"Kita mau kemana?" tanya Mary penasaran.
Sementara itu, Justin yang sibuk melajukan motornya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan gadis itu dibalik helmnya.
"Ke suatu tempat yang sudah kujanjikan," jawabnya memberi bocoran.
Mary merasakan saluran darahnya mengalir cepat ke seluruh tubuhnya. Perasaan antusias dan tidak sabaran menghampirinya.
"Dan dimana itu?" tanyanya lagi semakin dibuat penasaran. Perasaan gadis itu sepertinya dalam keadaan sedang baik-baiknya.
"Nanti juga tau." Dan lagi, Justin tetap berpendirian tidak memberi tahu Mary.
****
Hari ini cuaca terlihat sangat cerah sama seperti moodnya. Setelah mengalami masa kesulitan kemarin, karena Matteo bersama dengan Mary seharian penuh. Demi Tuhan, ia merasa benar-benar tersiksa saat melihat pemandangan yang begitu menyiksanya itu. Justin tidak suka ketika Mary harus terus-terusan disandingkan dengan Matteo. Cemburu? Tentu saja.
Sepanjang hari kemarin, ia merasa jika seharusnya tatapan dan senyum itu hanya diperuntukkan untuk dirinya sendiri, bukan Matteo atau bahkan lelaki lain. Mungkin sikapnya ini terdengar posesif karena hanya menginginkan Mary untuk dirinya saja, tapi ya mau bagaimana lagi? Ia tidak suka jika gadis yang ia sukai dibagi-bagi.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam, mereka pun tiba di sebuah pantai. Ya, Justin sengaja membawa Mary ke sana lagi.
Sementara itu, Mary yang menyadari hal itu hanya meneguk ludahnya susah payah. Mary sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Justin.
"Justin, kau serius?" tanyanya lirih sambil mengeratkan pegangan tangannya pada kain jaket yang lelaki itu kenakan.
Justin bisa merasakan bagaimana ketakutannya Mary setelah tahu jika ia membawanya kemari. Untuk memberi ketenangan dan kenyamanan gadis itu, Justin mengusap punggung tangan Mary yang masih memegang erat jaketnya.
"Tenang, ada aku disini, Mary," ujar Justin menenangkanya lagi.
Kepala Mary menggeleng, ia kembali meneguk ludahnya susah payah. Jika perasaan panik menyelimutinya, entah mengapa kerongkongannya selalu cepat mengering.
"Bukankah kita sudah melakukan ini sebelumnya? Aku tidak bisa, Justin." Mary bersikukuh menolak keinginan lelaki itu yang membawanya kemari. "Entah apa alasanmu lagi hari ini, tapi semua akan berakhir sia-sia karena aku tidak akan menyanggupinya."
Justin setia memasang senyum di bibirnya, ia pun menggandeng Mary hingga dia turun dari motornya.
"Mary, kau sudah tidak takut hujan kan karena Matteo atau Prince mu itu kembali? Jadi kenapa kau masih saja takut dengan laut?"
Mary menggeleng. "Entahlah, Justin. Tapi aku tetap merasa takut."
"Baiklah, aku sudah memutuskan."
Mary mengangkat wajahnya memandang Justin dengan tidak mengerti. "Apa itu?"
"Jika kedatangan Matteo kembali hanya mampu menyembuhkan traumamu pada hujan saja, maka dari itu. Sekarang, waktunya aku menyembuhkan traumamu pada laut."
Mary memandang ragu ke arah Justin. "Justin, ini akan berjalan sulit."
"Kau bisa Mary, karena aku selalu siap berada di sampingmu. Setiap saat," ucapnya begitu serius.
"Tapi Justin, aku merasa tidak akan bisa," jawab Mary yang dipenuhi keraguan. Justin menggenggam tangan Mary.
"Pejamkan matamu, lalu tarik nafas dalam dan hembuskan perlahan, setelahnya buka lagi kedua matamu." Justin mengintrupsi Mary untuk mengikuti perkataannya.
Mary pun melakukan apa yang dikatakan Justin. Ia mulai memejamkan matanya dengan tangan Justin yang masih menggenggam tangannya.
Setelah merasa lebih baik, Mary mulai membuka matanya perlahan. Bisa ia rasakan jika genggaman tangan Justin semakin mengerat. Lelaki itu ternyata juga sudah menuntunnya ke bibir pantai.
Hal itu tentu saja membuatnya terkejut. "Tenanglah, Mary. Kau akan aman."
Justin menepati omongannya, lelaki itu selalu berada disisinya ketika ia dilanda ketakutan dengan traumanya. Meski rasanya susah sekali untuk bisa melawan trauma itu, tapi Justin tidak pernah lelah menemaninya bahkan juga menenangkannya.
"Mary, ulangi kata-kataku. Katakan jika semua akan baik-baik saja." Lagi-lagi Justin memintanya untuk mengikuti lelaki itu.
Mary mengangguk. "Semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja."
Entah berapa kali Mary merapalkan kalimat itu, namun rasanya sekarang ia merasa lebih baik. Kata itu seakan mujarab untuk melawan ketakutannya.
Kegigihan Justin sepertinya berbuah manis. Meskipun ia masih belum sepenuhnya pulih, namun kali ini ia bisa lebih rileks ketika melihat hamparan lautan luas di depan sana.
Tanpa kuasa Mary menitikkan air matanya. Bahkan ia sampai membungkam mulutnya sendiri karena bisa melalui situasi ini.
Justin yang melihat itupun menarik Mary ke dalam pelukannya. "Lihatlah, kau bisa Mary. Dan aku bangga padamu," kata Justin memberi Mary apresiasi atas keberaniannya melawan ketakutannya sendiri yang diakibatkan dari traumanya di masa lalu.
Walaupun ia tahu, akan banyak lebih waktu untuk Mary bisa terbiasa berada di laut tanpa munculnya rasa panik yang berlebihan. Tapi seperti janjinya, Justin tidak akan menyerah berada di sisinya setiap saat.
Dalam pelukan itu, bisa Justin rasakan bagaimana tubuh Mary bergetar karena goncangan tangisnya. Pasti gadis itu masih amat tidak menyangka jika dia bisa begini. Justin pun semakin mempererat pelukannya. Bahkan ia juga mengusap punggung gadis itu untuk menenangkannya.
Dalam beberapa saat, situasi terasa begitu hening. Hanya ada suara yang berasal dari deburan ombak. Suara itu seakan menjadi musik penghantar kedua orang itu. Mary menemukan ketenangan disana.
Sepertinya Justin benar, laut tidak semenakutkan itu, ketakutan hanya ada di dalam pikirannya sendiri. Mungkin, laut bisa jadi begitu berbahaya jika seseorang tidak peduli dengan keselamatannya sendiri, dan itu berlaku pada Mary kecil.
"Justin?" Mary memanggil lelaki itu dengan pelan.
"Hmm?"
Mary mendongakkan kepalanya untuk bisa melihat lelaki itu tanpa melepaskan pelukan mereka.
"Terima kasih," ucapnya dengan sepenuh hatinya. Mary bukan tanpa alasan mengatakan hal itu pada Justin, karena dia bukan hanya membantunya dalam melawan ketakutannya, tapi Justin juga berperan penting di setiap situasi berharga di hidupnya. Sama seperti saat ini, Mary begitu bahagia.
Justin tersenyum. Lelaki itu dengan gemas mengusap puncak kepala Mary.
"Iya, sama-sama. Sekarang kalau aku mengajakmu datang kemari, kau tidak akan ketakutan lagi kan?"
Mary mengangguk pelan. "Aku akan berusaha untuk tidak merasa takut lagi."
"Pelan-pelan saja, aku percaya kau bisa melewati ini. Karena kau adalah gadis terkuat yang pernah aku temui." Justin memuji Mary. Lelaki itu mengatakannya dengan jujur.
Mary meninju pelan lengan Justin, mereka pun tertawa bersama.
Setelah merasa Mary sudah mulai terbiasa, tiba-tiba Justin berlari menjauh.
"Justin kau mau kemana?" tanya Mary.
"Tunggu sebentara," jawab lelaki itu dan kemudian membawa ranting kayu yang ia dapat di sekitar area pantai itu. Mary mengernyit bingung.
"Justin, apa yang ingin kau lakukan dengan ranting itu?"
Justin tersenyum. "Kau akan segera mengetahuinya, Mary." Dan benar saja, ketika lelaki itu mulai memanfaatkan kegunaan ranting kayu itu, Mary langsung paham.
Ternyata dengan ranting kayu itu, Justin menggunakannya untuk menulis sesuatu di atas pasir.
"Mary Anderson, you did it!!" Mary membaca tulisan yang ternyata bentuk apresiasi dari Justin. Gadis itupun tersenyum.
"Not me, but us, Justin! We did it!!" katanya.