Lily terlihat memerhatikan putranya itu yang baru saja pulang sekolah tanpa Mary lagi. Ekspresi wajahnya juga terlihat muram. Sudah dua hari ini, ia mendapati anaknya seperti itu. Lily tahu pasti ada yang tidak beres antara dia dan Mary.
"Justin, mama boleh masuk?" tanya wanita itu meminta persetujuan putranya.
Lelaki itu terkejut melihat mamanya sudah berdiri di bibir pintu. Justin mengangguk.
Lily masuk ke dalam kamar dan mendekati Justin. "Mama bukan bermaksud ikut campur, tapi apakah kau bertengkar dengan Mary?"
Justin membeku di tempatnya ketika mamanya menanyakan hal itu. Mamanya memang selalu tahu jika sudah terjadi sesuatu antara dirinya dengan Mary. Kepalanya mengangguk pelan.
"Aku marah padanya karena Mary sudah kelewatan. Dia tidak jujur padaku, padahal selama ini aku tidak pernah menyembunyikan apapun darinya," jelasnya.
Lily tersenyum, lalu menepuk bahu putranya itu. "Lelaki sejati tidak akan pernah mundur meskipun masalah pelik membelitnya, lagipula mama yakin pasti Mary mempunyai alasan kuat mengapa dia tidak jujur padamu. Kau tidak kasian padanya? Tadi pagi bahkan dia datang kemari menghampirimu."
Justin menatap mamanya terkejut. "Mary kemari?"
"Iya, meskipun kau meninggalkannya, tapi dia tidak marah sama sekali dan justru berbohong jika kau ada piket pagi," ucap Lily menjelaskan. "Padahal mama tahu, putra mama bersih-bersih di rumah saja tidak pernah, apalagi di sekolah."
Justin terdiam, Lily meraih tangan putranya.
"Ajaklah dia berbicara empat mata lalu kemudian pecahkan masalah kalian. Pokoknya mama tidak mau melihat kalian seperti ini lagi, oke?"
Justin mengangguk pelan sebagai tanggapan. Entah bagaimana nantinya, ia akan berusaha memperbaiki hubungan mereka.
****
Mary beberapa kali memencet tombol remotenya untuk mencari saluran tv yang mampu menarik minatnya. Namun percuma saja, sepertinya menonton tv tidak mampu membuang kebosanannya.
"Mary?" panggil mamanya.
"Ya, ma?"
"Justin mencarimu," ucap mamanya memberitahu.
Mary terdiam. Dirinya tidak salah dengarkan? Justin mencarinya? Reflek Mary segera bangkit dari kursinya, namun ia merasa bingung dengan dirinya.
"Tidak, mengapa aku seantusias ini disaat akan bertemu dengannya?"
Mary menggelengkan kepalanya. "Tunjukkan harga dirimu setelah menjadi gadis yang tersakiti," ucapnya percaya diri, namun Mary segera menutup wajahnya.
"Ah tidak, tapi Justin bersikap begitu juga karena aku."
Mary pun mengabaikan kegusarannya dan bergegas menemui Justin sesantainya.
"Ada apa?" tanyanya disaat sudah menemui lelaki itu.
Tatapan lembut serta senyum hangat yang biasa Justin perlihatkan padanya, nampak kembali terpatri di wajahnya menggantikan ekspresi datar dan dingin yang selama beberapa hari ini tertuju ke arahnya.
Tangannya meraih tangan Mary. "Ikut aku," ujar Justin mengajak Mary.
"Kemana?"
Justin menyerahkan helm pada Mary untuk gadis itu pakai. "Ikut saja."
"Mau kemana, sih? Biarkan aku berganti pakaian dulu." Lelaki itu mengabaikan permintaan Mary dan duduk di motornya.
"Naiklah, tidak usah berganti pakaian. Begini saja sudah cantik."
Pipi Mary terasa panas setelah mendengarkan pujian dari Justin, lalu ia berdehem.
"Halah, gombal."
Dan setelah Mary memakai helmnya dan naik ke atas motor Justin, lelaki itu pun melajukan motornya pergi.
Tidak berapa lama, mereka tiba di tempat tujuan dan membuat Mary syok seketika.
"Justin, apakah kau sedang bercanda?" ucap Mary tidak percaya disaat tahu lelaki itu mengajaknya ke pantai. Padahal kan dirinya sangat trauma akan laut.
Justin turun dari motornya setelah melepas helmnya, lalu tangannya meraih tangan Mary dan menggandengnya menuju bibir pantai.
"Tenang saja, ada aku disini," katanya menenangkan.
Suara deburan ombak yang menyahut lalu bunyi merdu burung camar saat sore hari langsung menyambut mereka. Angin semilir pantai yang khas menambah suasana bertambah harmonis. Ada rasa tenang dibalik itu, namun bagi Mary tercipta kekalutan dalam benaknya.
"Justin, aku takut." Tubuh Mary mulai berguncang pelan. Gadis itu merasa ketakutan setelah melihat laut luas yang kini berada tepat di depannya. Debur ombak terdengar kencang di telinganya, hal itu mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu.
Justin menggenggam tangan Mary dengan erat. "Kau pasti bisa, tidak akan terjadi apa-apa selama aku ada disini," ucap lelaki itu meyakinkan Mary.
Dalam sesaat Mary pun diam, lalu lelaki itu menuntunnya ke arah bibir pantai disaat tahu Mary mulai rileks.
"Tempat ini begitu indah, Mary. Dan sangat cocok untuk menyelesaikan permasalahan kita."
Mary menatap Justin, lalu lelaki itu tersenyum. "Ya, mari kita selesaikan masalah kita ditempat yang indah ini." Justin duduk di atas pasir, sementara Mary masih tidak bereaksi di posisinya.
Justin terkekeh mengetahui hal itu. "Kau akan tetap berdiri disana? Oh ayolah Mary, tempat ini begitu indah untuk disia-siakan."
Mary memandang hamparan air yang berada di lautan. Matanya kemudian beralih ke arah Justin. "Tapi aku takut, aku tidak bisa."
Gadis itu masih belum bisa melawan traumanya. Kejadian waktu itu masih menjadi momok yang begitu menakutkan untuknya.
"Mary, lihat aku," ujar Justin memaksa Mary agar mau melihatnya.
"Bawa aku pergi dari sini, please."
"Kau bisa melakukannya!!"
Mary jatuh terduduk setelah mendengar deburan ombak yang makin mengeras, kepalanya menggeleng-geleng.
"Aku tidak bisa, aku tidak bisa, aku tidak bisa," gumamnya sembari menutup kedua telinganya.
Justin mensejajarkan tubuhnya dan memeluk Mary. "Tenanglah, ada aku disini." Lelaki itu berusaha menenangkannya lagi.
Mary menggeleng, gadis itu menangis. Jika ia sudah ketakutan, Mary jadi tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Sebenarnya ia juga ingin sembuh, tapi rasanya susah sekali.
"Bawa aku pergi, Justin."
Justin menghapus air mata Mary dengan jemarinya. "Oke, kita akan pergi. Tapi berhentilah menangis, kumohon."
Mary mengangguk, setelah gadis itu terlihat tenang, Justin kembali menuntunnya untuk pergi dari sana.
Selama perjalanan pulang dari pantai, Mary hanya diam. Justin yang sedang menyetir motornya jadi merasa bersalah.
"Maafkan aku, Mary."
Mary yang mendengar permintaan maaf dari Justin hanya melirik lelaki itu melewati kaca spion.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Setidaknya kau sudah berusaha menghilangkan traumaku, dan mau menyelesaikan masalah di antara kita."
Justin menghela nafas. "Seharusnya aku tidak--"
"Justin, sudahlah. Jangan dibahas lagi."
Justin mengangguk mengerti. "Terima kasih, Mary."
****
Mary tidak berkedip disaat melihat layar ponselnya. Pesan yang dikirim Justin padanya begitu manis. Senyum terus terpatri di wajahnya.
Mary, aku minta maaf atas kejadian hari ini. Melihatmu ketakutan selalu membuatku sedih. Aku sangat menyesal jika mengingatnya. Meski bagimu laut bukan tempat yang tepat untuk kita menyelesaikan masalah, maka dari itu besok, aku akan membawamu ke tempat yang lebih baik dan cantik. Seperti dirimu hihi. Tidur nyenyak, selamat malam.
Mary membaringkan tubuhnya ke atas ranjangnya lalu memeluk ponselnya erat. Ia juga memegang kedua pipinya yang memanas.
"Sebenarnya aku membayangkan apa sih?"
Mary pun meletakkan ponselnya di atas nakas, ia berniat untuk tidur. Setelah memposisikan tubuhnya dengan nyaman, Mary mematikan lampu dan menyelami alam bawah sadarnya. Ia sudah tidak sabar untuk besok. Kira-kira kemana Justin akan membawanya? Mary tidak tahu. Tapi entah dimana pun itu, asal ia bersama dengan Justin, ia tetap menyukainya.