"Terima kasih untuk hari ini. Aku senang sekali," ucap Mary berterima kasih pada Justin. Sementara itu, Justin mengangguk dan tersenyum.
"Aku juga ikut senang karena hal itu, karena sekarang traumamu pada laut mulai sedikit berkurang."
"Ini berkat kegigihanmu, Justin," ujar Mary mengingat kembali usaha lelaki itu untuk membuatnya melawan ketakutannya sendiri. "Tidak ada kata-kata yang bisa aku gambarkan saat ini. Kau sangat banyak membantuku."
Justin mengacak rambut Mary. "Hal ini bukan hanya berkat usahaku saja. Tapi karena dirimu sendiri yang mau melawan ketakutan yang ada di dalam dirimu. Dan kau sangat hebat."
Justin memuji Mary juga bukan tanpa alasan, karena gadis itu memang memiliki keinginan untuk bisa melawan rasa ketakutannya yang selama ini sudah membelenggunya.
Dan Justin tidak pernah selega ini, membantu Mary masuk ke dalam list terbaik dalam hidupnya.
Mary memandang Justin yang nampak melamun. Dan ketika Justin menoleh, tatapan mereka pun bertemu. Mereka sama-sama terkunci pada tatapan itu, dan kemudian tersenyum setelahnya.
Suasana terasa agak canggung, namun Justin bisa menguasai itu. Mereka sudah tiba di depan rumah dan hari juga sudah menjelang petang.
"Masuklah, angin malam tidak baik untuk kesehatan," ucap Justin mempersilahkan Mary untuk masuk pulang lebih dulu.
Namun Mary terlihat menggelengkan kepalanya menolak Justin. "Kau saja yang duluan."
"Mary, kau kan perempuan. So, ladies first." Justin begini karena ia sengaja memastikan Mary dengan aman pulang ke rumahnya, meski rumah mereka sebenarnya berhadap-hadapan. Kemungkinan yang bisa membahayakan keselamatan gadis itu mungkin hanya nol koma nol satu persen.
Dan Mary juga terlihat begitu bersikukuh dengan keinginannya. "Tidak ada, aku juga ingin memastikan kau pulang dengan selamat."
Sepertinya kedua orang itu memang memiliki sifat keras kepala yang tidak beda jauh.
Justin mendengus. "Baiklah, jika nanti ada hantu, aku tidak akan meghampirimu." Justin menakuti Mary agar gadis itu mau mendengarkannya. Ia pun menyalakan mesin motornya, namun secara tiba-tiba menahan lengannya. Sepertinya usahanya berhasil.
"Baiklah, aku yang akan masuk lebih dulu."
"Hmm, selamat malam."
Marry mengangguk. "Hmm, Selamat malam."
Justin melambaikan tangannya ke arah Mary, dan kemudian mereka pun berpisah.
Mary masih berada di balik pintu rumahnya setelah masuk. Tangannya juga masih bertahan menyentuh dadanya yang berdegup kencang, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri.
"Aku tidak sedang sakit. Tapi mengapa badanku menggigil seperti ini?" Telapak tangannya ia tempelkan ke pipinya. "Dingin sekali."
"Apa yang kau lakukan?" tanya seseorang dan hal itu membuat Mary terperanjat kaget. Mary menatap lelaki di depannya itu, matanya sontak membulat.
"Matteo?"
Lelaki itu tersenyum. "Hai," sapanya.
"Mengapa kau ada disini?"
"Dia sudah ada disini dari tadi sore. Dia menunggumu," sambung Anne.
"Ah benarkah?" Lalu kembali menatap Matteo bersalah. "Maaf, mengapa kau tidak menghubungiku?"
"Sudah. Nomormu ku tidak bisa dihubungi," jawab Matteo.
Mary menepuk dahinya. "Aku lupa, tadi batrei ponselku habis."
Matteo terkekeh kemudian mengacak rambutnya. "Tidak apa-apa. Yang penting kau sudah sampai rumah dengan selamat."
Mary tersenyum. "Baiklah, tunggu sebentar ya. Aku mau mandi dulu, badanku sudah lengket-lengket."
Sekali lagi Matteo hanya mengangguk. Sepeninggal Mary, Matteo menerawang jauh sambil memandang langit-langit rumah itu.
"Tidak ada yang bisa menggantikan kalimat tidak apa-apa untuk memaklumimu. Aku tahu bagaimana rasanya lupa diri disaat sedang bersama dengan seseorang yang kau sukai. Sama halnya aku yang menyukai seseorang yang jelas-jelas hatinya untuk orang lain."
****
"Mau ke toilet, temani aku ya?" ajak Irene.
Mary yang sibuk bermain dengan ponselnya berdecak. "Astaga, Irene. Jarak toilet dari kelas kita tidak jauh."
"Ayolah, temani aku." Irene tetap bersikukuh. Mary pun tidak punya pilihan lain. Ia pada akhirnya menemani Irene ke toilet sekolah.
Di sepanjang perjalanan menuju toilet, semua orang memandang Mary aneh sambil berbisik-bisik. Mary yang melihat itu pun menjadi heran. Apakah ada yang salah dari dalam dirinya?
"Irene, apakah ada yang salah dari penampilanku?" tanyanya.
"Apa? Tidak, kau cantik kok."
"Begitukah? Tapi mengapa mereka--"
"Aku sudah kebelet. Aku masuk ke dalam toilet dulu ya." Irene memotong kalimat Mary dan buru-buru masuk ke dalam toilet.
Mary menghela nafas, lalu ia pun mengikuti Irene masuk ke dalam toilet menuju ke arah wastafel.
"Mungkin hanya perasaanku saja." Mary masuk ke dalam salah satu bilik toilet karena ia juga ingin buang air kecil.
"Hei, kau sudah mendengar berita hari ini?"
"Sudah. Wah, aku tidak menyangka gadis itu jahat sekali. Bagaimana mungkin ia menghasut Justin untuk memutuskan Yuri?"
Mary yang mendengar itu dari dalam bilik pun terkejut. Jadi ini yang menjadi alasan semua orang memerhatikannya sampai berbisik-bisik?
"Iya, dasar tidak punya hati. Padahal Yuri dan Justin adalah pasangan yang serasi. Mentang-mentang dia sahabatnya, seenaknya bersikap semena-mena."
Mary meremas kuat rok seragamnya, darimana berita itu muncul? Apakah ini kerjaan Yuri yang tidak terima putus dengan Justin?
Brakkk!!
Tiba-tiba terdengar pintu yang baru saja terbanting. "Beraninya kalian menuduh orang sembarangan!" Irene memarahi gadis-gadis yang membicarakan Mary.
"Tapi berita itu sudah beredar luas. Kami hanya ikut-ikutan saja."
"Ikut-ikutan?" Irene memandang gadis-gadis itu tidak percaya. "Betapa mudahnya kalian terhasut. Kalian bahkan tidak tahu cerita yang sebenarnya!"
"Irene, hentikan!" Mary menghentikan gadis itu untuk tidak memarahi mereka.
Sementara itu, ketiga gadis tadi semakin memberingsut ketakutan ketika menyadari ada Mary disana.
"Kalian boleh pergi," Mary mempersilahkan gadis-gadis itu pergi.
"Mary?!"
"Biarkan mereka pergi, lagipula yang membuat berita ini juga bukan mereka kan?" jawab Mary.
Mereka bertiga mengangguk. "Kami mendengar ini dari anak-anak yang lain."
"Dan tebak siapa yang sudah menciptakan berita fenomenal itu?" tebak Mary.
"Memangnya siapa?" tanya Irene penasaran.
"Aku harus memastikannya sendiri jika dia benar-benar pelakunya."
****
"Ini semua gara-gara kekasihmu itu," Matteo menyindir Justin tepat di depannya.
"Dia bukan kekasihku. Aku sudah putus dengannya. Kalau kau mau tahu," ucap Justin membela dirinya sendiri.
"Iya, aku tahu. Tapi tetap saja dia pernah menjadi kekasihmu kan? Dan dia begini karena ulahmu."
"Mengapa kau jadi menyalahkan aku? Kau pikir aku akan tinggal diam setelah melihat Mary difitnah seperti ini?" jawab Justin tidak terima. Ia juga sudah mendengar berita itu. Tentu saja ia langsung tahu siapa pembuat beritanya. Justin hanya mencurigai satu orang.
"Buktikan jika kau mampu melindungi Mary, tanpa menimbulkan masalah."
Justin berdecih. "Tanpa kau minta pun, aku tahu harus melakukan apa."
Setelah mengatakan hal itu, Justin pergi meninggalkan Matteo sendirian disana. Ada hal yang harus ia lakukan. Tentu saja Justin tidak akan membiarkan berita ini terus beredar. Ia harus menghentikannya.