka dengan kedatangannya.
Justin menatap Mary. "Disini kan bisa," jawabnya acuh.
"Hanya empat mata, aku dan kau saja!"
"Mary, aku tidak bisa. Tolong hargai Yuri, karena sekarang dia adalah kekasihku." Justin nampak serius dengan perkataannya. Sementara itu Yuri tersenyum menang dan menggelayut manja pada lengan Justin.
"Aku tidak peduli. Mau kau kau salto juga aku tidak memperdulikannya. Kita hanya mengobrol sebentar, ap susahnya?"
"Kalau begitu, mari berbicara disini saja."
Mary menghela nafas, turunkan egomu! Turunkan egomu! Turunkan egomu! Batinnya menenangkan diri.
"Baiklah jika itu maumu, maka aku akan mengatakannya sekarang tepat di depan gadis ini!" ucap Mary sambil menunjuk ke arah Yuri.
Justin menarik sebelah alisnya. "Silahkan."
Mary berkali-kali meyakinkan dirinya, setelah ia mengatakan hal ini pasti Justin akan menanggapinya lagi. "Apakah kau menyukaiku?"
Justin nampak terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Mary, namun ia segera menyembunyikan ekspresinya, sementara Yuri langsung mendorong tubuh Mary sampai tubuhnya terhempas beberapa langkah ke belakang.
"Apa maksudmu? Apakah kau berusaha menggoda pacarku di depan mataku sendiri?" Yuri terlihat melabrak Mary, hal itupun mengundang perhatian anak-anak lain.
Mary yang merasa tidak terima dengan sikap Yuri, kali ini ganti dirinya yang mendorong tubuh gadis itu, dan diluar dugaan punggung Yuri menabrak tembok dengan cukup keras hingga membuatnya pingsan.
Semua orang terkejut tidak terkecuali Justin dan juga Mary. Gadis itu membungkam mulutnya tak percaya atas apa yang dilakukannya barusan.
"Yuri!!" Justin berteriak memanggil gadis itu. Ia terlihat begitu khawatir dan panik.
Justin terlihat berjongkok berusaha membangunkan gadis itu, namun sepertinya Yuri memang benar-benar pingsan.
Ia pun langsung membopong tubuh Yuri dan membawanya ke Uks, namun sebelum pergi ia terlihat memandang ke arah Mary yang terlihat masih begitu terkejut.
"Kau bertanya padaku, apakah aku menyukaimu?" katanya. "Jawabannya tidak, aku tidak menyukaimu."
Setelah mengatakan itu, Justin pergi dari sana meninggalkan Mary yang memandang kosong ke tempat dimana Yuri pingsan tadi. Pikirannya melayang tak karuan. Bahkan meskipun banyak anak-anak lain menyorakinya pun ia tidak peduli.
Tiba-tiba ponselnya yang berada di sakunya berdering, dengan tangan gemetar ia membukanya.
Kejutan lain yang sama sekali tidak ia duga, Matteo pamit pergi. Hari ini adalah hari yang tidak akan pernah bisa Mary lupakan, dua lelaki yang begitu perhatian dan berjanji akan selalu ada di sisinya, pada kenyataannya sama-sama tidak menepati janji mereka.