Mary baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Matteo, kini ia sedang membaringkan tubuhnya ke atas ranjang karena merasa lelah dan ingin beristirahat sejenak sebelum mandi.
Disaat berbaring, tatapannya menerawang ke atas langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang mengingat kembali kejadian tadi disaat Matteo memintanya untuk menjadi kekasihnya.
Mary menghela nafas karena dadanya seperti merasa sesak tanpa alasan, lalu matanya terpejam.
"Sudahlah Mary, apa yang kau pikirkan, huh? Kau yang membuat janji itu dan disaat Matteo mengatakan permintaannya, tentu saja kau harus mengabulkannya. Kau sudah melakukan hal yang benar, karena janji harus ditepati," ucap Mary pada dirinya sendiri.
Kemudian ia membuka matanya, namun aneh. Langit-langit kamarnya yang awalnya ia lihat berwarna putih tadi berubah bak menjadi layar Led besar yang menampilkan wajah Justin.
Seketika ia terdiam dan langsung terduduk.
"Bukankah Justin tadi juga berada di rumah sakit?" cicitnya terkejut.
Mary menepuk dahinya yang setelah mengingat itu. "Ah, mengapa aku bisa lupa sih?"
Kemudian ia mengambil ponselnya dan mendial nomor lelaki itu untuk menghubungi dan menanyakan keberadaannya.
Namun beberapa kali ia mencoba menghubunginya, lelaki itu tidak mengangkatnya.
"Jangan-jangan Justin marah karena hal ini."
Mary langsung menuju balkon kamarnya yang bersebrangan dari balkon kamar Justin. Ia ingin memastikan apakah lelaki itu sudah pulang atau belum.
Namun sayangnya keadaan kamar Justin saat ini tanpa penerangan, sepertinya Justin belum pulang. Mary kembali berusaha menghubunginya.
Dan entah sudah berapa kali ia menghubungi lelaki itu, namun masih saja nihil, Justin tidak mengangkat teleponnya sama sekali.
Akhirnya, Mary pun memutuska masuk ke dalam kamarnya lagi. Karena usahanya malam ini sia-sia, Mary akan mendatangi lelaki itu besok pagi.
Sementara itu, tanpa sepengetahuannya, dari kamar Justin, ada yang tengah memerhatikannya dengan ponsel yang baru saja berhenti berdering di genggaman tangannya.
Justin menghela nafas panjang setelah Mary menutup rapat tirai kamarnya, ia menatap kembali layar ponselnya yang tertera belasan panggilan tidak terjawab dengan nama Mary.
****
"Ma, aku berangkat," ucap Mary pamit kepada Anne.
"Tunggu, kau tidak sarapan dulu?" tanya Anne.
Mary menggelengkan kepalanya. "Nanti saja di kantin, sekarang aku mau ke rumah Justin dulu mau berangkat bersama."
Dahi Anne mengernyit. "Berangkat bersama? Bukankah hari ini jadwal Matteo menjemputmu?"
Mary menepuk dahinya, ia lupa tidak mengatakan pada Anne tentang kejadian yang dialami Matteo kemarin. Dan ia juga lupa tentang jadwal itu.
"Hmm, hari ini Matteo tidak bisa menjemputku ma karena dia kecelakaan."
Anne terlihat terkejut. "Kecelakaan? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" tanyanya khawatir.
"Ma tenanglah, Matteo sudah baik-baik saja, lelaki itu pasti akan segera pulih. Minta doanya ya, ma," ucap Mary menenangkan Anne.
Anne mendesah lega, ia pun mengangguk. "Tentu saja, dimana ia dirawat? Aku ingin menjenguknya."
"Matteo di rawat di rumah sakit A, mama mau kesana sendiri atau dengan Mary nanti saja?"
"Sepertinya aku datang sendiri saja."
Mary mengangguk. Ia pun kemudian pamit kepada Anne untuk berangkat. Mary juga ingin memastikan apakan Justin sudah berangkat atau belum, sekigus membahas kejadian semalam lebih lanjut.
"Hmm, hati-hati ya," jawab Anne.
"Justin?"
"Justin?!"
"Justin?"
Mary berhenti memanggil Justin karena tidak kunjung mendapatkan tanggapan. Ia jadi heran, kenapa lelaki itu susah sekali dijangkau sejak semalam.
"Apa dia sudah berangkat?"
Rumah Justin terlihat sepi karena memang kedua orang tua Justin juga sedang tidak ada di rumah selama beberapa hari ini, karena sedang pergi ke rumah kerabat dekatnya, jadi hanya ada Justin yang ada di rumahnya sendirian.
"Justin?!" Mary masih berusaha memanggil nama lelaki itu. Namuan masih tidak ada tanggapan.
Meski ia tidak berpikir Justin sudah berangkat, Mary pun segera menghubunginya lagi. Kali ini ia hanya mengirimi lelaki itu pesan.
Seketika dahinya mengernyit ketika chatnya hanya dibaca saja oleh Justin, Mary memandang ponselnya tidak percaya. Apa ini? Apakah Justin baru saja mengabaikannya?
"Dia mau membuatku kesal atau gimana sih?" kesalnya. "Apa susahnya membalas pesanku sebentar?"
Kemudian ia mematikan ponselnya dan memutuskan ke sekolah menaiki taksi, ya meskipun ia akan menunggu lama karena disekitar jalan raya kompleknya jarang dilewati transportasi umum.
Justin baru saja membaca pesan dari Mary, ia tidak ada niatan untuk membalasnya karena ia masih kesal dengan insiden kemarin sewaktu di rumah sakit.
Pagi ini ia berangkat duluan, entahlah, Justin merasa tidak ingin bertemu Mary lebih dulu.
"Kak Justin," panggil Yuri tiba-tiba mendekatinya tanpa merasa malu apa yang sudah terjadi sebelumnya.
Justin berdecih. "Sepertinya urat malumu sudah terputus."
Yuri terlihat tidak memperdulikan perkataan Justin. "Kudengar, Matteo kemarin kecelakaan. Apakah Mary membolos hari ini hanya untuk dia?"
"Mau dia membolos atau tidak, memangnya apa urusannya denganmu?" Justin nampak begitu kesal dengan sifat kepo Yuri.
Yuri menyedekapkan tangannya di depan dada. "Aku hanya ingin tahu."
"Tanyakan saja dengan orangnya langsung. Kenapa bertanya padaku?!" jawab Justin dengan ketus.
"Kan kak Justin dekat dengan Mary, pasti kakak juga tahukan?"
"Sebaiknya kau pergi dari hadapanku sekarang, aku benar-benar muak denganmu."
Yuri terlihat tidak mengindahkan kalimat peringatan dari Justin. "Tunggu, apakah sudah terjadi sesuatu di antara kalian? Kak Justin jujur saja."
Justin menggenggam tangannya kuat sampai jari kukunya memutih, ia berniat ingin membentak Yuri. Namun dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat Mary baru saja tiba ke sekolah.
Entah mendapat dorongan darimana, tiba-tiba ia menarik pergelangan tangan Yuri dan langsung memeluknya sehingga kini ia menghadap tepat ke arah Mary.
Dan bertepatan dengan itu, Mary sedang memandang ke arah Justin. Gadis itu terdiam di tempatnya.
Justin menatap Mary yang berdiri m tak jauh darinya, lalu ia mengusap punggung Yuri lembut.
"Apakah kau mau menjadi kekasihku lagi, Yuri?" bisiknya, namun masih bisa di dengar oleh Mary.
Tiba-tiba Yuri melepas pelukan Justin dan menatap lelaki itu tidak percaya, apakah Justin serius?
Yuri merasa terharu karena keinginannya yang ia pikir akan sulit digapainya lagi, ternyata bisa terjadi hari ini.
"Tentu saja, aku bersedia, " jawabnya tanpa keraguan, lalu kembali memeluk tubuh Justin lebih erat.
Mary yang mendengar semuanya, entah mengapa hatinya rasanya sakit menyaksikan itu. Jadi, alasan dibalik pesannya hanya dibaca saja oleh lelaki itu adalah ini?
Ia benar-benar tak habis pikir, lalu kemudian ia terus melanjutkan langkahnya dengan melewati Justin dan Yuri yang masih berpelukan.
Seberapa kali Mary menekan hatinya, namun hatinya seakan mengatakan jika ia sangat kecewa dengan Justin saat ini.
Sepeninggal Mary, Justin melepaskan pelukan Yuri paksa lalu menatap punggung Mary yang semakin menjauh pergi.
Apa sekarang kau bisa merasakan sakitnya hatimu sama seperti aku kemarin, Mary? Batin Justin.