Chereads / A LOVER (FRIENDZONE) / Chapter 8 - Chapter 8

Chapter 8 - Chapter 8

Lelaki itu terlihat baru saja memarkirkan motornya sembarangan di pinggir jalan, lalu ia segera berlari masuk ke dalam taman di depannya itu.

Kepalanya menengok ke segala penjuru arah mencari seseorang yang tadi mengajaknya bertemu disana.

"Jangan-jangan dia hanya mengerjaiku." Justin mencurigai Matteo yang sengaja menyuruhnya kemari untuk dikerjai.

Namun ia tetap berkeliling di sekitar taman itu untuk mencari keberadaannya.

"Sepertinya dia memang--"

"Hei, tukang ojek!" Kalimat Justin terpotong ketika ia mendengar ada yang berteriak di sekitarnya.

Justin menoleh dan Matteo sedang melambaikan tangannya ke arahnya. Ia pun segera menghampiri lelaki itu. Ternyata dia datang.

"Merasa kesusahan mencari lelaki setampan aku?" Matteo menyambut Justin dengan perkataan yang terdengar narsis.

Justin berdecih. "Aku rasa kau terlalu percaya diri, bung!"

Matteo mengedikkan bahunya tidak peduli. "Aku memang tampan."

"Apa kau mengajakku kemari hanya ingin menunjukkan kenarsisanmu itu?"

"Ck. Jangan asal berasumsi, aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu dan ini penting," jawab Matteo menampik tuduhan Justin yang menurutnya tidak berdasar. Tanpa diberi tahu pun, semua orang juga tahu jika dirinya tampan.

Justin terlihat menarik sebelah alisnya. "Apa?"

"Jauhi Mary!"

Dalam seperkian detik berikutnya, suasana menjadi hening. Tidak berapa lama, Justin tertawa dengan keras.

"Kau bilang apa? Jauhi Mary? Hei, ternyata kau memiliki nyali yang besar juga ya?"

"Ya, bukankah sudah hukum alam jika seorang lelaki memiliki nyali yang besar?"

Justin mendengus dengan jawaban Matteo. Kemudian ia pun menarik kerah baju lelaki itu.

"Begitukah? Kalau begitu mari kita selesaikan sekarang."

Matteo terkekeh, dan kemudian ikut menarik kerah seragam Justin.

"Baiklah, akan kuturuti."

Mereka bersiap untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cara berkelahi. Namun tiba-tiba ada seorang gadis datang menghampiri mereka dan melerainya.

"Hei, apa yang akan kalian lakukan?" Gadis itu berdiri di antara Justin dan Matteo.

"Jangan ikut campur, ini urusanku dengan di. Pergilah!" Justin mengusir gadis itu dari sana.

Gadis itu nampak kesal karena niat baiknya tidak dianggap. Namun ia tidak kehabisan akal dan disaat kedua lelaki itu akan berkelahi, ia pun kembali berdiri tepat di antara keduanya dan nyaris terkena tinjuan tangan Matteo di pipinya.

"Apa kau sudah gila?!" ucap Matteo tidak percaya.

"Benar, jika nanti kau terkena tinjuan kami, siapa yang akan disalahkan?" Lanjut Justin memberitahu gadis itu.

Gadis itu menatap Matteo dan Justin bergantian, lalu menarik telinga mereka bersamaan.

"Argh!" pekik Justin dibarengi suara kesakitan dari Matteo.

"Ya! Gadis gila, kau siapa sih? Bagaimana bisa kau menjewer orang asing sembarangan?!"

Gadis itu melepas jeweran tangannya di telinga kedua lelaki itu, lalu menyedekapkan tangannya di depan dada.

"Kalian ingin thau siapa aku? Namaku adalah Michella, aku bertanggung jawab menjadi penjaga taman ini."

Matteo dan Justin nampak terdiam. "Penunggu? Tidak mungkin, apakah kau hantu? Tapi ini masih siang," tanya Matteo beruntun.

Michella berdecak. "Aku diberi mandat oleh walikota untuk menjaga taman ini. Jadi, aku akan melakukan apapun untuk membuat taman ini terlihat bersih tanpa sampah dan juga kegaduhan oleh pembuat onar seperti kalian!"

Justin berdecih. "Hei, anak kecil. Jangan mengarang cerita."

"Aku tidak mengarang!" jawab gadis itu bersikukuh.

Justin dan Matteo memandang satu sama lain. "Beri kami bukti jika memang kau penjaga taman ini."

Michella nampak mengambil sesuatu dari tas slempangnya. "Ini kartu namaku."

Matteo menerima kartu nama itu, lalu membacanya.

Michella Jawson

St. Burg No. 28

Penjaga Taman Love Forever.

Matteo mengernyitkan dahinya merasa asing dengan nama taman itu. "Taman love forever? Apa-apaan ini?"

Michella merebut kartu namanya. "Ya, taman ini disebut taman love forever yang berarti cinta selamanya, kau tau mengapa dijuluki begitu? Karena disini banyak pasangan yang menghabiskan waktu mereka dengan cinta yang diyakini bisa bertahan selamanya."

Justin berdecih. "Omong kosong macam apa ini?" ujarnya tidak percaya.

Michella menatap tajam ke arah Justin. "Aku serius! Kalau tidak percaya, bawa pasanganmu kemari, maka cinta kalian akan bertahan selamanya."

Justin terdiam, ia memang tidak percaya hal seperti itu. Namun saat ini ia jadi teringat Mary di rumah.

Ini terdengar tidak masuk akal, tapi apakah benar bisa begitu? Batinnya.

"Jangan berani berpikiran untuk membawa Mary kemari!" ucap Matteo seakan bisa membaca pikiran Justin.

Justin menatap Matteo kesal. "Dan kau pikir, kau bisa menghentikanku?"

Michella menatap Justin dan Matteo bergantian. "Ah, jadi kalian bertengkar karena menyukai gadis yang sama?" tebaknya.

"Diam!" jawab Matteo dan Justin bersamaan dan hal itu membuat Michella mengatupkan bibirnya.

Michella menggelengkan kepalanya. "Kalian memiliki aura yang sama, aura tidak mau kalah atau menang sendiri. Aku bisa menciumnya dengan jelas."

"Dasar gadis aneh!"

Michella bersedekap. "Aku benar-benar bisa membaca aura seseorang dan aku sangat yakin, aura kalian seperti yang kusebutkan tadi."

Sepertinya kedua lelaki itu mulai terpengaruh.

"Begini saja, bagaimana jika kalian berhenti tidak bertengkar lagi, dan sebaiknya membuat kompetisi secara sehat utuk mendapatkan hati gadis itu."

"Maksudmu?" tanya Matteo.

"Apakah perkataanku sulit diartikan? Padahal aku menggunakan kalimat yang simpel."

"Aku mengerti, idemu bagus juga," jawab Justin. Ia pun melihat ke arah Matteo.

"Mulai sekarang, mari bersaing secara sehat untuk mendapatkan Mary. Dan siapapun yang akan dipilihnya nanti, yang kalah harus pergi dari hidupnya selamanya. Deal?"

Matteo menatap uluran tangan Justin, ia merasa tidak yakin, karena dirinya tahu jika Mary menyimpan rasa pada lelaki itu. Kemungkinannya untuk menang hanya sedikit, namun ia percaya pasti bisa melakukannya.

"Deal!" Dan lelaki itu menerima tantangan itu.

****

"Pagi, ma," sapa Mary pada Anne di meja makan.

"Pagi sayang," jawab Anne kepada putrinya itu.

Mary duduk di kursi makannya. Kapan papa pulang dari Manhattan?"

"Besok lusa."

Mary mengunyah sandwichnya. "Benarkah?"

Anne yang sedang mengoles rotinya itupun beralih menatap putrinya. "Iya."

Mary menggigit sandwichnya lagi. "Bulan lalu mama bilang juga mengatakan hal yang sama dan ternyata papa tidak pulang-pulang."

"Sayang, papa kan sibuk mengurus bisnis disana."

Mary menghela nafas. "Iya, ma. Mary paham."

Tidak berapa lama, bel rumahnya berbunyi.

"Oh, pasti itu Justin. Ma, Mary berangkat."

"Hmm, hati-hati ya." Sepeninggal Mary, Anne mengernyit heran. Sepertinya Justin tidak pernah membunyikan bel saat kemari. Lelaki itu pasti selalu menyelonong masuk ke dalam rumah.

"Kau sudah menunggu lam-- eh, Matteo?"

Matteo menyambut Mary dengan senyumnya. "Selamat pagi, Mary."

"Kenapa kau kemari?"

"Tentu saja menjemputmu dan berangkat sekolah bersama."

Mata Mary membulat sempurna. "Berangkat sekolah bersama? Tapi aku biasanya berangkat dengan--"

"Justin? Bukankah kemarin aku sudah bilang? Kami bergantian menjagamu. Jadi, hari ini jadwalku."

Mary tidak bisa berkata-kata. "Wah, aku masih benar-benar tidak percaya kalian akan melakukan hal ini padaku."

Matteo tersenyum. "Mulai hari ini, cobalah untuk bisa terbiasa."

Sementara itu, dari kejauhan Justin melihat Mary dan Justin dari balkon kamarnya.

"Ini tidak semudah yang kupikirkan."