Chereads / A LOVER (FRIENDZONE) / Chapter 12 - Chapter 12

Chapter 12 - Chapter 12

Michella terus menatap seorang gadis yang terus menangis tersedu disisi teman Matteo. Perasaannya bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya gadis itu, namun tidak berapa lama pintu ruang dimana Matteo dirawat dibuka dari dalam dan otomatis membuatnya terbangun termasuk Justin dan gadis itu.

"Kondisi Tuan Matteo sudah mulai stabil, sekarang kita hanya bisa menunggu ia siuman."

Michella dan Mary sama-sama mendesah lega, lalu kemudian Mary mengajukan pertanyaannya pada dokter.

"Bisakah saya melihat keadaannya?"

Dokter itu mengangguk. "Tentu saja, tapi hanya boleh untuk satu orang. Yang lainnya harus menunggu di luar."

Mary mengangguk, lalu kemudian ia masuk ke dalam ruang inap Matteo meninggalkan Justin dan Michella.

Michella bisa melihat ada gurat raut kekecewaan di wajah Justin, lantas ia pun berjalan mendekatinya.

"Apakah dia kekasihmu?" tanyanya

Justin yang awalnya menunduk kini mengangkat kepalanya guna menatap Michella, ia menggeleng.

"Dia sahabatku."

Michella nampak beroh ria, lalu ia kembali menatap Justin. "Jadi, dia pacar Matteo?"

Justin nampak mendengus. "Bukan."

Michella mengatupkan bibirnya ketika merasakan jika Justin tidak menyukai pertanyaan terakhirnya yang menanyakan hubungan antara gadis itu dan Matteo.

"Hmm, maaf jika--

"Bisakah kau diam? Mengapa terus mengajakku mengobrol sih?" semprot Juston kesal, lalu kembali duduk ke kursi tunggu.

Michella membulatkan mulutnya menjadi seperti huruf 'o', ia sama sekali tidak menyangka jika lelaki itu sangat begitu sensitif dan mudah marah.

Dengan decakan kesal, ia juga kembali duduk di kursi tunggunya tadi yang bersebrangan dari kursi tunggu Justin.

Michella baru saja menutup pintu ruang inap Matteo dan ia sudah disambut dengan pemandangan yang mengiris hatinya.

Di sebuah brangkar di depannya, disana ada Matteo yang terbaring lemah dengan alat infus yang menancap otot nadinya dan alat bantu pernapasan yang berada tepat menutup hidungnya.

Tak terasa air matanya kembali menitik, hatinya teremas sakit. Mary sama sekali membayangkan Matteo dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia jadi merasa bersalah. Ia merasa tidak bisa menjadi sahabat yang baik.

Dulu Matteo menjaganya dengan baik, tapi Mary tidak bisa menjaganya balik dengan baik. Matteonya yang malang.

"Matteo," lirihnya.

Ia pun berjalan dengan langkah pelan dan pelan. Disaat tiba di sisi samping tubuh Matteo, ia masih belum percaya dengan apa yang dirinya saksikan saat ini dengan kedua mata kepalanya sendiri.

"Matteo," panggilnya lagi dengan suara terdengar semakin lirih.

Namun tidak ada sahutan seperti biasanya jika ia memanggil iseng nama lelaki itu dan hanya suara pembaca detak jantung yang sepertinya selalu siap menjawabnya.

Tit! Tit! Tit!

Mary membungkam mulutnya sendiri menahan isakan tangis yang mungkin bisa didengar oleh lelaki itu yang terbaring kritis. Mary dengar, jika orang dalam keadaan kritis, mereka masih bisa mendengar suara di sekitarnya. Makanya Mary tidak ingin membuat Matteo sedih.

"Aku benci melihatmu seperti ini dan entah mengapa aku juga membenci diriku sendiri yang tak bisa menjagamu dengan baik," ucapnya menyalahkan dirinya sendiri.

Tangannya meraih tangan Matteo dan menggenggamnya erat berusaha memberi kekuatan agar dia mau tersadar dan mampu melewati masa kritisnya.

"Aku berjanji, jika kau sadar nanti. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Apapun keinginanmu, aku akan mengabulkannya untukmu."

Tak berapa lama, ia merasakan pergerakan pada tangan Matteo yang sedang ia genggam. Mary membeku, kemudian tanpa diduganya kedua mata Matteo membuka setelahnya. Apakah ini yang disebut keajaiban?

Antara terkejut dan senang dengan keajaiban ini, Mary hanya menganga lebar seakan tidak percaya doanya di dengar Tuhan.

"Matteo, kau sudah siuman?"

Matteo tidak menjawab dan masih diam menatap Mary, lalu gadis itu berteriak memanggil dokter.

"Dokter! Dokter! Matteo sudah siuman!"

Disaat ia akan berlari keluar memberitahu, tangannya ditahan Matteo.

Mary menatap tangannya lalu beralih menatap Matteo yang sebelah tangannya membuka alat bantu pernapasannya.

"Matteo, apa yang kau lakukan?"

"Mary, apakah kau serius dengan ucapanmu tadi yang ingin mengabulkan semua permintaanku?"

Mary terdiam. "Kau mendengarnya dengan jelas?"

Matteo mengangguk, Mary meraih tangan Matteo kembali. "Tentu saja, katakan permintaanmu."

"Apapun?"

Mary mengangguk. "hmm, apapun."

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar dan bertepatan dengan itu Matteo langsung mengatakan permintaannya.

"Jadilah kekasihku, aku mencintaimu."

Mata Mary sontak membulat sempurna, sementara itu Justin dan Michella yang melihat itu sama-sama terdiam di tempat mereka.

Mary meneguk ludahnya susah payah. "Baiklah, aku bersedia menjadi pacarmu."

Matteo tersenyum, lalu melihat ke arah Justin yang masih diam namun tak berapa lama ia berlari pergi dari sana tanpa sepengetahuan Mary.

Sepeninggal Justin, Michella menatap Matteo yang kini memeluk Mary. Tanpa berkata-kata ia juga pergi dari sana.

"Terima kasih." Matteo mengatakannya dengan tulus.

Dalam pelukan Matteo, pikiran Mary melayang-layang dan saat ini hanya ada satu orang yang berada dipikirannya.

Justin.

****

Justin menggenggam tangannya erat dan kuat sampai jari kukunya berubah memutih, kemudian ia berteriak kencang-sekencangnya.

"Mengapa hal ini harus terjadi padaku?"

Ia meninju udara kosong didepannya. "Ini tidak adil!"

Disaat Justin sibuk memaki, tanpa disadarinya ada Michella yang memerhatikannya dari jauh. Ia diam, mungkin saja jika dijabarkan perasaannya saat ini kurang lebih sama seperti apa yang Justin rasakan.

Ya, entah sejak kapan. Ia menyukai Matteo. Padahal ia baru dua kali bertemu dengannya.

Kakinya melangkah mendekati Justin, lalu tiba-tiba ia memeluk tubuh lelaki itu dari belakang.

"Tenangkan dirimu, Justin. Tenanglah." Michella mengatakan hal itu sambil menangis.

Justik terkejut disaat ia dipeluk Michella dari belakang. "Lepaskan aku," ucapnya dingin.

Michella semakin terisak. "Tidak bisakah kita berada diposisi ini sebentar saja? Aku juga sama sepertimu, patah hati."

Justin menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan?" tanyanya.

Michella nampak menghirup ingusnya. "Apanya?"

Justin berdecak. "Bisakah kau tidak usah menghirup ingusmu itu saat sedang berbicara denganku?"

"Maaf, aku banyak memproduksi ingus saat menangis." Dan ia melakukannya lagi.

Justin berusaha melepaskan diri namun Michella enggan melepaskannya dan justru semakin mempererat pelukannya.

"Sebentar lagi."

"Tidak, kau jorok sekali sih. Lepaskan aku."

Kini ganti Michella yang berdecak. "Coba kau menangis, pasti kau juga akan ingusan sepertiku. Apalagi hidungmu juga mancung, pasti kau lebih banyak memproduksi banyak ingus daripada aku."

"Ck. Hentikan. Kau benar-benar jorok."

Justin pun akhirnya berhasil melepaskan diri.

"Itu yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis. Aku tak mau melihatmu menangis lagi karena kau ingusan."

"Ish! Kau memang tidak punya perasaan. Jika aku tidak menangis, aku tidak akan bisa menahan rasa sakit didadaku."

Justin mendengus. "Memangnya aku peduli?" Lalu ia berlalu pergi.

"Hei, mau kemana? Ikut. Jangan tinggalkan aku sendirian." Michella berlari mengikuti Justin, namun sayang lelaki itu sudah melaju pergi dengan motornya.

Michella menghentak-hentakkan kakinya kesal. "Awas ya, akan kubalas kau nanti."