Entah sudah berapa lama ia memendam rasa ini pada sahabatnya itu, mungkin perkataan orang memang benar. Tidak ada yang namanya sahabat di antara laki-laki dan perempuan, karena pasti ada salah satunya yang memiliki perasaan lebih. Dan sepertinya dirinyalah orang itu.
"Justin, ternyata kau ada disini. Aku tadi mencarimu kemana-mana," ucap Mary menghampirinya.
Sementara itu, Justin menatap Mary dengan sendu, lalu ia pun berusaha menunjukkan senyumnya menyembunyikan rasa sakitnya setelah melihat pemandangan antara gadis itu dengan Matteo tadi.
Ia tahu mau seberapa sakit rasa itu, dirinya tidak boleh menyerah. Justin akan memperjuangkan Mary, meski Prince nya itu sudah kembali.
"Justin?" Mary kembali memanggil lelaki itu karena melamun.
"Maafkan aku, Mary."
Mary tersenyum. Dan Justin tidak pernah bosan melihatnya. Tiba-tiba ia merasakan Mary menggelayuti tangannya. Justin mengusap kepala gadis itu sebagai tanggapan.
"Justin, ada yang ingin aku ceritakan padamu," ujar wanita itu.
Justin tahu, cepat atau lambat Mary akan membicarakan tentang ini. Lelaki itu memijat pangkal hidungnya. Namun Justin belum siap mendengarnya.
"Hari ini kita tak jadi pergi ya? Aku harus mengerjakan tugas," ujar lelaki itu memotong kata Mary.
Justin sangat mengenal Mary, jika dia dalam keadaan perasaan yang baik, maka dia akan berceloteh tanpa henti. Meskipun kemarin ia ingin mengetahui siapa Prince, tapi sekarang ia tidak membutuhkan penjelasannya lagi.
"Kenapa? Kau kan berjanji akan membawaku ke tempat yang kau janjikan itu," jawab Mary kecewa.
Justin mengacak rambut Mary dengan lembut. "Jika aku tidak ikut mengerjakan tugas, kau mau nilaku jadi jelek? Pasti kau akan mengomeliku seperti sebelum-sebelumnya."
"Jika memang begitu, kenapa kau tidak pulang duluan dan mengabariku lewat chat saja?"
Dan membiarkanmu pulang dengannya lelaki itu? Batin Justin tidak terima.
"Akhir-akhir cuaca tidak bisa diprediksi, jika aku meninggalkanmu, siapa yang akan menenangkanmu saat traumamu kambuh?" tanya Justin beralasan. Mary menggelengkan kepalanya.
"Jangan khawatir, tadi kan--"
"Pakai helm mu," Justin lagi-lagi memotong kalimat Mary. Lelaki itu seakan berwaspada jika percakapan mereka akan mengarah ke Matteo. "Naiklah."
Tanpa banyak protes, Mary pun menuruti perkataan Justin dan naik ke motornya. Setelah itu motornya melaju meninggalkan parkiran sekolah.
Selama di perjalanan pulang pun, ketika Mary akan mengatakan tentang Matteo, Justin selalu mengalihkan pembicaraan mereka sehingga tidak ada kesempatan untuk Mary bercerita.
Tidak berapa lama mereka pun tiba di depan rumah Mary. Sepertinya gadis itu tidak menyerah untuk memberitahunya.
"Justin, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Ini penting sekali."
Justin menatap Mary. "Lain kali saja ya, Demian sudah menungguku," katanya menolak Mary.
Meski terlihat kecewa, namun Mary tetap menganggukkan kepalanya melepaskan Justin. "Hati-hati di jalan."
"Hmm, sana masuk!"
Mary tidak mengindahkan perkataan Justin dan mengawalnya hingga lelaki itu pergi menaiki motornya. Sepeninggal Justin, Mary menghela nafas.
"Padahal aku hanya ingin bilang kalau Matteo sebenarnya adalah Prince.
****
"Tumben kemari." Demian memandang temannya itu heran, setelah dia datang ke rumahnya.
"Mau main game," jawab Justin acuh.
Demian mengernyitkan dahinya bingung. "Bukannya kau selalu menolak jika ku ajak main bersama?"
"Memangnya salah jika aku kesini dan main game bareng?" jawabnya sambil melemperkan stick ke arah Demian. Lelaki itu pun reflek langsung menangkapnya.
"Ya! Ini mahal tau. Jangan sembarangan melemparnya!"
Justin tidak peduli dan justru memulai gamenya lebih dulu.
"Licik sekali," kata Demian dengan kesal.
"Apa kau tidak bisa bermain? Mengapa kalah terus dariku?" Justin jadi tidak semangat bermain game karena Demian selalu kalah darinya.
Demian mendengus. "Aku sudah berusaha semampuku."
"Ah sudahlah, aku mau pulang saja."
"Hei, mana bisa begitu? Gamenya kan belum selesai!"
"Masa bodoh, yang menang paling juga aku lagi," ucap Justin percaya diri.
Disaat Justin akan menaiki motornya untuk pulang, ponselnya bergetar dari dalam saku celananya.
Temui aku di taman. -Matteo.
Justin berdecih."Kau memilih lawan yang tepat."
****
Mary terus menatap ke arah ponselnya dari tadi. "Mengapa Justin tidak membalas pesanku ya?"
Tidak berapa lama, terdengar suara motor dari luar rumah. Mary tahu siapa yang baru saja datang, tanpa berkata-kata ia langsung turun dan menghampirinya.
Anne yang sedang duduk di sofa begitu terkejut mendapati putrinya berlari antusias.
"Hei, ada apa?"
"Ada urusan sebentar, ma," jawab Mary cepat dan ia pun buru-buru membuka pintu rumahnya.
"Justin, huh?" Mary terdiam melihat penampakan dua orang di depannya saat ini.
"Hai, Mary," kata mereka menyapa bersamaan.
"Justin, Matteo, bagaimana kalian bisa berduaan?"
"Kami berteman sekarang," jawab Justin.
Mary mengernyitkan dahinya dan menatap mereka bergantian. "Sejak kapan? Mengapa aku tidak tahu?"
"Mulai hari ini, benarkan Justin?"
Justin mengangguk pelan, Mary pun tercengang.
"Mulai hari ini? Tapi kenapa mendadak sekali?"
Justin berjalan mendekati Mary. " Karena ini kejutan untukmu," jawabnya.
Mary menyedekapkan tangannya di depan dada, lalu menatap Justin dan Matteo bergantian.
"Bisakah salah satu dari kalian menjelaskan semua ini dengan jelas?"
"Tentu," jawab Matteo, lalu melirik Justin.
"Hmm, tadi aku mengajak Justin bertemu untuk membahas tentang aku, kau, dia dan masa depan kita bertiga," ucap Matteo menjelaskan.
Mary masih belum mengerti. "Tunggu, kau bilang membahas tentang kau, aku, Justin dan masa depan kita? Tapi mengapa kalian harus bertemu tanpa aku?"
"Karena ini masalah lelaki."
"Kalian tadi bilang sudah berteman, tapi sekarang bilang masalah lelaki."
"Karena kita adalah lelaki yang sama-sama menjaga dan melindungi Mary Anderson, jadi kami sepakat untuk bertemana. Meski, awalnya aku tidak menyukai sikapnya yang kekanakan."
"Apa maksudmu?" Justin terlihat tidak terima.
"Bisakah kau mendengarkan aku sampai selesai?" ucap Matteo kesal.
Justin hanya mendengus. Lelaki itupun akhirnya mengalah.
"Tapi aku akui, dia menjagamu dengan baik bahkan disaat traumamu kambuh, dia ada disampingmu. Dia lelaki yang cukup bertanggung jawab dan karena sekarang aku kembali jadi kami sudah memutuskan, kami berdua akan menjagamu bersama-sama," jelas Matteo.
Mary nampak terdiam di tempatnya.
"Mary, mengapa kau diam saja? Berikan reaksi yang bagus untuk kerja sama dua lelaki yang selalu siap sedia untukmu ini."
"Wow," gumamnya takjub. "Kalian membuatku terharu." Lanjutnya.
"Aku sama sekali tidak menyangka dan membayangkan akan memiliki dua malaikat pelindung di hidupku." Mary kembali menatap dua lelaki itu bergantian dan merangkul bahu mereka.
"Aku sangat bahagia hari ini karena memiliki sahabat seperti kalian."
Justin dan Matteo tersenyum melihat senyum bahagia yang terpatri di bibir gadis yang sama-sama mereka sukai.
Dan tanpa sepengetahuan Mary, kedua lelaki itu tengah mempersiapkan rencana mereka masing-masing mulai hari ini untuk mendapatkan hatinya.
Ya, akan ada persaingan untuk mendapatkan hati Mary dan siapa yang akan dipilihnya nanti.
Kita lihat siapa yang akan Mary pilih nanti. Dan tentu saja orang itu adalah aku. Batin Justin.
Mary tidak akan pernah melupakan Prince nya, kau hanya pendatang yang dari awal tidak seharusnya ada. Batin Matteo.