"Tumben sekali mengajakku bertemu, apakah kak Justin merindukanku?" Yuri terlihat begitu senang ketika Justin menghubunginya lebih dulu.
Justin berdecih. "Cih, merindukanmu? Bukankah kau terlalu banyak berkhayal? Buat apa aku merindukan gadis rubah seperti dirimu?"
Mata Yuri seketika melotot, tentu saja ia tidak menyangka Justin akan mengatakan kalimat yang terdengar kasar itu.
"Kenapa kak Justin kasar sekali?" Yuri memasang ekspresi seperti akan menangis.
"Tidak usah sok sedih, kau pikir aku tidak tahu siapa yang menyebarkan berita itu?" Justin menuduh gadis itu dengan langsung.
Hal itu membuat Yuri terkejut, namun ia segera menyembunyikan ekspresi keterkejutannya segera.
"Apakah kak Justin menuduhku? Kak, aku tidak selicik itu," jawabnya berusaha menampik tuduhan Justin.
"Kau pikir aku akan mempercayaimu? Bagiku penyebar berita itu adalah kau, Yuri!"
"Kak, jangan menuduh orang tanpa bukti!"
"Tapi kenyataannya memang begitu, kan?"
Yuri menggenggam tangannya sampai jari kukunya memutih. "Mengapa kau terus membela gadis itu? Aku heran, sebenarnya apa yang sudah ia lakukan padamu sehingga kau lebih memilih dia daripada aku."
Akhirnya dia menunjukkan dirinya yang sebernarnya. Batin Justin.
"Karena aku mencintainya," jawabnya tanpa ada keraguan.
"Mencintai? Jadi selama ini saat kita berpacaran--"
"Ya, kau benar. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padamu," kata Justin memotong perkataan Yuri. "Dan kau tahu apa kenyataannya? Aku menerima pernyataan cintamu untuk membuat Mary cemburu."
"Kak Justin, kau benar-benar jahat!" Yuri begitu merasa sakit hati ketika mendengar pengakuan Justin.
"Tidak, aku tidak jahat. Kau yang bodoh. Jadi aku memperingatkanmu, jangan ganggu aku dan Mary lagi. Jika aku tahu kau melakukan hal semacam ini lagi, aku tidak akan tinggal diam." Justin mengancam Yuri. Dan setelahnya ia pun pergi dari sana.
****
"Apakah dia sudah pulang?" Justin memandang kamar Mary dari balik kamarnya.
Karena hari ini bukan jadwalnya bersama gadis itu, jadi ia tidak tahu kegiatannya. Biasanya secara diam-diam dirinya melihat gadis itu tanpa sepengetahuannya, tapi karena hari ini ia juga sibuk untuk membersihkan berita yang sudah beredar itu. Ya, sesuai janjinya ia akan melindungi gadis itu.
Tiba-tiba, ada taksi berhenti di depan rumah Mary. Ia langsung keluar menuju balkon untuk melihat siapa yang ada di dalam taksi itu. Justin mengernyit disaat mendapati Mary lah yang menaiki taksi itu.
"Mary pulang sekolah naik taksi?"
Apakah sudah terjadi sesuatu? Dimana lelaki itu? Kenapa kau pulang sendirian?
Justin secara beruntun mengirimi Mary pesan. Tidak berapa lama pesannya pun dibalas.
Dia sakit.
Justin mengernyitkan dahinya. Sakit? Perasaan saat dia bertemu dengan Matteo di sekolah tadi dia dalam keadaan baik-baik saja. Justin pun mengetikkan pesan balasan untuk Mary.
Kenapa kau tidak menghubungiku jika lelaki itu tidak bisa mengantarmu? Mary kemudian terlihat membalas pesan Justin lagi.
Aku tadi mengejarmu sampai depan gerbang. Tapi kau tidak mendengarkan aku.
Mata Justin seketika membulat setelah membaca pesan terakhir Mary. "Ah, jadi yang memanggilku tadi Mary, kukira Yuri."
Flashback on.
Justin segera menuju ke parkiran sekolah untuk mengambil motornya setelah memperingatkan Yuri. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Mary nya.
Karena hari ini Mary bersama Matteo, ia memilih untuk segera pulang. Semoga ketika ia sampai rumah, Mary juga sudah pulang.
"Justin!"
Lelaki itu mendengar namanya dipanggil, Justin mengabaikannya karena ia pikir Yuri pasti mengejarnya karena tidak terima. Setelah memakai helmnya, Justin segera melajukan motornya pergi.
"Justin, jangan tinggalkan aku!" Mary memandang punggung Justin yang semakin menjauh dengan kesal.
Flashback end.
Justin memukul kepalanya sendiri setelah mengingat kejadian tadi. "Ah, aku pikir tadi itu Yuri, seharusnya aku tidak perlu terburu-buru tadi," ucap Justin dengan penuh penyesalan.
****
"Oh, kau kan lelaki yang bertengkar dengan temanmu waktu itu. Kita bertemu lagi." Michella terlihat senang setelah bertemu dengan Matteo.
Sementara itu Matteo berdecak. "Dia bukan temanku," jawabnya dingin.
Michella mempoutkan bibirnya kesal setelah mengetahui tanggapan dari Matteo. "Aku kan hanya bertanya."
"Itu bukan bertanya namanya, tapi ikut campur urusan orang lain."
"Astaga, negatif thinking sekali. Ya sudah, aku pergi saja kalau begitu."
Ketika Michelle berbalik, Matteo menahan lengan gadis itu.
"Jangan," tukas Matteo menghentikannya pergi.
Michella memandang tangannya yang ditahan Matteo. Situasi semacam apa ini?
"Apalagi?"
"Temani aku," jawabnya diluar dugaan.
Michella nampak mengerjapkan manik matanya beberapa kali. "Jangan harap," katanya sambil melepas paksa tangan Matteo di lengannya dan kemudian berlalu pergi.
Sembari berlari menjauh, Michella menyentuh dadanya yang terasa berdegup cepat.
"Astaga, ada apa denganku?"
Sepeninggal Michella, Justin mengadahkan kepalanya ke atas lalu mengusap rambutnya.
"Kau pikir akan ada yang peduli padamu?" ucapnya kepada dirinya sendiri.
****
"Justin, aku duluan ya. Aku ada piket." Mary segera masuk ke dalam kelasnya setelah turun dari motor Justin.
Sementara itu Justin hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mary. Dan ketika menyadari jika gadis itu masuk dengan masih memakai helmnya, Justin berteriak menghentikannya.
"Mary, lepaskan helm mu dulu!!"
Namun Mary sudah tidak bisa mendengarkan lelaki itu. Bahkan kini ia sudah berjalan menuju kelasnya berada.
"Sepertinya aku sudah telat. Nanti kalau aku belum piket dan sudah ada gurunya bagaimana?"
Mary bergegas menuju kelasnya namun tepat dari arah berlawanan, ia melihat Matteo.
"Matteo-- Dia kenapa sih?"
Matteo tidak mendengarkan sapaannya, lelaki itu bahkan berlalu begitu saja. Karena sudah tidak memiliki banyak waktu, ia pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam kelasnya. Namun tidak berapa lama ia disambut oleh tawa keras anak-anak lain.
Mary memandang mereka dengan bingung. "Kenapa kalian menertawakanku?"
Irene yang melihat itu berdecak, lalu melepas helm yang masih Mary pakai.
"Ini alasan mereka menertawakanmu!"
"Oh, astaga." Mary terkejut mengetahui hal itu, seketika ia jadi mengingat Matteo yang berpapasan dengannya tadi. "Apakah lelaki itu tadi tidak membalas sapaanku karena tidak mengenaliku?"
Mary tidak tahu, dan untuk memastikannya sendiri, ia pergi menemui Matteo di kelasnya saat jam istirahat.
"Apakah Matteo ada disini?" tanya Mary pada teman sekelas lelaki itu.
"Dia pergi keluar sejak bel istirahat berbunyi tadi."
Mary mengangguk mengerti, lalu pergi dari sana melanjutkan mencari keberadaan Matteo.
"Dia kemana ya? Jangan-jangan ada di UKS." Pasalnya Mary sudah mencari keberadaan Matteo ke seluruh penjuru sekolah, namun ia tidak bisa menemukannya. Mungkin saja dia masih sakit dan memutuskan pergi ke UKS.
Dan Mary harus menelan pil pahit setelah tidak mendapati Matteo disana. Ia jadi panik, sebenarnya dia kemana sih?
Hari itu berlalu hingga bel pulang sekolah berbunyi. Mary tidak kunjung menemukan keberadaan Matteo, bahkan teman sekelas lelaki itu memberikan tas milik Matteo kepadanya karena dia tidak kembali ke kelas dan bahkan meninggalkan tasnya.
Mary yang merasa semakin khawatir dengan keadaan Matteo pun menemui Justin. Karena lelaki itu pasti sudah menunggunya di parkiran.
"Bukankah itu tas Matteo?" tanya Justin.
Mary mengangguk. "Dia meninggalkan tasnya di kelas. Matteo tidak biasanya membolos seperti ini."
"Matteo membolos? Pfft, ternyata dia bandel juga."
"Entahlah, aku tadi melihat keanehan pada dirinya."
"Keanehan?"
Tiba-tiba seseorang datang dan memegang tangan Justin. Lelaki itu terkejut mengetahui ada Michella disana. Bagaimana dia bisa masuk? Sementara Mary yang melihat Michella memegang Justin ingin protes.
"Apa yang kau--"
"Temanmu kecelakaan."