Chereads / A LOVER (FRIENDZONE) / Chapter 6 - Chapter 6

Chapter 6 - Chapter 6

"Siap untuk hari ini?" tanya Justin pada Mary.

Gadis itu terkekeh. "Tentu saja, tapi kita harus pergi ke sekolah dulu,"katanya.

Pagi ini kedua orang itu berboncengan naik motor lagi ke sekolah. Setelah sama-sama berdamai, akhirnya mereka menjadi akur.

Justin mengangguk. "Seperti biasa, pakai helm mu, mari berangkat."

Seumur-umur, Mary tidak pernah melihat Justin sesemangat ini. Dan dirinya senang, mengetahui lelaki itu bersemangat karenanya. Mary tidak pernah mengira, jika hubungannya dengan Justin akhirnya bisa diperbaiki lagi. Padahal awalnya ia mengira jika lelaki itu tidak akan memberinya kesempatan.

Tidak butuh waktu lama, mereka pun tiba di sekolah. Dan seperti biasanya, Yuri sudah menunggu Justin.

Mary turun dari motor Justin. "Aku ke kelas dulu, ya?" pamit gadis itu.

"Kak Justin," panggil Yuri.

Mary berniat akan pergi, namun jalannya sudah dihadang oleh Yuri yang menggelayut manja di lengan Justin.

"Aku merindukanmu, kak."

Mary memutar bola matanya jengah. Gadis itu sama sekali tidak punya rasa malu. Padahal di parkiran itu bukan hanya mereka saja.

Justin hanya mengangguk sebagai balasan. Lelaki itu melepaskan tangan Yuri dari lengannya. Namun gadis itu enggan melepaskannya.

"Kak, nanti antar aku ke Mall, ya?"

"Aku tidak bisa, aku sudah ada janji," jawab Justin menolak ajakan Yuri.

Sementara itu ekspresi Yuri yang awalnya girang menjadi muram. Mary yang masih bertahan di tempat itu hanya bisa menahan tawanya.

"Kak, kau kenapa sih akhir-akhir ini?!"

Mary hanya menggelengkan kepalanya melihat sifat kekanakan dari gadis itu. Akhirnya ia pun pergi dari sana, namun panggilan Justin menghentikannya.

"Mary, nanti sepulang sekolah aku tunggu di parkiran, ya?"

"Iya," jawab Mary dan kemudian masuk ke dalam kelasnya.

Yuri memandang Justin dengan tatapan tidak percaya. "Kau memilih pergi dengannya dibanding aku?"

Justin membalas menatap Yuri dan mengangguk. "Hmm, aku memilih pergi dengan Mary. Ya sudah, aku pergi ke kelas."

Yuri berdecih. "Apa-apaan ini? Dia mengabaikanku dan secara terang-terangan berselingkuh di depanku?"

Gadis itu segera mengejar Justin dan menghadang jalannya. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu.

"Kak, selama ini aku berusaha sabar menghadapi sikapmu. Sebenarnya kau cinta tidak sih, padaku?

Justin merasa kesabarannya sudah mulai habis. Mengapa di pagi yang begitu cerah ini harus ada gangguan?

"Aku mau kita putus," ucap Yuri tiba-tiba.

Justin menatap Yuri, gadis itu menahan senyumnya. Ia sengaja melakukan ini agar setelahnya Justin memohon-mohon kepadanya untuk tidak memutuskannya.

"Jika itu maumu, aku menyetujuinya. Mari kita putus." Justin berlalu meninggalkan Yuri yang mematung di tempatnya. Kenapa jadi begini? Seharusnya Justin menolaknya.

Yuri pun kembali menghadang langkah Justin. "Kau tidak berniat memohon padaku untuk memperbaiki hubungan kita?"

Justin berdecih. "Dan kau pikir, aku masih mengharapkan gadis kekanakan sepertimu?" jawabnya mengskakmat Yuri.

"Aku akan membuat kau menyesal karena sudah melakukan hal ini padaku, Justin!"

****

Mary tidak bisa berhenti menghela nafas disaat Matteo terus-terusan memerhatikannya lewat bangku di depannya itu, saat ia sedang sibuk mengerjakan tugasnya.

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain selain memerhatikanku?"

"Ada, seperti sekarang misalnya," jawabnya santai.

Mary berdecak. "Demi Tuhan, Matteo. Ini jam istirahat, apakah kau tidak berniat untuk ke kantin saja?"

"Ada, ayo!" Matteo malah mengajaknya.

Mary menatap Matteo tidak percaya. "Ayo? Kau mengajakku?"

Matteo menggeleng. "Kau bertanya padaku kan? Ayo!"

Mary menepuk dahinya menahan kesal. "Pergilah, jangan menggangguku."

"Oke." Dan Matteo pergi begitu saja.

Sepeninggal Matteo, Mary kembali mengerjakan tugasnya dan Justin pun datang.

"Sudah kutebak, kau pasti disini," ucap lelaki itu.

Mary nampak terkejut karena kedatangan Justin. "Eh, kau kemari? Dimana pacarmu?"

"Aku putus dengannya."

Mary terdiam. Justin putus dengan Yuri? Artinya, Mary tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.

"Bagaimana bisa?" tanya Mary berbasa-basi.

"Dia yang memintanya sendiri. Jadi aku mengiyakannya."

"Hanya itu? Kau tak berniat kembali dengannya?"

Justin menggeleng. "Pantang bagiku untuk memutuskannya, jika dia minta putus ya aku bilang, oke saja."

"Lelaki tapi gengsian."

"Bukan gengsi, tapi pengertian. Jika mereka sudah tidak ingin menjadi pacarku lagi, aku juga tak bisa menghentikan keinginan mereka."

"Tapi jika mereka bersikap begitu untuk mengetesmu, bagaimana?"

"Ya, aku tetap tidak ingin kembali."

"Kenapa?"

"Aku hanya ingin serius dengan satu orang setelahnya."

"Huh? Maksudmu?"

"Nanti kau juga akan tahu."

Mary berdecak, sementara Justin terkekeh. Disaat lelaki itu tidak sengaja melihat ke arah kolong meja Mary, Justin menemukan miniatur boneka Ken disana.

"Apakah ini milikmu?"

Mata Mary menyipit, ia pun langsung mengambilnya dari Justin. Mary tidak tau seberapa banyak orang menyukai miniatur Ken, tapi setahunya di kelas ini tidak ada yang suka dengan miniatur berbau Ken kecuali seseorang.

Prince?

Mary bangkit dari kursinya dan meninggalkan Justin tanpa sepatah katapun.

"Mary, kau mau kemana?"

****

"Sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan, sembilan puluh--"

Matteo tersenyum disaat melihat Mary berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa. Sesuai perkiraannya, dia pasti akan langsung mencari keberadaannya.

"Mengapa kau berlarian begitu, hmm?"

Mary menarik nafas dalam-dalam. "Apakah ini milikmu?" tanyanya sambil menunjukkan miniatur Ken pada lelaki itu.

Sementara Matteo, dia hanya diam saja menatap miniatur Ken yang sengaja ia jatuhkan di kolong meja Mary tadi.

"Jawab aku, ini milikmu kan?"

Matteo menatap Mary, "Jika benar, kau mau apa?"

Tubuh Mary tiba-tiba melemas, kedua matanya berkaca-kaca.

"Kau tidak sedang berpura-pura tidak mengetahui apa-apakan?"

Matteo masih tidak bereaksi, dan hal itu membuat Mary semakin gusar.

"Jika kau tidak seperti yang aku pikirkan, bisakah kau menjawab jika kau bukan dia?"

"Ya, aku memang Prince, teman masa kecilmu yang kau cari-cari," kata Matteo mengaku yang sebenarnya.

Mary langsung memberingsut memeluk Matteo. "Mengapa kau pergi dan menimbulkan luka untukku? Mengapa?"

"Mengapa kau meninggalkan luka serta trauma untukku, Prince?"

"Mengapa kau tak memberitahuku dan justru tetap diam saja?"

Matteo mengusap punggung Mary. "Aku membutuhkan waktu, Mary. Karena kupikir jika aku diam, traumamu akan membaik. Tapi nyatanya, karena aku kau jadi seperti ini. Jangan benci hujan dan laut lagi, aku tau kau sangat menyukainya dulu. Aku baik-baik saja, jadi lupakan trauma itu."

Dan bertepatan dengan itu, hujan turun membasahi tubuh mereka.

Bebannya terangkat bersamaan jatuhnya hujan itu membasahinya. Trauma dan lukanya hilang dalam sekejap karena Prince ternyata selama ini ada di sisinya, memerhatikannya.

Sementara itu, ada luka lain muncul di sudut lain tempat itu. Untuk kedua kalinya, Justin merasa jika Mary memang sudah tidak membutuhkannya di setiap waktu.

"Tidak ada penjelasan siapa Prince sebenarnya, dan tidak ada juga pernyataan cinta untuk hari ini."